Wednesday 18 April 2018

Anak-Anak Dan Remaja Dalam Fiqh Islam



I. Mukadimah
          Sunatullah menggariskan siklus manusia hanya akan mengalami tiga fase penting, hidup, mati kemudian hidup lagi. Hidup pertama kita alami ketika di dunia yang akan berakhir dengan ajal, dan hidup untuk kedua kalinya akan kita alami nanti ketika sampai di akhirat. Islam sekali lagi membuktikan kelebihannya dengan memaparkan secara rinci semua hal yang menjadi bagian dari siklus manusia.
          Sebagaimana perputaran hidup dan mati, manusia ketika di dunia juga tidak lepas dari sub kecil siklus tersebut. Dari mulai lahir, berlanjut masa kanak-kanak, dewasa, tua dan pada akhirnya sampai di penghujung kematian. Suka ataupun tidak suka, percaya maupun tidak percaya semuanya akan mengalami hal serupa. Setiap jenjang ada suasana, setiap tingkatan punya persoalan, dan tentunya setiap strata punya konsekuensi.
          Aplikasi dari hal di atas, ketika kita sadari kita bukan bayi lagi yang selalu dilahirkan dengan nuansa fitrah-nya, tentu kita harus mulai membentuk jati diri sebagai anak-anak atau mungkin sebagai orang dewasa. Jati diri bukan berarti menjadi manusia yang diakui masyarakat, namun untuk menjadi hamba Allah yang mampu memahami arti penghambaan dalam pemahaman yang lebih luas.
Dalam hal ini Islam telah mengatur prinsip pokok peng-gulowentah-an anak ketika menginjak usia anak-anak maupun pada saat masa remaja. Baik dalam keyakinan (ideologis), peribadatan (ritualitas), akhlak dan sopan santun maupun dalam hal-hal lain. Dunia pendidikan dalam Islam menempatkan usia kanak-kanak dan remaja sebagai masa produktif dalam berbagai hal. Dalam usia ini mereka dinilai masih menampakkan nilai fitry sehingga daya ingat maupun kecerdasan otak sangat berpeluang untuk dikembangkan. Hal ini tersirat dalam sebuah hadis, dimana Nabi pernah mendoakan keponakannya, Ibn Abbas ketika masih kanak-kanak :

اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل

"Ya Allah, pahamkanlah ia dengan ilmu agama, dan ajarkanlah ia tentang ilmu ta'wiil (ijtihad)"

Dalam kesempatan lain, Nabi menggambarkan secara lebih jelas tentang potensi dalam masa kanak-kanak dan dewasa dalam sabdanya:

مثل الذي يتعلم العلم في صغره كالنقش على الحجر ومثل الذي يتعلم العلم في كبره ليث يكتب على الماء
وقال أيضا : ما بعث الله نبيا إلا وهو شاب ولا أوتي عالم علما إلا وهو شاب

"Perumpamaan seseorang yang belajar diwaktu kecil adalah laksana mengukir di atas batu, dan
perumpamaan belajar sesudah dewasa bagaikan mengukir bercak di atas air. Nabi bersabda lagi : "Tidak
diutus seorang Nabi kecuali ketika masih muda dan tidak diberikan ilmu bagi orang alim kecuali
ketika ia masih muda".

Merupakan kewajiban orang tua mengajarkan pengenalan akan ketuhanan dan kerasulan. Di sisi lain mereka juga berkewajiban menuntun peribadatan sekaligus menanamkan norma sopan santun baik norma agama maupun norma sosial. Dan ketika mereka melimpahkan hal-hal di atas kepada orang lain tentunya dituntut tanggungjawab dari berbagai pihak, termasuk anak, terlebih lagi disaat mereka mulai lepas dari tanggungan orang tua.

II. Klasifikasi Taklif Dan Hukum Dalam Syariat
          Syariat dalam realita hukumnya selalu memberikan porsi tersendiri bagi kelompok manusia yang berstatus ghair mukallaf (tidak terkena tuntutan hukum). Termasuk salah satunya adalah pada anak-anak yang belum menginjak usia baligh. Namun, meskipun sebenarnya mereka belum terkena tuntutan syariat, Islam mengatur segala hal yang berkaitan dengan kepentingan ibadah maupun kepentingan lainnya. Kewajiban yang belum layak disandang akhirnya dibebankan pada orang tua sehingga orang tua dalam hal ini mempunyai beberapa kewajiban, diantaranya :

a.     Mengajari tatacara bersuci, teori haid, salat dan ibadah rutin lainnya.
b.    Memerintahkan salat setelah anak menginjak usia tujuh tahun.
c.     Memerintahkan puasa pada usia yang sama dengan sarat mampu melaksanakan.
d.    Memukul dengan batas maksimal tiga kali ketika sang anak meninggalkan salat atau puasa, namun dengan pukulan yang tidak menyakitkan.
e.     Selain empat hal di atas, orang tua dianjurkan dalam rangka kesunatan untuk melakukan beberapa hal ketika anak pertama kali dilahirkan. Diantaranya, memberikan nama yang baik pada sang anak serta melaksanakan aqiqah bagi anaknya.

Dan ketika pendidikan dibebankan pada orang lain sebagai pengajar, kewajiban dan hak itupun bisa beralih kepadanya. Hanya saja untuk urusan sangsi pemukulan, akan diperkenankan ketika ada ijin orang tua. Karena mempertimbangkan imbal balik dari kedua belah pihak, pahalapun bisa dimiliki oleh kedua belah pihak, anak, orang tua maupun guru.
          Selain hal-hal tersebut masih tercatat beberapa ketentuan dalam syariat mengenai hukum-hukum tentang anak-anak sebelum menginjak usia baligh, baik mengenai hak maupun kewajiban diantaranya:

a.    Diperkenankannya bai' al-ihtibar (transaksi percobaan) sebagai sarana pendidikan transaksi bagi mereka, yaitu untuk mengetahui tingkat kemampuan seorang anak, ketika anak mendekati baligh.
b.   Kewajiban orang tua membiayai segala kebutuhan belajar, baik untuk kebutuhan pokok maupun melengkapi sarana prasarana.
c.    Diperkenankannya mainan boneka dan gambar-gambar yang tidak berbentuk utuh bagi anak perempuan demi mengajarkan cara menangani urusan rumah tangga.
d.   Hukum pengaturan harta yang diserahkan kewajibannya kepada wali dengan batasan tertentu.
e.    Pengecualian status ghair mukallaf dalam berbagai macam hukum. Seperti halnya hukum kriminal, jihad dan lain sebagainya.

Selanjutnya syariat mengungkap secara jelas perbedaan hukum secara signifikan ketika anak mulai menginjak masa baligh dengan ditandai dengan empat hal, keluarnya sperma dan genap berusia lima belas tahun bagi laki-laki maupun perempuan atau ditandai dengan haid dan kehamilan bagi kaum perempuan. Perbedaan tersebut berawal dari status mukallaf yang disandangnya, sehingga mulai dari saat itu posisi hukumnya akan mandiri dan tidak akan berubah sampai akhir hayat. Semuanya itu bisa kita perhatikan dalam beberapa permasalahan dalam syariat.
Pertama, kewajiban salat serta ibadah lain yang dulunya harus didukung dengan peran orang tua pada akhirnya harus ditanggung sendiri ketika ia menginjak usia baligh. Akan terlaku baginya hukum dari setiap perincian mengenai kewajiban peribadatan. Dan sebaliknya ketika ia meninggalkan, akan berlaku pula ketentuan mengenai tarik al-shalat (orang yang meninggalkan salat dengan sengaja), hukum Istiqrar al-Hajj (ketetapan kewajiban haji), hukum mani' al-zakat (mereka yang menolak berzakat) dan lain sebagainya.
Kedua, dalam urusan transaksi (muamalah) yang semula dibatasi dengan beberapa ketentuan dan jenis serta sebagian masuk dalam pengaturan wali, mulai saat ia baligh ditetapkan bebas dalam semua jenis transaksi, hanya saja harus sesuai dengan koridor syariat. Dikarenakan ketika ia menginjak baligh, status ahliyah al-Tasyarruf (kemampuan manajemen) serta ahliyah al-Tabarru' (kemampuan bidang sosial) telah sempurna ia dapatkan.
Ketiga, pengecualian dalam berbagai bidang hukum yang semula ada, mutlak menjadi hilang dan semuanya berlaku, mulai dari hukum kriminal semacam pembunuhan hingga sampai pada hukum berjihad dengan segala bentuk dan ketentuannya.
          Di luar itu semua, fiqh Islam juga mengatur tentang kewajiban seorang anak terhadap orang tua dengan secara timbal balik. Sebagian selaras dengan konsep umum syariat, namun sebagian yang lain menjadi pengecualian dalam berbagai masalah.
Pertama, Islam mewajibkan anak untuk selalu taat pada perintah orang tua selama bukan atas kemaksiatan, terlebih lagi kepada mereka yang diserahi amanat untuk mendidik kita.
Kedua, dalam beberapa masalah, hubungan orang tua dan anak menjadi pertimbangan hukum yang disendirikan. Dicontohkan, dalam pemberian (hadiah, hibah dan selainnya), pada awalnya tidak diperbolehkan untuk diminta kembali (rujuu'). Namun, pada saat pemberian itu terjadi antara orang tua dan anak, dalam arti orang tua memberi pada anaknya ternyata syariat menetapkan boleh untuk dicabut kembali. Atau dalam berbagai kriminalitas, dimana pembunuhan ataupun pencurian yang dilakukan orang tua atas anaknya tidak menetapkan sangsi sebagaimana mestinya.
          Semua hal yang telah tersebut di atas secara garis besar cukup mewakili dari beberapa ketentuan syariat yang berkaitan dengan anak-anak ketika masih dalam usia dini hingga menginjak dewasa. Semuanya itu masih dalam tataran awal sebelum kita masuk dalam pembahasan syariat yang lebih terperinci. Semoga bermanfaat bagi kita semua……amiien.

Kusta Dalam Perspektif Islam



I.     PROLOG STUDY
Konon, suatu ketika Nabi Yunus pernah bertanya kepada Malaikat Jibril, "Hai Jibril, tunjukkan padaku sosok manusia yang paling taat beribadah di dunia ini !". Jibril menjawab seraya berisyarat dengan menunjukkan pada sosok laki laki yang tangan, kaki serta pandangan matanya hilang akibat penyakit kusta (al-judzam). Meskipun dalam keadaan demikian, ia tidak bosan bosan berucap: "Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan tangan, kaki dan kedua mata ini sebagai karunia dari-Mu. Dan kini telah Engkau hilangkan semuanya, juga atas kehendakmu, namun masih Kau beri aku pengharapan kepada-Mu". [1]
Betapa besar kepercayaan diri dari laki laki dalam hikayat di atas. Dalam ujian yang begitu berat, ia masih mampu menunjukkan ketaatan yang begitu besar, hingga menghantarkannya menjadi hamba Allah yang paling mulia di muka bumi. Seyogyanya hikayat di atas dapat kita jadikan cermin, bahwa segala penyakit termasuk kusta pada hakikatnya merupakan ujian ketakwaan bagi seorang hamba, bukan kutukan maupun keturunan. Sehingga ketika seorang hamba bersabar serta menyadari hakikat sebuah cobaan, dan bahkan tidak mengurangi kepercayaan diri dalam menempuh kehidupan, bukan tidak mungkin ia akan menjadi hamba yang paling dicintai Tuhannya.

II.PROBLEM SOLVING
i.      Kusta Dalam Definisinya
Kusta dalam literatur pengobatan Islam (al-Thîb al-Islamy) dibedakan dalam dua jenis:
Pertama, al-Judzam, yakni penyakit yang diakibatkan penetrasi cairan hitam dari empedu ke sekujur badan hingga mengakibatkan perubahan sifat (resam tubuh), karakter serta penampakan organ tubuh. Dan pada fase berikutnya, ketika tidak segera diobati akan berakibat cacat permanen. Dalam islam, penyakit ini dinamakan dâ' al-asad (penyakit macan), dengan ditandai bercak merah pada tubuh terutama wajah kemudian menghitam dengan diikuti bau yang kurang sedap dan terakhir ketika terlambat diobati akan berakibat kecacatan.[2] Untuk jenis ini lebih tepat dikatagorikan sebagai kusta basah.
Kedua, al Abrash, yaitu penyakit kusta yang ditandai bercak putih pada bagian luar kulit hingga selanjutnya dapat berakibat belang kulit serta menghilangkan kemampuan peredaran darah dalam kulit.[3] Dan biasanya rambut yang tumbuh pada organ tubuh yang terjangkit akan berwarna putih. Jenis inilah yang biasa diistilahkan dengan kusta kering. Namun dalam spesifikasinya mirip dengan bagian pertama, yakni ketika pengobatan terlambat dilakukan maka kecacatan juga mungkin terjadi.

ii.  Telaah Qur'any
Dalam Surat Al-Maidah ayat 110 yang menjelaskan tentang mu'jizat Nabi Isa, Allah berfirman:
وَتُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ بِإِذْنِي
"Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak (kusta) dengan seizin-Ku"

Setiap mu'jizat diturunkan sesuai dengan budaya jamannya. Pada masa Nabi Isa, tradisi kedokteran sedang mengalami kemajuan pesat. Hingga Allah menurunkan kusta sebagai penyakit yang sulit untuk disembuhkan, bahkan para ahli kedokteran di masa itu menganggap mustahil untuk melakukan penyembuhan. Namun kebesaran Allah menunjukkan, bahwa kusta dapat disembuhkan atas kehendak-Nya. Dan untuk saat ini, Allah juga telah menurunkan pertolongan (ma'unah) kepada manusia untuk bisa menyelesaikan penyakit kusta secara mudah dan cepat.
Setiap penyakit ada obatnya, namun hanya kebesaran Allah yang menentukan segala kesembuhan. Allah berfirman dalam QS. As-Syu'araa' :80
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
"Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku"

Hal ini menjadi bukti, betapa naifnya kita sebagai manusia. Namun bukan berarti kita harus menyerah, karena Allah juga mewajibkan kita untuk berusaha (Ihtiyar). Dan Insyaallah dengan usaha kita, segala obat dari berbagai macam penyakit yang sampai saat ini belum ditemukan, akan segera ditemukan demi kepentingan umat manusia.

iii.                     Kusta Dalam Sunah Nabi
Sinkronisasi Dua Pemahaman Tentang Penularan Kusta
1.     Hadis-hadis tentang penularan kusta.
@ فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ اْلأَسَدِ
"Menghindarlah kamu dari orang yang terkena judzam (kusta), sebagaimana engkau lari dari singa yang buas" (HR. Bukhari)
@  وَفِرَّ مِنَ اْلمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ اْلأَسَدِ
"Menghindarlah kamu dari orang yang terkena judzam (kusta), sebagaimana engkau lari dari singa yang buas" (HR. Bukhari)

Catatan :
Dalam kitab Tabyinul Haqa'iq Syarah Kanzu ad-Daqa'iq dijelaskan bahwa arti tekstual hadits ini “perintah untuk menghindar”, secara Ijmâ' (konsensus ulama) bukanlah makna yang dikehendaki. Karena siapapun diperkenankan mendekat (bergaul) dengan penderita kusta dan bahkan dijanjikan pahala atas segala upaya pelayanan dan perawatannya.[4]

@  لاَ تُدِيْمُوْا إِلىَ اْلمَجْذُوْمِيْنَ النَّظْرَ
"Janganlah kau terus menerus memperhatikan mereka yang menderita judzam (kusta)"  
HR. Ibn Majah
@  إِنَّا قَدْ بَايَعْناَكَ فَارْجِعْ e  كاَنَ فِيْ وَفْدِ ثَقِيْفٍ رَجُلٌ مَجْذُوْمٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُ
"Dalam sebuah peperangan, ada seorang laki laki berpenyakit kusta utusan Tsaqif yang kemudian oleh Nabi diberikan kabar (lewat utusannya),"Aku telah membaiatmu dan kembalilah ke (rumahmu)" HR. Muslim
@   كَلِّمِ اْلمَجْذُوْمَ وَبَيْنَكَ وَبَيْنَهُ قَيْدُ رُمْحٍ أَوْ رُمْحَيْنِ
"Berbincanglah kepada penderita kusta, dan jarak antara kamu dengan dia kira kira satu tombak atau dua tombak" HR. Abu Nu'aim
@  لاَ يُوْرَدُ مُمرِّضٌ عَلَى مُصِحٍ
"Tidak di datangkan seorang yang sakit kepada yang sehat" HR. Muslim

2.     Hadis hadis tentang tidak adanya penularan dalam kusta
@   أَخَذَ بِيَدِ مَجْذُوْمٍ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُ فِيْ اْلقَصْعَةِ ثُمَّ قَالَ كُلْ بِاسْمِ اللهِ ثِقَةً بِاللهِ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ e أَنَّ رَسُوْلَ الله
"Sesungguhnya Rasulullah saw. memegang tangan seorang penderita kusta, kemudian memasukannya bersama tangan Beliau ke dalam piring. Kemudian Beliau mengatakan: "makanlah dengan nama Allah, dengan percaya serta tawakal kepada-Nya". HR. Turmudzi
@  لاَ عَدْوَى وَلاَ طَيْرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
"Tidak boleh meyakini bahwa penyakit itu menular (tanpa ijin Allah) dan kita tidak boleh berprasangka buruk karena adanya burung terbang dan tidak boleh berprasangka atas burung hantu (saat malam hari) serta tidak boleh berprasangka buruk atas datangnya bulan sofar"

Sebagian ulama cenderung berkeyakinan, bahwa segala jenis penyakit termasuk kusta dalam pandangan Islam tidak ada yang menular. Mereka berpendapat, bahwa hadis hadis mengenai hal ini lebih otentik untuk dijadikan sebagai argumentasi. Sebagian ulama yang lain menetapkan kesimpulan sebaliknya. Yakni penularan sebuah penyakit adalah merupakan hal yang mungkin terjadi. Ibn Hajar dalam hal ini memberikan jalan tengah, bahwa tidak seyogyanya hadis hadis itu dibenturkan satu dengan lainnya. Tentunya agar nilai rahmatan lil 'alamin dari setiap sabda Nabi tidak dikesampingkan begitu saja. Dalam hal ini sinkronisasi yang terjadi di kalangan ulama dapat disimpulkan dalam lima versi :
Versi pertama, pendapat yang tidak menyetujui adanya penularan dalam setiap penyakit, termasuk kusta. Sedangkan dalil dalil tentang menjauhi penderita kusta adalah sebagai bahasa rahmatan lil 'alamin dari Nabi bagi penderita kusta, yakni menjaga perasaannya agar tidak terlalu merasa hina ketika bertemu mereka yang sehat.
Nilai yang bisa kita adopsi dari arahan pertama ini adalah sikap toleransi yang diajarkan Nabi dalam memperlakukan penderita kusta. Dimana penderita kusta yang dalam kesehariannya terkadang sudah mengalami problem kepercaan diri yang berat, jangan lagi ditambahi dengan beban moral dalam bentuk apapun. Namun hal ini kami rasa bersifat kondisional. Dalam arti, justru terkadang penderita banyak membutuhkan suntikan moral, bukan malah dijauhi. Dan hal ini dibuktikan dengan perilaku Nabi yang secara tersirat memberikan suntikan moral bagi penderita kusta. Dan diharapkan dengan terangkatnya moral penderita, kita bisa membantu mereka dengan berbagai macam pengobatan serta merekapun punya kemauan untuk sembuh serta berobat.
Versi kedua, meyakini adanya penularan dalam kusta dan yang sejenis, karena prinsip dalam hadis hadis yang menegaskan tidak adanya penularan dalam penyakit adalah umum yang kemudian muncul eksepsi (pengecualian) terhadap kusta dan penyakit yang sejenis.
Versi ketiga, perintah untuk menjauhi penderita kusta bukan karena hakikat penyakit tersebut menular. Namun lebih spesifik lagi, penularan dalam keterangan itu merupakan kelaziman dari persinggungan dan pergaulan yang relatif lama. Keterangan ini disampaikan oleh Ibn Qutaibah.
Versi keempat, berlatar belakang cerita orang orang jahiliyah yang meyakini bahwa semua penyakit selalu mempunyai karakter menular. Menurut pendapat ini, hadis nabi tentang tidak menularnya penyakit harus dimaknai secara proporsional. Yakni, penularan tidaklah datang begitu saja. Namun semuanya itu tetap atas kehendak Allah. Pendapat ini dikemukakan al-Nawawi serta mayoritas ulama Syafi'iyyah. Sedangkan penderita kusta yang ditemani makan oleh Nabi menurut pendapat ini adalah penderita yang belum sampai parah. Juga perlu diberikan sebuah kejelasan dari berbagai dalil di atas, bahwa hadis tentang perintah menjauhi penderita kusta adalah diperuntukkan untuk mereka yang lemah keyakinannya. Sedangkan hadis tentang percontohan Nabi yang menggauli para penderita kusta adalah ditujukan untuk mereka yang tebal keyakinan agamanya.
Keyakinan masyarakat serta bukti medis menjadi penting untuk kita fahami dalam penanganan penyakit kusta. Kita sebagai pelaku kemasyarakan menyadari hal ini sangat rasional terjadi, dan mungkin sedikit sekali dari manusia di muka bumi ini yang mempunyai keyakinan tebal dalam melayani penderita kusta di tengah masyarakat. Sehingga perlu kiranya kita membentuk keyakinan kolektif dari masyarakat dan petugas kesehatan dalam rangka melayani penderita penyakit kusta, dan tentunya melalui cara yang manusiawi, tidak dengan cara dipinggirkan.
Versi kelima, meniadakan hakikat penularan secara mutlak dalam setiap jenis penyakit serta memberikan sebuah arahan, bahwa menjauhi penderita kusta dalam hadis Nabi hanya sebagai tindakan antisipatif. Karena dikhawatirkan ketika terjadi penularan disaat pergaulan, orang lain akan beranggapan serta meyakini bahwa penyakit tersebut menular. Versi ini dikomentarkan oleh at-Thabrani dan didukung oleh ulama lainnya.[5]
Keyakinan banyak menentukan dalam penyembuhan serta penanganan kusta. Ada benarnya kita menerapkan prinsip semacam ini, namun ketika ditinjau dari sudut pandang, bahwa hal itu dapat mempermudah kita dalam menangani kusta. Ketika masyarakat dan petugas kesehatan tidak canggung lagi memberikan motifasi dan bantuan penyembuhan kepada penderita kusta, Insya Allah persoalan ini lebih mudah untuk diatasi.
Seyogyanya kita mengambil hikmah dari perbedaan di atas, bahwa kusta baik kita katakan menular ataupun tidak, merupakan cobaan Allah kepada hambanya. Dan sebuah hal prinsip yang harus kita yakini, hanya Allah-lah yang menciptakan dan menghendaki semuanya. Persinggungan dan pergaulan tidak selalu mengakibatkan penularan, karena penularan tidak akan terjadi jika Allah tidak menghendaki.
                   
iv.Pencegahan Kusta
Islam mengajarkan berbagai upaya pencegahan penyakit kusta dengan dimensi penjelasan yang variatif. Sebagian mampu kita berikan penjelasan secara rasional, namun sebagian yang lain belum sampai kita singkap rahasia di dalamnya.
1. Konsumsi Garam Yang Cukup
Hal paling sepele dan paling dini yang diajarkan Islam dalam mencegah terjadinya kusta adalah mengkonsumsi garam. Dalam pesan Nabi kepada Sayidina Ali disebutkan:
افْتَحْ طَعَامَكَ بِاْلمِلْحِ وَاخْتِمْ بِهِ فَإِنَّ مَنِ افْتَتَحَ طَعَامَهُ بِاْلمِلْحِ وَاخْتَتَمَ بِهِ عُوْفِيَ مِنِ اثْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ نَوْعًا مِنْ أَنْوَاعِ الْبَلاَءِ مِنْهَا اْلجُذَامُ وَاْلبَرَصُ
"Mulailah makananmu dengan garam dan akhirilah (juga) dengan garam, maka kamu akan dijauhkan dari tujuhpuluh macam dari beberapa macam cobaan. Dan termasuk diantaranya kusta dan lepra" [6]

Rasionalisasi dari sabda nabi di atas adalah dimungkinkan karena garam sebagai salah satu pendukung utama makanan pokok, mempunyai beberapa kandungan zat yang sangat berguna untuk membentuk kekebalan tubuh maupun menetralisir proses tertentu di dalam tubuh yang bermanfaat dalam pencegahan penyakit termasuk kusta.
2. Merawat Organ Dan Jaringan Saraf Sekitar Mulut
Mungkin kita tidak menyadari ada sebagian organ tubuh kita merupakan titik pangkal saraf yang menjadi sumber penyakit kusta. Dari beberapa keterangan yang kami temukan, mulut adalah organ yang paling banyak diulas sebagai bagian tubuh yang mempunyai akses saraf yang berperan merangsang terjadinya kusta. Disebutkan keterangan dalam berbagai referensi baik dari hadis maupun dari keterangan ulama :
لا تخللوا بعود الريحان ولا الرمان فإنهما يحركان عرق الجذام
"Janganlah kamu menyela-nyelai (gigimu) dengan kayu tumbuhan raihan (tumbuhan berbau harum) atau kayu pohon delima karena keduanya akan menggerakkan urat (saraf) dari kusta. HR. Haytsamy

Dari keterangan tersebut Ibn Qudamah memberikan kriteria alat yang digunakan untuk ber-siwak (gosok gigi), yakni halus lembut sekaligus mampu membersihkan gigi.[7] Keterangan lain menyebutkan :
قطع الظفر بالأسنان مكروه يورث البرص 
"   Memotong kuku dengan beberapa gigi adalah makruh dan akan mengakibatkan kusta"
ويسن أن يبلع ريقه وقت وضع السواك في الفم وقبل أن يحركه كثيرا لما قيل إن ذلك أمان من الجذام والبرص ومن كل داء
"Disunatkan menelan ludah sewaktu meletakkan siwak (sikat gigi) di mulut dan sebelum mengosokkan berulang-ulang, karena dari hal itu (menurut sebuah pendapat) akan menjaga dari kusta, lepra dan penyakit-penyakit lain".[8]

Sehingga wajar apabila kemudian syariat Islam sangat menganjurkan menggosok gigi karena mempunyai beberapa manfaat yang sangat banyak.
وإدامته تورث السعة والغنى وتيسر الرزق وتسكن الصداع وتذهب جميع ما في الرأس من الأذى والبلغم وتقوي الأسنان وتزيد فصاحة وحفظا وعقلا وتطهر القلب وتذهب الجذام
"Membiasakan bersiwak (menggosok gigi) akan menyebabkan kelonggaran, kekayaan, kemudahan rejeki, mengurangi sakit kepala, menghilangkan penyakit dan lendir di kepala, menguatkan gigi, menambah kefasihan lisan, hapalan dan kecerdasan otak, serta menghilangkan penyakit kusta".[9]
3. Antisipasi Lain 
Selain hal yang telah disebutkan di atas, masih ada hal hal yang secara medis Islam dapat menjadi penyebab, seperti makanan sejenis acar yang terbuat dari susu yang cara masaknya dengan digodok, atau biasa disebut (al-Mariy). Atau seperti memelihara bulu hidung, dan seumpama harus dihilangkan, maka harus dengan dipotong bukan dengan dicabut.[10] Semua ini mungkin sebagai tindakan prefentif, dan pada intinya, tawaran dari syariat Islam dengan mengetengahkan ilustrasi budaya bersih adalah konsep dan garapan pakar medis dari ulama ulama terkemuka.
Kajian kajian kesehatan mungkin telah banyak kita pelajari, baik tentang tindakan pencegahan maupun pengobatan. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mengantisipasi sedini mungkin perkembangan kusta dengan membudayakan hidup bersih serta menyadari bahwa kesehatan adalah hal esensial. Sehingga manifestasi dari rasa syukur serta kesadaran tersebut, kita yang mengidap maupun kita yang menjadi abdi masyarakat bisa bahu membahu dalam menangani persoalan ini. Dan kita yakin dengan rasa syukur kita, meskipun dalam skala kecil dan belum memuaskan, Allah akan memberikan kesehatan dan kemudahan kepada kita. Dalam sebuah keterangan hadits :
من عطس أو تجشى فقال الحمد لله على كل حال رفع الله عنه سبعين داء أهونها الجذام
"Barangsiapa bersin dan meng-antup kemudian dia mengucapkan "Segala puji bagi Allah, atas setiap keadaan", maka Allah akan menghilangkan darinya tujuhpuluh penyakit, dan yang paling ringan adalah kusta".

v.    Fenomena Persetubuhan Di Saat Haid
Kaum Yahudi sangat jijik melihat istri istri mereka ketika sedang mengalami haid. Sehingga mereka tidak mau menemani ketika makan, minum dan bahkan tidak pernah serumah. Berbeda jauh dengan tradisi Nasrani yang terlalu menyepelekan persoalan haid. Mereka selalu melakukan hubungan biologis meskipun istri istrinya mengalami haid. Kemudian Islam datang membawa prinsip ta'adul (balance) di antara dua tradisi dengan memperkenankan semua hal kecuali dalam urusan hubungan biologis. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah :222
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri".
Menurut al Khatib, maksud dari "adza" (kotoran) adalah penyakit bagi anak yang akan terlahir, karena persetubuhan di saat haid akan berakibat anak terkena penyakit kusta.[11] Apa maksud dari statemen semacam ini ? apakah benar persetubuhan semacam itu selalu berakibat kusta ?.
Ali as-Sa'idi mengungkapkan, bahwa alasan pokok keharaman (larangan) dalam masalah di atas terdapat beberapa pendapat. Pertama, sebagian kalangan memahami alasannya bersifat ta'abudy (dogmatif irasional) dan belum bisa dirasionalkan. Kedua, ada yang memahami hal tersebut dilarang karena dikhawatirkan menimbulkan penyakit kusta, lepra dan sejenis penyakit kulit yang merontokkan rambut (al-Qar'u) pada anak yang akan lahir. Ketiga, memahami larangan itu demi mengantisipasi penyakit yang akan menimpa pelaku.
Dari realita inilah kita harus arif mendudukkan permasalahan di atas. Persetubuhan ketika dalam masa haid diakui ataupun tidak merupakan larangan bukan hanya datang dari agama namun juga dari kalangan medis. Sehingga alasan utama syariat dengan memberikan warning dalam berbagai literatur, secara esensial bermuatan tanfiir (menjauhkan manusia) dari segala hal yang dilarang oleh agama. Sehingga harus kita tempatkan porsi ancaman "akan mengakibatkan seorang anak mengidap kusta" sebagai usaha ulama Islam menjauhkan manusia dari semua larangan agama. Mengenai wujud dan tidaknya larangan semacam itu, semuanya kembali kepada kehendak Allah. Dan kita juga harus memperhatikan sebuah sabda Nabi :
من حمى حول الحمى يوشك أن يقع فيه
"Barangsiapa menggembala di sekitar bumi larangan, maka kemungkinan besar ia akan terjerumus ke dalamnya"
Hadist ini merupakan pengibaratan agar seseorang jangan pernah mencoba coba kemaksiatan maupun larangan karena kemungkinan besar dia akan terjerumus ke dalamnya. Dan bukan tidak mungkin, jika Allah menghendaki kemaksiatan itu akan berbuah sesuatu yang tidak kita inginkan, naudzubillah min dzalik.

vi.Kusta Adalah Jenis Penyakit Yang Bisa Disembuhkan
Allah menurunkan cobaan bagi manusia hanyalah untuk mengetahui kesabaran seorang hamba. Sehingga Allah selalu menciptakan obat untuk setiap penyakit. Dalam sebuah hadis :
قالوا يا رسول الله فهل علينا جناح أن نتداوي فقال تداووا عباد الله فإن الله لم يضع داء الا وضع له دواء
"Sahabat berkata: "Ya Rasulullah, apakah kita berdosa jika melaksanakan pengobatan?". Kemudian Beliau menjawab: "Berobatlah kalian hamba-hamba Allah, karena Allah tidak menciptakan sebuah penyakit, kecuali Dia juga menciptakan (untuk penyakit itu) obat" HR. Ibn Hibban
         
Hadist ini seharusnya kita maknai secara proporsional, agar tidak terkesan fiktif ketika kita melihat banyak penyakit semacam AIDS atau mungkin SARS yang belum secara transparan ditemukan penangkal obatnya. Penjelasannya dapat kita temukan dalam hadis lain :
إن الله لم ينزل داء إلا أنزل له شفاء علمه من علمه وجهله من جهله
"Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan obatnya. Dia memberikan (pengetahuan) kepada siapa yang mengetahui dan meniadakan pengetahuan itu dari mereka yang tidak tahu". HR. Turmudzi

Banyak obat yang masih dirahasiakan Allah kepada manusia.[12] Seperti dalam kusta yang dulu sulit disembuhkan, itu semata mata Allah belum memberikan pengetahuan pada manusia akan obatnya. Dan terbukti, kini dunia medis telah mampu menjawab tantangan penyakit kusta dengan pengobatan yang efektif dan efisien.

Dalam Islam di kala dahulu juga banyak dikenalkan beberapa pengobatan kusta dengan melalui beberapa media. Diantaranya dapat kita simak berikut ini.
a.     Pengobatan dengan empedu burung nasar
Muhammad Satha' menawarkan pengobatan dengan mempergunakan empedu dari burung nasar yang dicampur dengan minyak yang terbuat dari biji anggur (dahn al-'inab). Perbandingan campuran dari keduanya, menurut beliau, harus seimbang, kemudian dioleskan ke sekujur tubuh yang terjangkit kusta selama tiga hari. Dengan ijin Allah, kusta akan sembuh.[13]
b.     Manfaat brotowali (al-handzal)
Disebutkan oleh Ibn Muflih tentang salah satu khasiat brotowali, yakni dapat menghilangkan serta memutus penyakit kusta. Digunakan dengan cara digosokkan ke bagian tubuh yang terjangkit kusta. Insyaallah sembuh.
c.      Pengobatan Dengan Pembekaman (Hijamah)
Pembekaman atau semacam tusuk jarum yang pada intinya menghilangkan darah penyakit dalam tubuh kita, dapat menjadi alternatif penyembuhan kusta. Dalam sebuah hadis :
عليكم بالحجامة فإنها شفاء من اثنين وسبعين داء
"Menetapilah kalian untuk melakukan pembekaman, karena pembekaman
dapat menyembuhkan dari tujuhpuluh dua penyakit"

Dan disebutkan, salah satu penyakit yang dapat disembuhkan adalah kusta. Hadis ini juga menjadi rekomendasi kesehatan tabib tabib jaman dahulu.[14]
d.     Pengobatan Kusta Kering
Salah satu penanganan yang dulu biasa dipraktekkan adalah dengan mempergunakan air mawar yang dipakai sebagai lulur dalam mandi.[15]

vii.                   Perlakuan Terhadap Penderita Kusta
Dari syariat disebutkan beberapa ketentuan mengenai penderita kusta, di antaranya tentang hak perceraian dengan model khiyar (pilihan pembatalan nikah). Hak ini diberikan dalam konteks rumah tangga atas dasar hadis Nabi :
أَنَّه تزوج بامرأة فلما أدخلت رأى بكشحها بياضا فردها إلى أهلها
"Sesungguhnya (Nabi) mengawini seorang perempuan, dan ketika (perempuan itu) masuk ke kamar Nabi, Beliau melihat di sekitar lambungnya, belang-belang putih. Maka Nabipun mengembalikannya kepada keluarganya"

Menurut pakar hukum Islam, hak tersebut berlaku ketika kondisi kusta yang dideritanya sudah mencapai fase kritis (istihkam). Bahkan menurut sebagian pendapat harus diberikan kesempatan berobat selama satu tahun, baru kemudian seseorang boleh menggunakan hak semacam ini.
Sebenarnya kita dapat memahami hal ini lewat sebuah kenyataan, dimana menurut pakar hukum Islam, ekses yang dibawa oleh penyakit kusta terutama dalam kehidupan rumah tangga tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Karena rata rata tabiat manusia selalu berusaha menjauhi hal hal yang menjijikkan. Serta cenderung menjaga diri dari segala bentuk penularan penyakit, maka menjauhi penderita kusta merupakan sebuah hal yang bisa kita pahami.[16] Apalagi esensi pernikahan dari suami istri tentu tidak lepas dari kebutuhan kebutuhan biologis yang menuntut adanya persinggungan.
Pertimbangan dampak seperti di atas dapat kita bawa dalam permasalahan lain yang juga disebutkan oleh syariat. Seperti dispensasi jamaah bagi penderita kusta dan masalah masalah lainnya. Namun dengan catatan kusta yang sudah mencapai taraf berpotensi mengganggu orang lain.
Namun apakah dampak ini tidak bisa kita tawar?. Tentunya kita jawab bisa, karena hal hal di atas hanya sekedar hak, sehingga ketika tercipta pengertian baik dalam keluarga maupun dalam konteks sosial, kita bisa memberikan hak lebih fleksibel kepada mereka. Namun apakah mungkin hal ini kita lakukan, mengingat sifat manusiawi kita juga berbicara sama?. Inilah tantangan yang harus kita jawab.
         
III.      PENUTUP KAJIAN
Dalam menyelesaikan persoalan kusta, kita harus mengetahui duduk permasalahan yang selama ini kurang dipahami mengenai kusta. Terlebih lagi ketika dipandang dari kacamata agama.
Islam menunjukkan nilai rahmatan lil 'alamiennya dengan berbagai aturan serta kepedulian yang dalam penanganan penyakit kusta. Salah besar mereka yang menilai kusta sebagai penyakit kutukan dan tidak benar kusta sulit disembuhkan.
Kusta menurut Islam tetap mendapatkan hak sebagaimana warga biasa meskipun ketika kusta mencapai tahapan tertentu, syariat juga menerapkan kebijakan berbeda. Hal ini bukan karena kusta merupakan penyakit yang harus dijauhi, akan tetapi lebih bersifat dampak gangguan sosial. Sehingga jikalau mulai sekarang kita mampu menciptakan iklim masyarakat yang menempatkan porsi solidaritas lebih besar dibandingkan porsi kepentingan sesaat, sangat mungkin kusta dan penderitanya akan disikapi sebagaimana penyakit penyakit kulit lainnya. Sehingga masyarakat tidak perlu merasa risih dengan keberadaannya. Dan tidak kalah pentingnya, penderita juga termotifasi untuk sembuh dan menatap masa depan dengan lebih cerah.





[1].          Al-Ghazali "Ihya' Ulumuddin" juz.IV hal.338 Dar Ihya' el-Kotob El-Arabiyah
[2].          Ayyub al-Zar'i "al-Thiib al-Nabawy" hal. 116 Dar el-Fikr dan Wuzara' al-Auqaf wa al-Syu'un al-Islamiyah bi al-Kuwait "al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah" juz. VIII hal. 77 Wuzarah al-Auqaf
[3].          Ibid, hal. 77
[4].          Utsman bin Aly Al-Zaila'i Al-Hanafi "Tabyinul Haqa'iq Syarah Kanzud Daqa'iq" Juz IV hal. 24 Dâr Al-Kitab Al-Islamy
[5].          Wuzara' al-Auqaf wa al-Syu'un al-Islamiyah bi al-Kuwait, Of. Cit. hal. 131-132 dan Ibn Hajar "al-Fatawy al-Fiqhiyyah" juz. IV hal. 111 Dar el-Fikr
[6].          Musthafa al-Khadimy "Bariqah al-Mahmûdiyah" hal. 109
[7].          Ibn Qudamah "Al-Mughni Syarh Al-Kabîr" juz. I hal. 118 Dar el Fikr
[8].          Al-Nawawi al-Jawy "Nihayah al-Zain" juz. I hal. 21Maktabah Hidayah dan "Fatawy Hindiyah" juz. V hal. 359
[9].          Asy-Syarwani "Hawasyi al-Syarwani" juz. I hal. 220 Dar El-Fikr
[10].        Al Ukhwah al-Qurbasi "Ma'alim al-Qurbah"hal. 130 dan Ali As-Sa'idi "Hasiah al-'Adawi" juz.II hal. 446
[11].        Al-Khatib al-Syarbini "Al-Bujairamy ala al-Khatib" juz. I hal. 365-367
[12].        Ayyub al-Zar'i Of. Cit hal. 116
[13].     Muhammad Satha' al-Dimyathi "I'anah al-Thalibien" juz III hal. 335
[14].     Ibn Muflih, Of. Cit.
[15].     Muhammad Satha' Of. Cit.
[16].      Ar-Rafi'i "Al-Aziz Syarh al-Wajiz" hal. 132-133 dan Wuzara' al-Auqaf wa al-Syu'un al-Islamiyah bi al-Kuwait, Of. Cit. hal. 131-132