1. NAMA DAN TANAH KELAHIRAN
Adalah Abu
Amru Abdurrahman bin Amru bin Muhammad Al-Auza’i Ad-Dimasyqi, ulama ahli fiqh
besar dari Syam . Madzhab yang didirikan ulama
yang akrab disebut Imam Abdurrahman Al-Auza’i itu sempat bertahan selama 220
tahun sebelum tergusur oleh madzhab lain yang lebih populer.
Madzhab
ini banyak
diamalkan pada kisaran tahun ke-2 Hijrah sampai pertengahan abad ke-3 Hijrah di
negeri Syam (sekarang: Lebanon, Yordania, Syiria, Palestina). Dinamakan madzhab al-Auza’ie karena
penisbatan kepada Imam madzhab ini,
yaitu Imam Abdurrahman bin Muhammad Al-Auza’ie.
Lahir di Ba’labak, salah satu daerah
di Lebanon pada tahun 88 Hijriyah. Dan penisbatan al-Auza’ie adalah penisbatan
suku asli dari ayahnya yang merupakan berasal dari suku al-Auza’ [الأوزاع], suku asli yang mendiami Bab-al-Faradis,
sebelah selatan Beirut yang berbatasan dengan Suriah. dan wafat di kota yang
sama pada tahun 157 Hijrah.
Ahmad Amin, sejarawan kontemporer dari
Mesir, mengatakan Imam Al-Auza’i berasal dari suku Auza’, salah satu sub
kabilah Hamdan yang berdomisili di Arab Selatan. Sementara Shihabuddin Abu
Abdillah Ya’qub bin Abdullah Al-Hamawi, sejarawan masa kejayaan Dinasti
Abbasiyyah mengatakan, Al-Auza’ adalah salah satu kabilah di Yaman yang
kemudian hijrah ke Syam. Daerah baru tersebut kemudian dikenal juga dengan nama
Al-Auza’.
Di desa Auza’ itulah Imam Abdurrahman
Al-Auza’i lahir pada tahun 88 H. Kebetulan pada masa itu masih ada sebagian
sahabat Nabi SAW yang masih hidup. Sejak kecil Imam Al-Auza’i dikenal gigih
menuntut ilmu dari para ulama. Ia pernah mengembara sampai Yamamah, Makkah,
Basrah, Damaskus dan Beirut.
Imam al-Zirikli dalam kitabnya al-A’lam
mengutip pernyataan Shalih bin Yahya, yang ini juga tertulis dalam tarikh
Baghdad, beliau mengatakan: “Imam al-Auza’ie adalah orang yang punya kedudukan
luhur bagi warga Syam. Bahkan perintahnya lebih ditaati dibanding perintah
penguasa ketika itu”.
Beliau hidup semasa dengan Imam Ja’far
al-Shadiq (148 H), Imam Robi’ah (136 H) di Mekkah, Imam Abu Hanifah di Baghdad
(150 H), Imam al-Laits bin Sa’d (175 H) di Mesir, Imam Sufyan al-Tsauri (161
H), dan beberapa ulama pada akhir abas ke-2 Hijrah.
2. PERKEMBANGAN MADZHAB AL-AUZA’IE
Madzhab Al-Auza’i dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Imam Malik
dan Sufyan bin Uyainah, sebelum kedua tokoh itu mendirikan madzhabnya sendiri.
Madzhab Al-Auza’i sempat diamalkan orang di Syam (Syiria) selama 220 tahun
sebelum terdesak oleh madzhab Syafi’i. Madzhab tersebut juga pernah berkembang
di Andalusia, namun akhirnya tergantikan oleh madzhab Maliki. Fatwa dan
pemikiran Al-Auza’i sebenarnya belum pernah terkodifikasi (mudawwan) dalam satu
buku tersendiri.
Salah satu tokoh berkembangannya madzhab ini ialah
Abdurrahman bin Ibrahim (245 H) dari keluarga Umawi (penguasa ketika itu), yang
menyebarkan madzhab al-Auza’ie dengan
posisinya sebagai Gubernur Yordan serta Palestina ketika itu. Dan juga, yang
masyhur ialah Sho’sho’ah bin Salam bin Abdullah al-Dimasyqa (190 H) yang
membawa madzhab ini ke Andalus, yang mana
beliau juga seorang khathib di Qurthuba.
Pemikiran Imam yang bersahaja itu tersebar di banyak kitab seperti
Ikhtilaf Al-Fuqaha karya Ibnu Jarir Ath-Thabari dan Al-Umm karya Imam
Syafi’i. Dalam Al-Umm, Imam
Syafi’i mengulasnya secara khusus dalam satu bab tersendiri yang bertajuk kitab
siyarul Auza’i, yang berisi perdebatan antara Imam Hanafi dan ulama Hanafiah
dengan Imam Al-Auza’i. Kitab lain yang memuat pendapat Al-Auza’i antara lain
Muqaddimah al-Jarh wat Ta’dil karya Abu Hatim, Tarikh Damsyiq karya Ibnu Asakir
Ad-Dimasyqi dan Al-Bidayah wan Nihayah karya Abul Fida Muhmmad ibn Katsir Ad-Dimasyqi.
Keilmuan Imam Al-Auza’i begitu membekas di hati rakyat Beirut hingga saat ini.
Terbukti salah satu akademi studi Islam di kota itu yang didirikan pada tahun
1980an diberi nama Kulliyah Al-Imam Al-Auza’i lid Dirasa al-Islamiyyah, Akademi
Studi Keislaman Imam Al-Auza’i.
3. METODE FIQH AL-AUZA’IE
Sheikh Muhammad al-Khudhari Bik dalam
kitabnya Tarikh al-Tasyri’ al-Islami memberikan sedikit ciri khas yang dimiliki
oleh madzhab al-Auza’ie ini,
yaitu mereka sangat benci sekali dengan Qiyas dalam fiqih mereka.
Corak ini jelas terpengaruh oleh Imam al-Auza’ie sendiri yang merupakan seorang
Muhaddits (Ahli Hadits).
Menurut Syaikh Muhammad Fauzi, guru besar ilmu fiqih kontemporer di
Damaskus, Imam Al-Auza’i termasuk tokoh yang mengedepankan nash (hadits) dan
menolak penggunaan logika dalam bentuk qiyas. Demikian juga yang diceritakan
oleh Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm-nya.
Dalam salah satu nasehat kepadanya kepada Baqiyah bin Al-Walid, Imam
Abdurrahman Al-Auz’ai mengatakan, “Wahai Baqiyah, janganlah kamu membicarakan
salah seorang sahabat Nabi kecuali mengenai kebaikannya. Sesungguhnya ilmu itu
adalah apa yang datang dari sahabat Nabi, maka yang datang dari selain mereka
bukan merupakan ilmu ” . Kata “yang bukan dari sahabat nabi” tersebut ditujukan
kepada fatwa berdasarkan qiyas
4. GURU-GURU IMAM AUZA’IE
Guru-gurunya
kebanyakan para tabi’in yang mempelajari ilmunya langsung dari para sahabat
Rasulullah SAW. Mereka antara lain Atha’ bin Abi Rabbah (mufti Makkah),
Muhammad bin Sirin (wafat 110 H, mufti Basrah), Imam Muhammad Al-Baqir (ulama
kalangan ahlul bait), Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri (wafat 124,
muhaddits dan mufti Madinah), Yahya bin Abu Katsir, Ismail bin Ubaidillah bin
Abul Muhajir, Muth’im bin Al-Miqdam, Umar bin Hani’, Muhammad bin Ibrahim,
Salim bin Abdullah, Syadad Abu Ammar, Ikrimah bin Khalid, ‘Alqamah bin Martsad,
Maimun bin Mihran, Nafi’ maula Ibnu Umar, dan masih banyak lagi.
Al-Abbas bin al-Walid menceritakan kenangan guru-gurunya tentang masa
kecil Al-Auza’i. Menurut mereka Abdurrahman Al-Auza’i pernah bercerita, “Ayahku
meninggal ketika aku masih kecil. Pada suatu hari aku bermain-main dengan
anak-anak sebayaku, maka lewatlah seseorang (dikenal sebagai seorang syaikh
yang mulia dari Arab), lalu anak-anak lari ketika melihatnya, sedangkan aku
tetap di tempat. Lantas Syaikh tersebut bertanya kepadaku, ‘Kamu anak siapa?’
Akupun menjawabnya. Kemudian dia berkata
lagi, ‘Wahai anak saudaraku, semoga Allah merahmati ayahmu.’ Lalu Syaikh itu
mengajakku kerumahnya, dan aku tinggal bersamanya sehingga aku baligh. Syaikh
itu juga mengikutsertakan aku dalam dewan mahkamah pengadilan untuk
bermusyawarah dan juga ketika pergi bersama rombongan ke Yamamah. Ketika sampai
di Yamamah, aku masuk ke dalam masjid jami’. Dan saat keluar dari masjid
seorang temanku berkata kepadaku, ‘Saya melihat Yahya bin Abi Katsir (salah
seorang ulama Yamamah) kagum kepadamu dan mengatakan, ‘Tidaklah saya melihat di
antara para utusan itu ada yang lebih mendapatkan petunjuk daripada pemuda
itu!’ Al-Auza’i berkata, ‘Kemudian aku bermajelis dengannya dan menulis ilmu
darinya hingga 14 atau 13 buku, tetapi kemudian semuanya habis terbakar.”
5. PUJIAN ULAMA TERHADAP IMAM AUZA’IE
Perihal keilmuannya, banyak ulama yang
bersaksi akan ketinggian dan keluasan pengetahuan sang sang Imam. Ummayyah
berkata, “Sungguh telah terkumpul pada diri Al-Auza’i sosok seorang ahli
ibadah, ulama yang alim dan orang yang jujur.” Imam Malik berkata, “Al-Auza’i
adalah seorang imam yang diikuti”. Ibnul Mubarok berkata, “Kalau saya disuruh
memilih pemimpin untuk umat ini, maka saya akan memilih Sufyan ats-Tsauri dan
al-Auza’i. Dan jika disuruh memilih di antara keduanya, maka saya akan memilih
al-Auza’i karena dia lebih lembut.” Hal seperti ini juga dikatakan Abu
Usamah. Abdurrahman bin Mahdi berkata,
“Manusia pada zaman itu merujuk kepada empat orang: Hammad bin Zaid di Bashrah,
Sufyan ats-Tsauri di Kufah, Imam Malik di Hijaz dan Al-Auza’i di Syam. Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, pendiri madzhab Syafi’i, mengatakan, “Saya
tidak pernah melihat seorang laki-laki yang ilmu fiqihnya seluas ilmu haditsnya
seperti Al-Auza’i.”
Demikianlah, tak hanya dikenal sebagai ulama yang alim, Imam Abdurrahman
Al-Auza’i juga termasyhur dengan keshalihan dan ketaqwaannya. Perihal ketaqwaan
Al-Auza’i, sebagian penduduk kota Beirut menceritakan, suatu hari ibunya
memasuki rumah sang imam dan memasuki kamar shalatnya. Sang ibu mendapati
tempat shalat Imam Al-Auz’ai basah karena sisa air mata tangisan malam harinya.
Ketika berita keluasan ilmunya tersebar, para penuntut ilmu pun
berduyun-duyun datang dan belajar kepada Imam Al-Auza’i. Di antara mereka
tercatat Syu’bah, Sufyan Ats-Tsauri, Yunus bin Yazid, Malik, Ibnul Mubarok, Abu
Ishaq Al-Fazari, Yahya Al-Qadhi, Yahya Al-Qaththan, Muhammad bin Katsir,
Muhammad bin Syu’aib dan masih banyak lagi.
6. SEBAGIAN FATWA IMAM AUZA’IE
Beberapa
fatwa Imam Al-Auza’i adalah sebagai berikut :
ð Apabila air –baik sedikit maupun banyak– terkena sesuatu yang
mengandung najis lalu air itu tidak berubah warna, rasa maupun baunya, maka ia
tidak najis. Dasar pendapat ini adalah hadits tentang badui yang kencing di
masjid yang belakangan diriwayatkan oleh jamaah kecuali Imam Muslim dan hadits
tentang kesucian air sumur yang belakangan diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu
Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Asy-Syafi’i)
ð Fatwa lainnya, apabila bagian bawah sepatu terkena najis, lalu
digosok-gosokkan ke tanah hingga najisnya hilang, maka sepatu itu telah suci
dan seseorang boleh melaksanakan sambil mengenakan sepatu itu. Dasar fatwa ini
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri, bahwasannya Nabi SAW
bersabda, “Apabila seseorang diantara kalian datang ke masjid, maka hendaklah
ia membalikkan alas kakinya. Jika ia melihat ada najis, hendaklah ia
mengusap-usapkan ke tanah kemudian melaksanakan shalat sambil mengenakannya.”
7. NASIHAT-NASIHAT IMAM AL-AUZA'IE
Ada beberapa
nasihat yang pernah disampaikan Imam Al-Auza’ie, antaranya ialah beliau
pernah mengatakan kepada Walid bin Mazid,
“Apabila
Allah menghendaki keburukkan untuk sesuatu , Allah membuka satu pintu suka
berdebat dan Allah sulitkan mereka untuk beramal.”
Beliau juga
menjelaskan akidah Ahli Sunnah. Sebagaimana yang diceritakan oleh Muhammad bin
Katsir Al-Mashishi bahawa mendengar Al-Auza’ie mengatakan,
“Kami para
tabi’in semuanya berpendapat bahawa Allah berada di atas Arsy, dan kami beriman
terhadap semua keterangan tentang Allah yang terdapat dalam sunnah.”
Beliau
menasihatkan agar manusia sentiasa berpegang dengan sabda Nabi SAW. Sebagaimana
diriwayatkan Amir bin Yasaf bahawa beliau mendengar Al-Auza’ie mengatakan,
“Apabila
kamu mendengar hadis dari Nabi SAW, janganlah kamu mengambil pendapat orang
lain, kerana beliau adalah mubaligh iaitu peyampai berita dari Allah.”
Beliau juga
menasihatkan :
“Tidaklah
seseorang berbuat bida’ah kecuali pasti akan dicabut sifat waraknya.”
Dari Abu
Ishaq Al-Fazari, bahwa Al-Auza’ie mensihatkan,
“Ada lima
hal yang dipegangi para sahabat dan
tabi’in, berpegang teguh dengan pemerintah, mengikuti sunnah, memakmurkan
masjid, solat berjemaah, membaca Al-Quran dan berijtihad.”
Ibnu Syabur mengatakan
bahawa Imam Al-Auza’ie pernah menasihatkan ;
“Barang
siapa mencari pendapat yang aneh yang menyimpang dari para ulama’ niscaya dia
akan keluar daripada islam.”
Walid bin
Mazid menceritakan bahawa Al-Auza’ie mengatakan,
“Celakalah
orang yang mendalami ilmu untuk masalah selain ibadah dan orang yang berusaha
menghalalkan hal yang haram dengan syubhat”
Beliau juga
pernah berpesan dengan satu perkataan yang indah dan cukup terkenal.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Walid bin Mazid, beliau mendengar Imam
Al-Auza’ie mengatakan,
عَلَيْكَ
بِاثَارِ مَنْ سَلَفَ وإِنْ رَفَضَكَ الناسُ
وَإِياكَ
وَرَأْيَ الرجَالِ وَإِنْ زَخْرَفُوْهُ بالْقَوْلِ
فَإِن الْأَمْرَ يَنْجَلِي وَأَنْتَ عَلَى طَرِيْقٍ
مُسْتَقِيْمٍ
“Berpegang teguhlah dengan atsar (riwayat)
para ulama salaf, meskipun masyarakat menolakmu. Jangan mengikuti pemikiran manusia, meskipun
mereka menghiasi ucapannya. Sesungguhnya, semua perkara akan nampak dalam
keadaan engkau berada di jalan yang lurus.”
8. PUNAHNYA MADZHAB AUZA’IE
Sayangnya, di pertengahan abad
ke-3, madzhab ini perlahan
mulai hilang dan ditinggalkan serta tidak ada lagi yang mengamalkan. Salah satu
penyebabnya adalah masuknya madzhab Imam al-Syafi’i di awal abad ke-3 ke Syam,
yang akhirnya menggerus madzhab al-Auza’ie. Kalau di
Andalus, madzhab initergerus
oleh eksistensinya madzhab al-Malikiyah di pertengahan abad ke-3 tersebut.
Tapi kalau diteliti lebih dalam,
punahnya madzhab ini bukan
hanya karena adanya madzhab baru yang datang, tapi kerena memang tidak adanya
budaya pelestarian ilmu dengan tulisan yang dilakukan oleh para murid dan
pengikut Imam al-Auza’ie. Mereka hanya mengamalkan tanpa mengabadikan. Akhirnya
kita sulit untuk melihat fiqih dan
corak ushul madzhab al-Auza’ie serta fatwa-fatwa beliau. Tapi kita akan masih
mendapati beberapa pendapat fiqih beliau
di beberapa kitab fiqih Muqaranah
Madzhab seperti Kitab Bidayatul-Mujtahid karangan Imam Ibnu Rusyd, atau juga
kitab al-Majmu’ karangan Imam al-Nawawi, serta kitab Bada’i al-Shana’ie
karangan Imam al-Kasani dari kalangan al-Hanafiyah.
9. WAFATNYA
IMAM AUZA’IE
Selain
fatwa-fatwa fiqih, Imam Al-Auza’i yang juga terkenal sebagai ahli sastra juga
sering menyampaikan nasehat-nasehatnya dalam bahasa yang indah. Diantara
nasehatnya adalah, “Barangsiapa yang lebih banyak mengingat kematian maka
kehidupan cukup mudah baginya (mencari bekal dengan beramal shalih). Dan
barangsiapa berucap dengan ilmunya maka dia akan sedikit bicara.” Al-Auza’i
juga berkata, “Barangsiapa yang lama dalam shalat malam, maka Allah akan
memudahkan urusannya dan menaunginya pada hari kiamat”. Al-Walid bin Mazid
mendengar Al-Auza’i berkata, “Apabila Allah menghendaki suatu kaum kejelekan,
maka Allah akan membukakan baginya pintu berdebat dan enggan untuk beramal.”
Dan juga berkata, “Sesungguhnya orang Mu’min itu sedikit bicara banyak beramal
dan orang munafiq itu banyak bicara dan sedikit beramal.”
Penguasa Dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far
Al-Manshur meminta Al-Auza’i menuliskan nasehat untuknya. Maka sang imam pun
menulis, “Amma ba’du, wajib atasmu untuk bertaqwa kepada Allah. Rendah hatilah
maka Allah akan mengangkatmu pada hari ketika Allah merendahkan orang-orang
yang sombong di dunia…”Tak hanya termasyhur di kalangan fuqaha, Imam Al-Auza’i
yang sangat shalih dan wara’ itu juga terkenal di kalangan ahli ma’rifat.
Ketika ia wafat, misalnya, Muhammad bin Ubaid sedang bersama Sufyan ats-Tsauri
ketika datang seorang laki-laki, dia berkata, “Saya bermimpi raihanah (tumbuhan
berbau harum) yang berasal dari daerah Maghrib diangkat.” Mendengar hal itu
Sufyan Ats-Tsauri menimpali, “Jika mimpimu benar, sungguh Al-Auza’i telah
wafat.” Mereka lalu menulis surat untuk menanyakan hal itu, dan ternyata memang
benar demikian.
Ada beberapa versi tentang penyebab
kematiannya. Yang paling populer adalah setelah selesai mengecat sesuatu, Imam
Al-Auza’i masuk kamar mandi yang ada di rumahnya. Kemudian istrinya masuk
membawa tabung yang berisi arang dan menyalakannya agar sang suami tidak
kedinginan di dalamnya. Setelah itu sang istri keluar dan menutup pintu kamar
mandi tersebut.
Ketika asap arang itu menyebar, Imam Al-Auza’i pun menjadi lemas. Ia berusaha
membuka pintu, tetapi tidak berhasil dan terjatuh. “Kami menemukannya dalam
keadaan tangan menghitam dan menghadap ke arah kiblat,” kata salah seorang
saksi. Sebagaimana para sufi dan ulama salaf lain yang hidupnya sangat
bersahaja, Imam Abdurrahman Al-Auza’i pun tidak meninggalkan harta warisan
kecuali uang sebanyak 6 dinar. Sang Imam wafat pada bulan Shafar 157 H. Ada
juga sebagian kecil ulama yang mengatakan pada tahun 153 H.