Monday 5 December 2016

ABSTRACK BIOGRAFI 20 ULAMA JOMBLO


MUQODIMMAH

          Sebelum biografi 20 ulama jomblo ini kami sajikan  , alangkah baiknya jika kita tahu penyebab kenapa 20  ulama’ tersebut tidak menikah , padahal mereka juga tahu   tentang hukum menikah , keutamaannya , dan bahayanya tidak menikah . Apalagi jika dilihat dari sisi syariat , tidak lah ada nash yang shahih yang memerintahkan untuk tidak menikah. Lantas apa yang mendorong mereka tidak mau menikah ? Padahal mereka juga tidak bodoh tentang hukum pernikahan dan keutamaannya bahkan meraka juga telah menetapkan hukum-hukum tersebut dalam kitab-kitab karyanya .
         Jawabnya simpel saja, ini adalah jalan hidup pribadi  yang mereka pilih sendiri.  Mereka telah menimbang diantara keutamaan menikah dan keutamaan ilmu yang sedang digelutinya. Walhasil, mereka lebih mengunggulkan      ilmu dari pada menikah . Namun walaupun begitu , mereka juga tidak mengajak orang lain untuk mengikuti jalannya untuk tidak menikah , tidak berkata pada orang lain “  Mementingkan ilmu lebih baik dari pada menikah”  dan juga tidak berkata “ Apa yang kami jalani lebih baik dari pada kalian semua “.
        Mereka tidak menikah juga bukan sebab mengikuti pendapat sebagian hukama’ dan falasifah  yang mengatakan bahwa membuat anak adalah kejahatan padanya !!! .  Ibnu Khalkan dalam kitab Wafayatul A’yan juz 1 hal 34 saat menuturkan biografi abie ‘ala’ al-ma’arrie ( ahmad bin abdilah ) seorang penyair ,dan filosofi yang masyhur berkata “ telah sampai padaku berita bahwa ia berwashiat untuk menulis   diatas kuburnya bait ini “

هَذَا جَنَاهُ أَبِي عَلَيَّ  وَمَا جَنَيْتُ عَلَي أَحَدٍ

Ini ( aku yang dikubur  ) adalah hasil kejahatan ayahku padaku dan aku tidak berbuat jahat pada siapapun

Bait ini  berhubungan dengan keyakinan para Hukama’ Filosofi yang mengatakan bahwa mewujudkan anak dengan melahirkannya didunia adalah kejahatan padanya.
        Dari semua itu , maka mereka sebagian ulama yang memilih untuk menjomblo adalah pilihan mereka sendiri , tidak mengekor pada siapapun . Allah telah menjaga mereka dengan ketaqwaan, iman dan ilmu dari bahayanya menyendiri dan menjomblo.
      Tindakan mereka semata-mata hanya karena kecintaan mereka terhadap ilmu hingga ilmu tersebut seperti halnya ruh dalam jasad, seperti air bagi tumbuh-tumbuhan  dan seperti udara bagi kehidupan manusia , hingga ilmu tersebut seperti halnya makanan pokok dan obat bagi mereka. Mereka menilai bahwa menikah dapat menghalangi untuk dapat menghasilkan ilmu  , maka mereka memilih ilmu yang lebih bermanfaat bagi umat dibanding sekedar manfaat pribadi  .
       Diriwayatkan dari imam Hakim bahwa Rasul SAW pernah bersabda yang artinya “ Sesungguhnya seorang anak adalah ( penyebab ) menjadi bahil, penakut , bodoh dan sedih
        Imam Zamkhsari dalam “Faiq” mentafsiri hadist tersebut bahwa maksud dari penyebab bakhil adalah   Anak menyebabkan seorang ayah menjadi bakhil sebab menjaga hartanya untuk anaknya ,  maksud   bodoh adalah  Bahwa anak menjadi penghalang mencari ilmu , maksud takut adalah bahwa anak membuat takut dirinya dibunuh maka anak akan menyia-nyiakan dirinya setelahnya , maksud dari sedih adalah “ Anak membuat sedih seorang ayah” 
    Sayyidina Umar berkata :
تَفَقَّهُوا قَبْلَ تُسَوِّدُوا
"Belajarlah fiqih  sebelum menikah"
Imam Zabidi mengatakan :  Imam Syamir berkata “ Makna hadist diatas adalah “  Belajarlah fiqih  sebelum menikah sebab kalian smua akan menjadi kepala keluarga hingga kalian akan tersibukkan dengan urusan keluarga hingga meninggalkan mencari ilmu " . Mayoritas ulama mengatakan bahwa تسودوا bukanlah bermakna menikah namun berarti pemimpin , seperti maqolah  Abu Ubaid dalam kitab "Gharibul hadist Belajarlah ilmu mulai kecil  sebelum kalian menjadi pemimpin , jika kalian belajar  sebelum hal itu maka kalian akan malu untuk beljar setelah kalian tua . Namun walaupun begitu , tafsir dari imam Syamir juga tidak diragukan maknanya sebab menikah sebelum belajar pasti dapat mengganggu aktifitas belajar  .
          Al-Hafidz Al-Khathib Al-Baghdadaie dalam kitabnya Al-Jami’ Li Akhlaqir Rawi Wa Adabus Sami’ berkata “ Disunahkan bagi seorang yang mencari ilmu untuk tidak menikah terlebih dahulu sebisa mungkin , agar ilmu tersebut tidak kandas sebab urusan pernikahan dan mencari nafkah  hingga meninggalkan mencari ilmu.
       Imam Ats-Tsaurie berkata “

مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدْ رَكِبَ الْبَحْرَ فَإِنْ وَلَدَ لَهُ وَلَدٌ فَقَدْ كُسِرَ بِهِ الْمَرْكَبُ

“Barang siapa menikah maka sungguh ia telah menaiki perahu , jika ia punya anak maka perahu tersebut pecah  sebab anak tersebut “

    Maka yang lebih baik adalah meninggalkan menikah bagi yang tidak membutuhkannya atau mampu untuk meninggalkannya , apalagi bagi seorang yang sedang menuntut ilmu yang perlu berfikir dan meluangkan banyak waktu.
        “ Saya memilih bagi seorang pelajar pemula untuk meninggalkan menikah sebisa mungkin , sebab imam Ahmad tidaklah menikah sampai ia sempurna mencari ilmu dalam waktu 40 tahun  dan ini semua sebab untuk meraih ilmu “ Tutur Imam Ibnul Jauzie dalam kitabnya Al’ujab Shaidul Khathir .
    Siapapun tidak akan memungkiri bahwa semakin banyak kesibukan maka akan semakin kecil kemungkinan untuk untuk mencari ilmu .  Kesibukan mengurus keluarga, istri  dan anak adalah perihal yang paling kuat dalam mengganggu aktifitas mencari ilmu sampai imam Bisyr Al-Hafie berkata

  ضَاعَ الْعِلْمُ فِي أَفْخَاذِ النِّسَاءِ

"Ilmu akan tersia-sia sebab paha-paha wanita"

Sebagian ulama lain meriwayatkan dengan lafadz “

ذُبِحَ الْعِلْمُ بَيْنَ أَفْخَاذِ النِّسَاءِ

“Ilmu akan tersembelih ( mati ) diantara paha wanita”

       Kalimat tersebut memberi isyarat bahwa sebagian besar ulama terhenti dalam aktifitas keilmuanya sebab urusan keluarga, istri dan anak hingga ilmu yang ada padanya tersimpan dan sia-sia.
       Tidak diragukan lagi bahwa pernikahan  adalah pengikat yang kuat dan berat yang menyebabkan hilangnya waktu yang banyak dalam mencari  dan  menyebarkan ilmu atau bahkan untuk selamanya seperti yang telah maklum adanya bagi setiap orang yang menikah dan memilik ilmu .
      Sebagian hikayat yang memperkuat bahwa pernikahan adalah pengikat yang sangat dahsat adalah hikayat dari imam Taqiyudiin As-Subki saat menceritakan biografi Ma’mar bin Rasyid Al-Basyrie dalam kitabnya  Tartibu Stiqohl ‘Ujlie . Beliau berkata “ Ma’mar adalah ulama besar yang menyebarkan ilmu hadist dari satu daerah kedaerah yang lain. Sesampainya dikota Yaman , penduduk kota tersebut merasa senang jika ia tinggal disitu seterusnya agar mereka dapat belajar dan memperoleh ilmu dan keutamaannya.  Akhirnya , mereka mencari pengikat yang mencegahnya pergi dari kota tersebut. Pengikat tersebut adalah menikahkan dengan wanita dari mereka , maka wanita tersebut menjadi pengikat yang mencegahnya untuk  kembali meneruskan dakwahnya keberbagai plosok daerah dan mencegahnya kembali kedaerah semula. Setelah menikah , ia menetap dikota tersebut sampai akhir hayatnya.
      Tak berbeda dengan ulama lain , imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin juga berkomentar tentang  pilihan untuk menikah atau tidak . Dalam kitab tersebut , beliau menyampaikan ayat-ayat , hadist dan  atsar yang memberikan anjuran dan dorongan agar menikah . Selain itu juga , beliau menyampaikan faidah pernikahan dan bahaya nya menikah . Setidaknya ada tiga bahaya dalam pernikahan yang beliau sampaikan :
·        Tidak mampu menghasilkan nafaqoh yang halal
·        Tidak mampu menunaikan kewajiban seorang suami ,  tidak mampu bersabar atas akhlah istrinya dan tidak mampu menahan penderitaan atas hinaan istrinya.
·        Istri dan anak dapat menyibukkan berdzikir pada Allah dan lebih memprioritaskan mencari dunia  dan nafaqoh untuk anak-anaknya .
       Dari pernikahan akan menimbulkan berbagai macam kesibukan yang sejenis dari tiga diatas , hingga hati seseorang hanya akan tersibukkan siang dan malam dengan urusan keluarga , ia tidak akan sempat berfikir tentang urusan akhiratnya . Oleh karenanya imam ibrahim bin Adhan berkata “ Barang siapa membiasakan berada pada paha wanita maka ia tidak akan memperoleh apapun”         Sulaiman Ad-Daranie juga berkata “ Siapa saja yang menikah maka ia telah condong kepada dunia
       Imam ghazalie meneruskan “ Dalam pernikahan terdapat manfaat dan bahaya maka mana yang lebih baik antar menikah dan menyendiri hukumnya sama bagi siapapun, perlu meninjau hal sebagai berikut :
ð Jika dalam diri seseorang tidak terdapat bahaya dalam menikah dan malah bermanfaat , seperti dirinya memiliki harta dan penghasilan yang halal , berbudi pakerti baik  ,  sungguh-sungguh dalam menjalankan syariat agama dalam arti pernikahan tidak memalingkan dari dzikir pada Allah dan ia adalah seorang pemuda yang butuh menikah agar syahwatnya tenang   maka menikah jelas lebih baik baginya.
ð Jika pernikahan tidak ada faidahnya  dan justru malah berbahaya maka menjomblo lebih baik baginya .
ð Jika dua hal tersebut ada, yakni bermanfaat juga terdapat bahaya maka sebaiknya memilih hal yang lebih bermanfaat bagi agamnya.
         Apa yang telah dijelaskan imam Ghazali diatas kiranya sudah cukup dalam memberikan alasan kenapa mereka sebagian ulama lebih memilih membujang . Namun untuk lebih jelas lagi , kami sedikit tambahkan keterangan dari imam Abu Ishaq As-Syatibie dalam kitab I’tisham . Beliau berkata “  firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَات مَا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian semua mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah pada kalian semua”
Ayat diatas terkait dengan beberapa hal :
ð Mengharamkan apa yang telah dihalalkan dapat diaplikasikan dalam   :
·        Mengharamkan secara Hakikatnya
Ini terjadi pada orang-orang kafir seperti mengharamkan Bahirah ( unta yang susunya dipersembahkan untuk berhalanya ) dan lain sebagainya.
·        Hanya murni meninggalkan , bukan karena ada tujuan bahkan karena ada beberapa faktor seperti :
ü    Hati secara tabiat tidak menyukainya ,  
ü    Tidak membencinya untuk selamanya sampai suatu saat dipergunakan,  
ü    Sebab tidak menemukan uang untuk mendapatkannya ,  
ü     Sebab tersibukkan dengan hal yang lebih penting.

      Sebagian dari hal itu adalah meninggalkannya nabi SAW memakan hewan Dlab ( Biawak ) . Hal ini tidak dinamakan mengharamkan sebab mengharamkan selalu ada tujuan untuk itu, dan permasalah ini tidaklah semacam diatas.
       Imam Syatibie melanjutkan “ Seseorang yang tertimpa bahaya disuatu waktu dapat mencari solusi dengan mencegah hal itu tanpa mengharamkan. Meninggalkan sebuah perkara tidak mesti mengharamkan . Berapa banyak lelaki yang meninggalkan makanan model khusus, atau meninggalkan menikah sebab diwaktu itu ia tidak berhasrat , atau karena alasan lain. Nabi saw tidak mau meninggalkan memakan biawak bukan berarti menyebabkan keharaman biawak tersebut.

        Walhasil, ulama- ulama yang akan kami sebutkan biografinya adalah ulama-ulama yang lebih memilih ilmu dari pada menikah , bukan mengharamkan yang telah halal namun sebab mengedepankan kepentingan agama dan umat dalam ilmu pengetahuan. Semoga biografi ulama – ulama yang akan kami paparkan menjadi contoh bagi pelajar masa kini untuk lebih mengedepankan dalam pencarian ilmu dari pada menikah terlebih dahulu.

MEMAHAMI FATHAL MUIN DENGAN NAHWU BAG.2

    B)       Athaf ‘Am ‘Ala khas dan sebaliknya
      Pengatahafan ‘Am ‘ala Khas adalah pengathafan sebuah lafadz yang memiliki makna umum terhadap sebuah lafadz yang bermakna sama namun lebih khusus. Begitu pula sebaliknya dengan pengathafan khas ‘Ala ‘Am.
Perhatikan contoh-contoh berikut :
  @ Contoh 01

وَيَتَأَكَّدُ أَيْضًا لِتِلاَوَةِ قُرْآنٍ أَوْ حَدِيْثٍ أَوْ عِلْمٍ شَرْعِيٍّ
 Artinya :  Sangat dianjurkan pula bersiwak karena membaca al-Qur’an atau hadist atau ilmu syari’at .

       Perhatikan lafadz عِلْمٍ شَرْعِيٍّ pada contoh diatas. Lafadz ini diathafkan pada lafadz sebelumnya dan dinamakan dengan athaf ‘am ‘ala khas sebab yang dimaksud dengan ilmu syari’at adalah tafsir, hadist, fiqih dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya seperti nahwu dan sharaf. Artinya , lafadz  عِلْمٍ شَرْعِيٍّ sebenarnya memiliki makna yang sama dengan lafadz yang diathafi namun lafadz عِلْمٍ شَرْعِيٍّ hanya bermakna lebih umum saja.
@ Contoh 02

 يَحِلُّ الْحَرِيْرُ لِقِتَالٍ إِنْ لَمْ يُجَدْ غَيْرُهُ، أَوْ لَمْ يَقُمْ مَقَامَهُ فِي دَفْعِ السِّلاَحِ اِلَي اَنْ قَالَ

 وَلِحَاجَةٍ كَجَرْبٍ إِنْ آذَاهُ غَيْرُهُ،
 Artinya :  Halal menggunakan sutra untuk berperang jika tidak ditemukan selainnya atau selain sutra tidak mampu menggantikan posisi sutra dalam menahan tajamnya pedang dan juga halal memakai sutra karena hajad seperti rasa gatal , jika memakai selain sutra malah menyakitkan.

Perhatikan lafadzوَلِحَاجَةٍ  pada contoh diatas . Lafadz tersebut diathafkan pada lafadz  قِتَالٍ dan ini dinamakan dengan athaf  lafadz yang umum ( ‘am ) pada lafadz yang khusus ( khas ) sebab sebagian dari hajad adalah berperang.

@ Contoh 03

فَلَا تَلْزَمُ عَلَى رَقِيْقٍ عَنْ نَفْسِهِ، بَلْ تَلْزَمُ سَيِّدَهُ عَنْهُ اِلَي أَنْ قَالَ وَلاَ عَلَى مُكَاتَبٍ لِضَعْفِ مِلْكِهِ

Artinya :  Maka zakat fitrah tidaklah wajib bagi seorang budak itu sendiri bahkan kewajiban zakat dibebankan pada tuannya dan juga tidak wajib bagi budak mukatab sebab lemahnya kepemilikannya  

      Perhatikan lafadz وَلاَ عَلَى مُكَاتَبٍ  contoh diatas . Lafadz tersebut dithafkan pada lafadz رَقِيْقٍ dan ini termasuk dari pengathafan lafadz yang khusus pada lafadz yang umum ( khas ‘ala ‘am ) sebab budak mukatab juga masih dikatakan budak pada cicilan bayaran yang belum lunas.

b)    Athaf Mughayarah
       Athaf mughayarah adalah pengathafan sebuah lafadz yang memiliki arti yang berbeda dengan lafadz yang diathafi. Pengathafan semacam ini adalah pengathafan yang paling banyak dibanding dengan dua jenis pengathafan diatas. Perhatikan beberapa contoh dibawah ini :

@ Contoh 01

َحَّ وَقْفُ عَيْنٍ) مُعَيَّنَةٍ (مَمْلُوْكَةٍ) مِلْكًا يَقْبَلُ النَّقْلَ (تُفِيْدُ) فَائِدَةً حَالاً أَوْ مَآلاً

كَثَمْرَةٍ أَوْ مَنْفَعَةً يُسْتَأْجَرُ لَهَا غَالِبًا

Artinya : Sah mewakafkan benda tertentu yang dimiliki dengan kepemilikan yang dapat dapat dipindah kekuasaanya , yang memberi faidah seketika atau akan datang seperti buah –buahan  atau yang   memberikan manfaat yang dapat di akadi ijarah secara umumnya.

     Perhatikan contoh diatas pada lafadz   أَوْ مَنْفَعَةً. Lafadz tersebut di athafkan pada lafadz فَائِدَةً . Pengathafan ini dinamakan dengan athaf mughayarah jika yang dimaksud dengan faidah tertentu adalah faidah yang secara hissie ( kasat mata ) saja. Namun jika yang dikehendaki dari faidah tersebut adalah mencakup faidah secara hissie dan maknawie maka pengathafan ini termasuk kata gori pengathafan lafazd yang khusus pada lafadz yang umum sebab ijarah merupakan akad pengambilan manfaat secara maknawie saja.

@ Contoh 02

 (وَلَا) قُدْوَةُ (قَارِئٍ بِأُمِّيٍّ) وَهُوَ مَنْ يُخِلُّ بِاْلفَاِتحَةِ أَوْ بَعْضِهَا وَلَوْ بِحَرْفٍ مِنْهَا بِأَنْ يَعْجِزَ عَنْهُ بِالْكُلِيَّةِ أَوْ عَنْ إِخْرَاجِهِ عَنْ مَخْرَجِهِ أَوْ عَنْ أَصْلِ تَشْدِيْدَةٍ

 Artinya : Tidak sah pula bermakmumnya seorang yang ahli membaca fatihah dengan ummie. Ummie adalah seorang yang merusak fatihah atau sebagiannya walaupun satu huruf darinya dengan ketidak mampuannya pada seluruh fatihah atau dari mengeluarkan huruf dari makhrajnya atau tidak mampu dari asal tasdidnya.


     Perhatikan lafadz عَنْ أَصْلِ تَشْدِيْدَةٍ pada contoh diatas. Lafadz tersebut diathafkan pada lafadz sebelumnya dan  termasuk Athaf Mughayarah sebab tasdid adalah haiat ( sifat ) dari huruf  dan bukanlah huruf.

Saturday 3 December 2016

MEMAHAMI FATHAL MUIN LEWAT NAHWU BAG.1




   Untuk memahami isi dari sebuah kitab dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah   melalui kaidah nahwu , sharaf dan balaghahnya sebab setiap karya tulis  pastilah memakai kaidah gramatika arabiyyah,  yang tentunya penggunaan kaidah tersebut memiliki makna tertentu.
      Pemahaman melalui jalur ini sangatlah penting , sebab jika saja pembaca kurang bisa menguasai kaidah gramatika arabiyyah atau faham namun kurang teliti maka yang terjadi adalah salah pemahaman hingga maksud penulis tidak akan sesuai dengan apa yang di inginkan.
     Kitab fathal muin hampir sama dengan kitab yang lain, namun dalam kitab ini terdapat sedikit kesukaran dalam memahami isinya. Hal itu terjadi sebab seingkali pengarang dalam menyambung satu rangkaian lafadz dengan yang lain terpisah  terlalu jauh hingga terkadang pembaca akan kesulitan dan terkecoh.  
    Untuk membantu para pembaca dalam memahami kitab ini, berikut kami ringkas beberapa kadiah penting  yang sering disampaikan para penjelas ( syareh ) kitab fathal muin dalam sub poin setelah ini .

2.       APLIKASI NAHWU
      Berikut ringkasan kaidah penting yang diambil dari kitab penjelas ( syarah) fathal muin  yang harus diketahui para pembaca :

1      )    Pengathafan
      Secara umum , pengathafan terbagi menjadi beberapa bagian ;
o   Athaf Lazim Malzum  dan sebaliknya ,
o   Athaf ‘Am ‘Ala khas dan sebaliknya,
o   Athaf Mughayarah  ,
o   Athaf Tafsir
o   Athaf Mufradat  dan  Jumlah  
o   Athaf Musabab ‘Ala Sababihi.

a)    Athaf Lazim ‘Ala Malzum dan sebaliknya
     Athaf lazim ‘ala malzum artinya pengathafan sebuah lafadz terhadap lafadz lain yang memiliki makna yang menjadi kelazimannya. Sedangkan Athaf malzum ‘ala lazim adalah sebaiknya. Perhatikan contoh-contoh yang tersebut dalam kitab fathal muin berikut :

@   Contoh 01

فَقَوْلُ جَمْعٍ اِنْتِفَاءُ الْفَضِيْلَةِ يَلْزَمُهُ الْخُرُوْجُ عَنِ الْمُتَابِعَةِ
 حَتَى يَصِيْرُ كَالْمُنْفَرِدِ وَلاَ تَصِحُّ لَهُ الْجُمْعَةُ وَهْمٌ 

Artinya : Ungkapan segolongan ulama “ Hilangnya fadilah jama’ah itu mengharuskan baginya keluar dari status makmum hingga ia seperti halnya seorang yang sholat sendiri dan sholat jum’adnya tidaklah sah “ adalah sebuah praduga saja .

      Perhatikan lafadz وَلاَ تَصِحُّ لَهُ الْجُمْعَةُ , pengathafan lafadz ini dengan lafadz sebelumnya dinamakan dengan athaf lazim ‘ala malzum sebab jama’ah adalah syarat dari sholat jum’ad maka sudah menjadi kelazimannya  jika ia dianggap seperti halnya seorang yang sholat sendiri sholat jum’adnya dianggap batal karena tidak terpenuhinya syarat sholat jum’ad tersebut.

@  Contoh 02

)وَلَا يُبَاعُ مَوْقُوْفٌ وَإِنْ خَرَبَ) فَلَوِ انْهَدَمَ مَسْجِدٌ وَتَعَذَّرَتْ إِعَادَتُهُ لَمْ يُبَعْ وَلاَ يَعُوْدُ مِلْكًا بِحَالٍ

Artinya : Barang wakaf tidaklah boleh dijual walaupun telah rusak. Jikalau masjid telah roboh dan sulit untuk mengembalikannya seperti semula maka masjid tersebut tidaklah boleh dijual dan tidak akan pernah kembali menjadi milik ( pewakaf ) sama sekali.  

       Perhatikan lafadz وَلاَ يَعُوْدُ مِلْكًا بِحَالٍ . Lafadz tersebut di athafkan pada lafadz لَمْ يُبَعْ . Pengathafan ini dinamakan Athaf malzum ‘ala lazim ( kebalikan dari contoh pertama) sebab pastilah dengan tidak kembalinya kepemilikan  maka tidaklah  sah untuk dijual.

@ Contoh 03

لَوْ سَكَنَ مَعَهَا فِي مَنْزِلِهَا بِإِذْنِهَا أَوْ لِامْتِنَاعِهَا مِنَ النَّقْلَةِ مَعَهُ أَوْ فِي مَنْزِلِ نَحْوِ أَبِيْهَا بِإِذْنِهَا لَمْ يَلْزَمْهُ أُجْرَةٌُ لِاَنَّ الْاِذْنَ الْعَرَى عَنْ ذِكْر الْعِوَضِ يُنْزَلُ عَلَى الْاِعَارَةِ وَاِلاِبَاحَةِ
Artinya :  Jikalau seorang suami bertempat tinggal besertaan sang istri dirumahnya dengan izin istri tersebut atau sebab istri tidak mau diajak pindah bersama suami atau tinggal dirumah semacam ayahnya dengan izin sang istri maka bagi suami tidak wajib membayar upah ( tinggal ditempat tersebut ) sebab izin yang tidak disertai dengan penyebutan pembayaran diposisikan seperti halnya akad ‘iarah dan ibahah.

       Perhatikan lafadz  وَاِلاِبَاحَةِpada contoh diatas. Lafadz tersebut di athafkan pada lafadz الْاِعَارَةِ . Pengthafan ini juga dinamakan athaf lazim ‘ala malzum sebab yang namanya akad I’arah ( pinjam meminjam ) adalah akad yang mengandung unsur ‘ibahah ( memperbolehkan menggunakan sesuatu ) terhadap barang yang dipinjamkan.