Friday 22 January 2016

BATU NISAN


Meletakkan batu nisan diatas makam memang sudah menjadi kebiasaan (tradisi) warga indonesia, dan bahkan warga diseluruh dunia baik yang muslim ataupun non muslim. tak jarang ada orang yang menuliskan nama, tanggal lahir, tanggal meninggal, dan lain-lain demi menunjukkan identitas keberadaan ahli kubur tersebut. Semua itu bertujuan sebagai tanda bahwa orang yang dikuburkan adalah salah satu keluarga atau kerabat mereka, juga membedakan antara makam yang satu dengan yang lain. Ditambah lagi jika yang dikuburkan adalah orang saleh dan wali, semua itu bertujuan agar makam beliau masih tetap bisa diketahui selama berjalannya waktu dan menunjang untuk melestarikan budaya ziarah atau tabarruk (baca: ngalap berkah) di makam mereka.

Dasar Legalitas
Dari pengertian diatas, dapat kita ketahui bahwa fungsi dan tujuan pemasangan nisan adalah sebagai penanda yang menunjukkan bahwa tempat tersebut merupakan makam yang harus dimuliakan, juga menunjukkan identitas orang yang dikuburkan di makam tersebut. hal itu bukan bentuk akal-akalan masyarakat yang kemudian akhirnya dijadikan tradisi, melainkan sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah pada zamanNya. Dalam satu riwayat dari imam baihaqi disebutkan :

(وروينا عن المطلب ، عن من ، أخبره في ، قصة عثمان بن مظعون : أن النبي صلى الله عليه وسلم ، حمل حجارة
فوضعها عند رأسه وقال : " لنعلم بها قبر أخي ، وأدفن إليه من مات من أهلي ")

Artinya: Diriwayatkan dari kitab mathlab dari orang yang mengabarkan dalam kisah ‘utsman            bin madl’un, sesungguhnya rosululloh membawa batu dan beliau letakkan di arah kepala ‘           utsman bin  madl’un dikuburnya, setelah itu beliau bersabda,”supaya aku tahu makam saudaraku, dan bisa ku kuburkan ditempat itu (secara bersandingan) orang-orang yang meninggal dari keluargaku”[1].

Hadits ini secara sharih (jelas) menerangkan bahwa tradisi memberi tanda dengan cara meletakkan nisan/batu pada makam memang diperbolehkan dan bahkan ini merupakan tuntunan yang di ajarkan Rosululloh pada umatnya berabad-abad tahun yang lalu. Hadits ini pula yang dijadikan pijakan para ulama’ madzhab hanafiyyah, malikiyyah, serta hanabilah tentang diperbolehkannya memasang tanda pada kuburan, serta madzhab Syafi’iyyah yang memandang hal ini disunnahkan dengan meletakkan batu tersebut diarah kepala mayit. menurut imam mawardi juga disunnahkan meletakkan nisan diarah kaki, sehingga (seperti yang terlaku dinegara kita) tanda yang tepasang di makam berjumlah dua buah, di arah kepala dan kaki.[2] Dalam versi lain disebutkan bahwa jika meletakkan dua batu pada perempuan dan hanya satu batu pada laki-laki maka tindakan tersebut termasuk bid’ah. Namun Al-Imam Asy-Syaukani berpendapat hal itu diperbolehkan dengan memandang tujuannya, yaitu : membedakan antara yang laki-laki dan perempuan [3].

Menulisi Nisan
     Dibatu nisan yang diletakkan pada arah kepala sudah lumrah kita lihat akan adanya tulisan yang berisi nama penghuni kubur serta tanggal kelahiran dan meninggalnya. mengenai hukum menulisi batu nisan dengan nama jenazah, tanggal lahir dan kematiannya merupakan masalah khilafiyah yang terdapat beberapa pandangan dari para ‘ulama’.
Dari kalangan Malikiyyah [4], Syafi’iyyah, serta Hanabilah misalnya, mengatakan bahwa praktek Menulis apapun (nama, tanggal kelahiran dan kematian, ayat Al-Qur’an dll) pada nisan hukumnya adalah makruh secara mutlak. Karena ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh sahabat jabir:

عن جابر قال : نهى النبي صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر وأن يقعد عليه وأن يبنى عليه وأن يكتب عليه

Artinya: Dari sahabat jabir ra. berkata: Nabi Muhammad Saw. melarang para sahabatnya untuk  memulas (nglepo ; jawa) makam, duduk diatas makam, membangun makam dan juga menuliskan sesuatu diatas makam. [5]

Hadits diatas menyatakan larangan untuk menuliskan sesuatu di atas makam. Secara dhohirul hadits (baca : tekstual hadits) tidak dibedakan antara penulisan nama dan yang lain (tanggal wafat, al-qur’an dll). Ulama’ Hanabilah berpandangan bahwa larangan tersebut hanya sebatas larangan makruh saja. Pendapat ini disepakati pula oleh kalangan ulama’ Syafi’iyyah, namun mereka menambahkan catatan ; jika makam tersebut milik orang ‘Alim atau shaleh, maka sunnah menuliskan nama dan sesuatu yang membedakannya dari yang lain.[6]
Akan tetapi, ulama’ Hanafiyyah dan Imam Taqiyyuddin as-Subki (dari golongan Syafi’iyyah) berpendapat bahwa tidak ada salahnya tindakan menulis sesuatu pada nisan, dengan catatan kalau memang dibutuhkan (untuk membedakan) dan tidak ada unsur penghinaan (seperti : menulis ayat Al-Qur’an) [7], dan menurut ibnu Hazm berpendapat jika pengukiran nama tersebut di batu, maka hal itu tidak ingkari.
terlepas dari pro-kontra yang terjadi pada ulama’ di atas, Syaikh Ibnu ‘Abidin menerangkan bahwa larangan pada hadits diatas, sekalipun haditsnya shohih, namun telah ditemukan Ijma’ ‘Amaly (baca : kesepakatan yang berupa perbuatan.) ulama seluruh dunia dalam masalah ini. karena nama para imam-imam muslimin di seluruh dunia dari tanah timur sampai tanah barat tertuliskan sesuatu diatas makamnya. Tindakan ini merupakan tindakan ulama’ khalaf (kini;ind.) yang diambil/dicontoh dari ulama’ salaf (dahulu;ind.). Ini dikuatkan dengan tindakan nabi yang membawa sebuah batu kemudian diletakkan diatas makamnya sahabat utsman bin madh’un sebagai tanda pengenal dalam hadits yang diriwayatkkan oleh imam baihaqi diatas. Kita tahu bahwa penulisan juga memiliki esensi yang sama, yaitu merupakan salah satu cara untuk mengingat dan menandai keberadaan orang yang dimakamkan ditempat itu. Oleh sebab itu, menjadi jelaslah bagi kita bahwa ijma’ amaly tersebut merupakan rukhsoh (kemurahan) bagi kita. Artinya, selama ada kebutuhan yang menarik untuk melakukan tindakan tersebut, dan penulisannya tidak melewati batas kewajaran untuk memenuhi hajat tersebut, maka diperbolehkan [8].Menurut imam al-Adzro’i sunah menuliskan nama mayyit pada nisan jika:  Tidak dimungkinkan untuk membedakan makam satu dengan yang lain kecuali dengan tulisan. Hal ini biasanya terjadi di pemakaman umum. Dan memang kalau kita menilik sekilas tentang hukum daripada penulisan nama dan peletakan batu, adalah sama di pandang dari segi tujuannya .  Jenazahnya adalah seorang yang ‘alim atau sholeh dan dikhawatirkan karena lamanya waktu, akan hilang atau rusak dan tidak diketahui identitasnya, jika tidak ada penulisan dari nama-nama beliau. Hal ini bertujuan agar orang alim tersebut selalu dikenang, menambah kasih sayang terhadap beliau dan mengharap barokahnya bagi peziarah.
Pendapat ini didasari dengan Qiyas dzahir antara penulisan nisan tersebut dengan masalah hadits yang menerangkan kesunnahan menancapkan batu nisan di makam yang mana tujuannya sama. Terkait tentang hukum haramnya menulis nisan dengan al-qur’an yang dikemukakan oleh imam adzro’i memang benar, sekalipun najis tidak sampai mengenai al-qur’an secara langsung dan tidak dimungkinkan akan mengenai tulisan al-Qur’an untuk waktu yang lama. karena menurut beliau hal itu merupakan tindakan penghinaan atas al-qur’an. sebagaimana adat/ kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat pada umumnya. Berbeda dengan al-qur’an. Nadzom ataupun kalam natsar, hukumnya makruh tidak sampai haram.[9].
Dan dalam hemat Imam Taqiyuddin as-subki dalam penulisan nama mayyit pada nisan tidak dihukumi makruh secara mutlak.
Dari uraian yang telah disampaikan bisa dipahami bahwa memasang nisan yang disertai dengan penulisan identitas jenazah yang dikubur merupakan permasalahan yang terdapat perbedaan ulama’ dalam menyikapinya sesuai dengan argumentasi yang disampaikan oleh masing-masing fihak.

 Kesimpulan
1.      Memasang nisan sebagai identitas bagi mayit merupakan sunnah Rasulullah.
2.      Menuliskan identitas dan tanggal lahir serta tanggal meninggal di nisan diperbolehkan oleh sebagian ulama’ diantaranya adalah imam as-Subki dari madzhab syafi’iyah.

Wallahu a’lam bi as-shawab.



















[1] Sunan as-sughro li al-baihaqi juz 3 hal 89
[2] Mausu’ah al-fiqhiyyah al-kuwaitiyyah juz 32 hal 251
[3] Nail Al-Authar juz 4 hal 132
[4] ‘ulama malikiyyah berpendapat jika yang ditulis meruypakan ayat al-qur’an,maka hukumnya diharamkan. Fiqh As-Sunnah juz 1 hal 555
[5] Ibid Mausu’ah al-fiqhiyyah al-kuwaitiyyah juz 32 hal 251
[6] Ibid Fiqh As-Sunnah juz 1 hal 555
[7] Ibid Mausu’ah al-fiqhiyyah al-kuwaitiyyah juz 32 hal 251
[8] ibid
[9] Fatawi Al-Fiqhiyyah Al-Kubro juz 2 hal 12

No comments: