Friday, 2 December 2016

BIOGRAFI IMAM SYAFI’IYYAH KE-1


    1. Nama Dan Tempat Lahir


Beliau bernama Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’I Al-Hasyimi Al-Quraisyi Al-Muthalibi. Gelar beliau adalah Abu Abdillah dinisbatkan kepada Syafi’i bin As-Saib, sehingga beliau terkenal dengan sebutan As-Syafi’i. Dan nasabnya bersambung dengan Rasulallah shalallahu ‘alaihi wasallam pada kakeknya, Abdul Manaf bin Qushai.
Lahir pada tahun 150 H di Gazza, Palestina. Setelah ayahnya meninggal dunia dan Imam Syafi’I masih berumur 2 tahun, sang ibu membawanya ke Mekkah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar disana dalam keadaan yatim.
Sejak kecil Imam Syafi’i cepat menghafal, sehingga pada umurnya yang ketujuh tahun beliau sudah hafal Al-Qur’an. Beliau belajar syair dan sastra Arab pada Al-Ashma’I dari kabilah Hudail. Belajar fiqh kepada mufti Mekkah, Muslim bin Khalid Az-Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwa ketika masih berusia 15 tahun. Kemudian beliau pergi ke Madinah untuk bertemu dengan Imam Malik dan berguru kepadanya.
Hamidah binti Nafi’ bin Unsah bin Amru bin Utsman bin Affan adalah istri dari Imam Syafi’i, dan melahirkan anak yang bernama Aba Utsman, Fathimah dan Zainab.

2.           Sanjungan Para Ulama Terhadapnya

Abu Nu’aim Al-Hafizh berkata, “Diantara ulama terdapat imam yang sempurna, berilmu dan mengamalkannya, mempunyai keilmuan yang tinggi, berakhlak mulia dan dermawan. Ulama demikian ini adalah cahaya diwaktu gelap yang menjelaskan segala kesulitan dan ilmunya menerangi belahan Timur sampai Barat.
Madzhabnya di ikuti oleh orang banyak, baik yang tinggal di darat maupun di lautan karena madzhabnya didasarkan pada sunnah, atsar dan sesuatu yang telah disepakati para sahabat Anshar dan Muhajirin, dan terambil dari perkataan imam pilihan. Ulama itu adalah Abu Abdilllah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Aimmah Al-Ahbar Al-Hijazi Al-Muthalibi.”
Dari Ayyub bin Suwaid, dia berkata, ”Aku tidak pernah membayangkan kalau dalam hidupku ini aku dapat bertemu dengan orang seperti Imam Asy-Syafi’i.”

3.            Guru-guru Imam Syafi’i

Imam Syafi’I banyak mengambil ilmu dari para ulama Mekkah, Madinah, Yaman dan Iraq


  •  Ulama-ulama Mekkah Al-Mukarramah:


1.      Muslim bin Khalid Az-Zanji (wafat 179 H),
2.      Sufyan bin Uyainah bin Maimun Al-Hilali (W. 198 H),
3.      Said bin Salim Al-Qadahi,
4.      Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar dan
5.      Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Zawad.

  •  Ulama-ulama Madinah Al-Munawwarah:


1.      Imam Malik bin Anas bin Malik (wafat 197 H),
2.      Ibrahim bin Sa’ad Al-Anshari,
3.      Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi,
4.      Ibrahim bin Abi Yahya Al-Asami,
5.      Muhammad bin Sa’id bin Abi Fudaik dan
6.      Abdullah bin Nafi’ As-Shaigh.


  • Ulama-ulama Yaman:


1.      Mathraf bin Mazin,
2.      Hisyam bin Yusuf Abu Abdurrahman (wafat 197 H),
3.      Amru bin Abi Salamah dan
4.      Yahya bin Hisan.


  • Ulama-ulama Iraq:


1.      Waki’ bin Al-Jirah bin Malih Abu Sufyan (wafat 197 H),
2.      Hammad bin Usamah Al-Kufi Abu Usamah (W. 201 H),
3.      Ismail bin ‘Aliyah Al-Bashri,
4.      Abdul Wahhab bin Abdul Majid Al-Bashri dan
5.      Muhammad bin Hasan As-Syaibani.


4.             Murid-Murid Imam Syafi’i

Banyak sekali murid yang mengambil ilmu fiqih dari Imam Syafi’i. Baik ketika beliau tinggal di Mekkah, Madinah, Mesir maupun ketika tinggal di Bagdad, Iraq. Diantara murid-muridnya yang terkenal yaitu:

Dari Mekkah Al-Mukarramah:

1.      Abu Bakar  Abdullah bin Al-Zabir Al-Asadi Al-Maki          Al-Hamidi (wafat 219/220 H),
2.      Abu Al-Walid Musa bin Abu Al-Jarud dan
3.      Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad Al-‘Abbasi (wafat 237 H).   

 Dari Bagdad:

1.      Abu Tsaur Al-Kilabi, Ibrahim bin Khalid Al-Bagdadi  (wafat 249 H),
2.      Abu Ali Al-Husain bin Ali Al-Kurabisi (wafat 245/256 H) dan
3.      Abu Ali Hasan bin Muhammad bin Al-Husain Az-Za’farani (wafat 249/260 H).


Dari Mesir:

1.      Harmalah bin Yahya bin Abdullah bin Harmalah Al-Misri (wafat 234/244 H),
2.      Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya Al-Quraisy Al-Buwaithi (wafat 231/232 H),
3.      Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Mazani Al-Misri (wafat 264 H),
4.      Ar Rabi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar Al-Maradi (wafat 270 H) dan
5.      Ar Rabi’ bin Sulaiman bin Dawud Al-Jaizi (W. 256 H).


5.           Fiqih Imam Syafi’i

Tidak terpikirkan sebelumnya oleh Imam Syafi’I bahwa ia akan membentuk madzhab fiqhiyah yang baru diluar mdzhabnya Imam Malik. Kecuali setelah ia pindah dan menetap di Bagdad pada tahun 184 H. Dan sebelumnya ia mengira bahwa para pengikut madzhab Maliki menentang ahli ro’yu Madinah sampai dikatakan sebagai Nashirul Hadits.
Setelah beliau menetap di Bagdad, beliau berguru kepada seorang ulama Iraq yang bernama Muhammad bin Al-Hasan. Beliau banyak berdiskusi dan bertukar-pikiran dengan para ulama disana. Setelah melakukan diskusi tersebut, beliau menemukan beberapa kekurangan dan kekeliruan, baik dalam pendapat fiqih Iraq maupun fiqih Madinah. Akhirnya beliau mengeluarkan pendapat baru sebagai pengganti pendapatnya yang keliru sebelumnya.
Ada tiga periode dalam pembentukan pendapat Imam Syafi’I, yaitu:
1.      Periode Mekkah Al-Mukarramah,
2.      Periode Bagdad (ketika beliau tinggal disana yang kedua kalinya) dan
3.      Periode Mesir.

Ketika beliau tinggal di Madinah dan beliau menyampaikan ilmunya selama 9 tahun. Kota Madinah sangat subur dengan ilmu pengetahuan berkat beliau. Banyak pendapat yang bertentangan dengan para ulama lain yang sezaman dengannya, maka Imam Syafi’I banyak mengumpulkan dan menelaah hadits. Sehingga ilmu hadits berkembanglah dengan pesat saat itu.
Beliau banyak mengadakan kajian-kajian ilmu, baik di masjid-masjid maupun di perguruan tinggi. Oleh karenanya, Imam Syafi’I memiliki pengaruh yang sangat besar disana.
Sedangkan ketika Imam Syafi’I tinggal di Bagdad sekitar tiga tahun lamanya dimulai pada tahun 195 H, beliau melakukan penelaahan kembali tentang pendapat fuqoha terdahulu yang banyak diikuti oleh masyarakat pada masa itu. Dan merajihkan pendapat para sahabat radhiyallahu ‘anhum serta pendapat para tabiin.
Kemudian beliau pindah ke Mesir pada tahun 199 H. Tinggal disana selama 4 tahun sampai beliau wafat. Saat itu pendapatnya sudah sangat matang dan banyak mengeluarkan ijtihad yang sebelumnya belum ia keluarkan. Sehingga muncullah darinya pendapat baru (Qoul Jadid ) dan pendapat lama ( Qoul Qodim ). Beliau menetapkan pendapat lamanya yang rajih, menghapuskan pendapat lamanya yang keliru dan menambahkan pada pendapatnya yang kurang sempurna. Dan jika beliau tidak mendapatkan pendapatnya mana yang lebih rajah, apakah pendapat lamanya ataukah pendapat barunya. Maka, beliau menyebutkan kedua pendapatnya tersebut.


6.            Pengutipan Fiqih Imam Syafi’i

Penukilan Fiqih Imam As-Syafi’i melalui tiga jalan, yaitu:
1.      Dari apa yang telah dilakukan Imam Syafi’i dalam mengembangkan madzhabnya,
2.      Dari para muridnya yang setia dan
3.      Dari kitab-kitab yang telah beliau tulis sendiri.
Berbeda dengan ulama yang lainnya,  Imam Syafi’i adalah seorang ulama yang mengembangkan madzhabnya dan menulis kitab-kitabnya dengan tangannya sendiri. Maka ulama yang lain pun berguru kepadanya dan ikut mengembangkan madzhabnya.


7.            Kitab-kitab Imam Syafi’i

Setelah lama berkecimpung dalam bidang ijtihad, baths (penelitian) dan fatwa, Imam Syafi’i  mulai menggeluti bidang penulisan kitab. Beliau mulai dengan kitab yang berisi tentang kesimpulan pendapatnya tentang masalah-masalah yang diperselisihkan. Diantara kitb-kitabnya yang popular yaitu:
a.       Ar-Risalah,
b.      Kitab Al-Hujjah,
c.       Al-Umm,
d.      Ahkamul Qur’an,
e.       Ibthalil Istihsan dan
f.       Kitab Jama’ul Ulum

No comments: