Dalam perjalanan hidup manusia, pola
pikir masing-masing individu tentu akan selalu dibentuk oleh berbagai macam
faktor, diantaranya terbentuk melalui psikologys system atau sistem
kejiwaan yang bisa dikatakan cenderung abstrak. Atau dalam term lain, hal ini
biasa dibaca lewat penampakan lahiriyah yang disebut karakter.
Perbedaan jenis kelamin merupakan satu
contoh permasalahan yang membawa perubahan pola pikir, hanya saja apakah
sebatas lahiriyah, ataukah bisa sampai mengakar hingga mampu membentuk kejiwaan
dengan struktur rohani yang berbeda ?, tentu permasalahan ini perlu kita kaji
lagi.
1.
Dimulai dengan formasi kejiwaan manusia
yang sudah digariskan dalam sunatullah dengan beberapa ciri khusus. Firman
Allah dalam QS. Al-Syams : 6-7
ونفس وما سواها فألهمها فجورها وتقواها
Artinya;”Dan jiwa serta
penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan”
Manusia
pada awal kelahirannya selalu ditakdirkan membawa kebeningan jiwa, keputihan
rohani serta fitrah luhur sebagai mahluk sempurna.[1]
Pada tahap berikutnya Allah memberikan ruang kebebasan untuk memilih antara
kebenaran dan kebathilan sebagai penyempurnaan. Benar, kalau dikatakan manusia
ibarat kertas putih yang bebas untuk diwarnai apa saja, namun ketika ilham
Allah memberikan dua warna dalam jiwa manusia, garis kebebasan yang seolah
tanpa batas menjadi jelas dan akan selalu berujung pada dua hal, kebenaran dan
kebathilan. Dari keterangan ini kita dapat menyimpulkan beberapa hal. Pertama,
secara prinsip manusia dalam berbagai jenis mempunyai nilai persamaan dalam
konteks kejiwaan, yaitu jiwa fitrah yang mempunyai potensi kebaikan dan
keburukan. Kedua, kebaikan dan keburukan merupakan tolak ukur hakiki
yang menentukan keberuntungan seorang manusia, bukan diukur dari jenis maupun
golongan. Dapat dilihat dari lanjutan ayatnya, “Sungguh beruntung mereka
yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya”.
2.
Ketegasan
Al-Qur’an dalam membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dapat kita
lihat dalam beberapa ayat, diantaranya disebutkan;
§ “Dan mereka (para isteri) mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajiban-menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi kaum
laki-laki (suami) mempunyai satu tingkat
(kelebihan) daripada mereka”
§ “Dan tidaklah laki-laki itu sama
dengan perempuan”
§ “Mereka laki-laki adalah pemimpin
bagi para wanita karena
Alloh telah melebihkan sebagian mereka
(laki–laki) atas sebagian yang lain (wanita) karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian harta mereka”.
Apakah
hal ini menjadi absolut, hingga secara lahir maupun bathin wanita tidak akan
pernah sama ataupun mendapatkan persamaan dengan laki-laki ?. Ada beberapa hal
yang dapat kita simpulkan dalam wacana ini..
Pertama,
meskipun ayat yang menegaskan
ketidaksamaan laki-laki dan perempuan bermula dari cerita tentang pengabdian di
tempat suci (Bait al-Maqdis), namun argumentasi maknawiah yang diungkapkan oleh
mayoritas ahli tafsir memperkuat posisi ayat ini sebagai dalil yang relevan.
Mereka mengungkapkan, lemahnya fisik wanita disebabkan berbagai faktor
memberikan kenyataan bahwa wanita tidak sebebas laki-laki dalam masalah
penanganan fasilitas publik seperti halnya tempat-tempat ibadah. Sedangkan
menurut mereka, norma maupun aspek keamanan juga membatasi peran mereka di
tengah-tengah umat.[2]
Kedua, pernyataan bahwa kaum wanita akan memperoleh derajat
sama dalam keluarga manakala menjadi tulang punggung keluarga adalah tidak
berdasar. Karena dari tinjauan metodologi ushul fiqh, pernyataan itu hanya
sebagai kepahaman terbalik (mafhum al-Mukhalafah) dari sebuah ayat,
padahal secara konsep hal itu tidak berlaku lagi ketika berbenturan dengan
sebuah dalil khas (khusus).
Ketiga, Sebagian kalangan
menyikapi hadits nabi tentang ketidakmampuan wanita dari sudut pandang agama
dan akal, dimana Nabi mengungkapkan dengan istilah “Naqiisat al-Diin wa
Naqisaat aqlin”, bahwa kelemahan itu hanya bukan naqs fithri (kekurangan
bawaan) namun hanya sebatas kelemahan temporal, yaitu ketika datang udzur
yang menghalangi mereka untuk mendapatkan kekuatan yang sama dengan laki-laki.
Sehingga mereka berani menampilkan ini sebagai argumentasi bahwa kaum wanita
layak dan mampu untuk diposisikan sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai
bidang. Mereka juga mempunyai beberapa alasan, diantaranya tentang kemampuan
Umul Mukminin A’isyah dalam mengahapal berbagai maqalah dari nabi melebihi
sahabat lain dari kaum laki-laki. Atau tentang majunya beliau ke medan perang
Jamal demi memimpin pasukan melawan pemerintahan Ali r.a. Juga ada realita
legenda dalam al-Quran tentang seorang ratu wanita yang masyhur dengan segala
kemewahan dan kemakmuran. Dalam menyikapi hal ini cukup kita tengok realita
sejarah dalam perang Jamal, disebutkan sebuah hadits sahih, ketika A’isyah
mengajak Abi Bakrah untuk bersama berkoalisi dalam peperangan, beliau menolak
dengan mengatakan;”Sesungguhnya engkau adalah ibu oarang-orang mukmin dan
sesungguhnya hakmu adalah aku akan tetapi aku mendengar rasul bersabda “laan
yufliha al-kaum ….”. Dan ternyata memang demikian, pasukan jamal yang dipimpin
Aisyah mengalami kekalahan dan cukup kiranya apa yang dilakukan Abi Bakrah
sebagai bukti bahwa hadist di atas berlaku umum. Atau tentang kegagalan Ratu
Bulqis dalam memimpin rakyatnya hingga Alloh menghendaki koalisi
pemerintahannya dengan kekuasaan Nabi Sulaiman. Dan masih banyak lagi
argumentasi lain.
Keempat, kenyataan bahwa wanita sebagai sosok
manusia yang lemah dari sudut pandang agama dan akal, dapat kita pahami melalui
beberapa pendekatan yang coba digambarkan oleh Nabi. Beliau mengatakan, lemah
dalam akal artinya seorang wanita terkadang labil dalam mengambil sebuah
keputusan akibat dari sensitifitas kejiwaannya. Dicontohkan seperti dalam
persaksian, yang tentunya butuh keberanian maupun ketegasan dalam bersikap.
Sedangkan lemah dalam agama menurut beliau nabi adalah keterbatasan wanita
untuk melakukan ritualitas disebabkan banyak kendala ketika waktu-waktu
tertentu. Hal ini disikapi sebagai acuan dasar peniadaan taklif bagi wanita
dalam jihad , shalat Jumat, jamaah dan dalam bidang lainnya.
Kelima, secara kodrati wanita harus diakui
punya daya tarik dan pesona alami. Dan di sisi lain lawan jenis mempunyai
karakter aktif dan responsif, tegakah kita membiarkan dua sifat ini
mengakibatkan goncangan sosial ketika bertemu di tengah situasi yang tidak
kondusif ? atau kita anggap hal itu sebagai hal wajar, sehingga kita perlu
mempertanyakan relevensi jilbab dalam konteks publik desensi (kepatutan
umum). Kalau kita rasionalkan, rasanya wajar apabila syariat Islam menerapkan
aturan keamanan sebagai langkah preventif. Mulai dari aspek ritualitas, sosial
hingga masalah jihad, pola keamanan tetap menjadi prioritas yang tetap harus
dijaga. Hingga kita tidak perlu mempertanyakan alasan larangan beribadah,
berkarir, bepergian serta melakukan aktivitas lain ketika jaminan keamanan
tidak bisa terpenuhi.
Ketika kita konsisten melaksanakan tatanan yang sudah ada
dalam agama, tentang prinsip-prinsip kewanitaan, bukan problematika yang
timbul. Akan tetapi stabilitas, kerukunan dan kondisi sosial keagamaan yang
tertanam serta mengakar di tengah-tengah umat.
[1]. Ibn
Katsir “Tafsiir Ibn Katsir” juz.4 hal.516-517
[2] Fakhr
al-Razi “Tafsiir Fakhr al-Razy” juz.8 hal. 28-29
No comments:
Post a Comment