Wednesday 18 April 2018

Konsep Kewanitaan Versi Uqud Al-Lijain


         Dalam perjalanan hidup manusia, pola pikir masing-masing individu tentu akan selalu dibentuk oleh berbagai macam faktor, diantaranya terbentuk melalui psikologys system atau sistem kejiwaan yang bisa dikatakan cenderung abstrak. Atau dalam term lain, hal ini biasa dibaca lewat penampakan lahiriyah yang disebut karakter.
        Perbedaan jenis kelamin merupakan satu contoh permasalahan yang membawa perubahan pola pikir, hanya saja apakah sebatas lahiriyah, ataukah bisa sampai mengakar hingga mampu membentuk kejiwaan dengan struktur rohani yang berbeda ?, tentu permasalahan ini perlu kita kaji lagi.

1.      Dimulai dengan formasi kejiwaan manusia yang sudah digariskan dalam sunatullah dengan beberapa ciri khusus. Firman Allah dalam QS. Al-Syams : 6-7

ونفس وما سواها فألهمها فجورها وتقواها

Artinya;”Dan jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan”

Manusia pada awal kelahirannya selalu ditakdirkan membawa kebeningan jiwa, keputihan rohani serta fitrah luhur sebagai mahluk sempurna.[1] Pada tahap berikutnya Allah memberikan ruang kebebasan untuk memilih antara kebenaran dan kebathilan sebagai penyempurnaan. Benar, kalau dikatakan manusia ibarat kertas putih yang bebas untuk diwarnai apa saja, namun ketika ilham Allah memberikan dua warna dalam jiwa manusia, garis kebebasan yang seolah tanpa batas menjadi jelas dan akan selalu berujung pada dua hal, kebenaran dan kebathilan. Dari keterangan ini kita dapat menyimpulkan beberapa hal. Pertama, secara prinsip manusia dalam berbagai jenis mempunyai nilai persamaan dalam konteks kejiwaan, yaitu jiwa fitrah yang mempunyai potensi kebaikan dan keburukan. Kedua, kebaikan dan keburukan merupakan tolak ukur hakiki yang menentukan keberuntungan seorang manusia, bukan diukur dari jenis maupun golongan. Dapat dilihat dari lanjutan ayatnya, “Sungguh beruntung mereka yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya”.

2.    Ketegasan Al-Qur’an dalam membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dapat kita lihat dalam beberapa ayat, diantaranya disebutkan;

§  “Dan mereka (para isteri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban-menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi kaum laki-laki (suami) mempunyai satu tingkat (kelebihan) daripada mereka”
§  “Dan tidaklah laki-laki itu sama dengan perempuan”
§  “Mereka laki-laki adalah pemimpin bagi para wanita karena Alloh telah melebihkan sebagian mereka  (laki–laki) atas sebagian yang lain (wanita) karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka”.
Apakah hal ini menjadi absolut, hingga secara lahir maupun bathin wanita tidak akan pernah sama ataupun mendapatkan persamaan dengan laki-laki ?. Ada beberapa hal yang dapat kita simpulkan dalam wacana ini..
Pertama, meskipun ayat yang menegaskan ketidaksamaan laki-laki dan perempuan bermula dari cerita tentang pengabdian di tempat suci (Bait al-Maqdis), namun argumentasi maknawiah yang diungkapkan oleh mayoritas ahli tafsir memperkuat posisi ayat ini sebagai dalil yang relevan. Mereka mengungkapkan, lemahnya fisik wanita disebabkan berbagai faktor memberikan kenyataan bahwa wanita tidak sebebas laki-laki dalam masalah penanganan fasilitas publik seperti halnya tempat-tempat ibadah. Sedangkan menurut mereka, norma maupun aspek keamanan juga membatasi peran mereka di tengah-tengah umat.[2]
Kedua, pernyataan bahwa kaum wanita akan memperoleh derajat sama dalam keluarga manakala menjadi tulang punggung keluarga adalah tidak berdasar. Karena dari tinjauan metodologi ushul fiqh, pernyataan itu hanya sebagai kepahaman terbalik (mafhum al-Mukhalafah) dari sebuah ayat, padahal secara konsep hal itu tidak berlaku lagi ketika berbenturan dengan sebuah dalil khas (khusus).
Ketiga, Sebagian kalangan menyikapi hadits nabi tentang ketidakmampuan wanita dari sudut pandang agama dan akal, dimana Nabi mengungkapkan dengan istilah “Naqiisat al-Diin wa Naqisaat aqlin”, bahwa kelemahan itu hanya bukan naqs fithri (kekurangan bawaan) namun hanya sebatas kelemahan temporal, yaitu ketika datang udzur yang menghalangi mereka untuk mendapatkan kekuatan yang sama dengan laki-laki. Sehingga mereka berani menampilkan ini sebagai argumentasi bahwa kaum wanita layak dan mampu untuk diposisikan sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang. Mereka juga mempunyai beberapa alasan, diantaranya tentang kemampuan Umul Mukminin A’isyah dalam mengahapal berbagai maqalah dari nabi melebihi sahabat lain dari kaum laki-laki. Atau tentang majunya beliau ke medan perang Jamal demi memimpin pasukan melawan pemerintahan Ali r.a. Juga ada realita legenda dalam al-Quran tentang seorang ratu wanita yang masyhur dengan segala kemewahan dan kemakmuran. Dalam menyikapi hal ini cukup kita tengok realita sejarah dalam perang Jamal, disebutkan sebuah hadits sahih, ketika A’isyah mengajak Abi Bakrah untuk bersama berkoalisi dalam peperangan, beliau menolak dengan mengatakan;”Sesungguhnya engkau adalah ibu oarang-orang mukmin dan sesungguhnya hakmu adalah aku akan tetapi aku mendengar rasul bersabda “laan yufliha al-kaum ….”. Dan ternyata memang demikian, pasukan jamal yang dipimpin Aisyah mengalami kekalahan dan cukup kiranya apa yang dilakukan Abi Bakrah sebagai bukti bahwa hadist di atas berlaku umum. Atau tentang kegagalan Ratu Bulqis dalam memimpin rakyatnya hingga Alloh menghendaki koalisi pemerintahannya dengan kekuasaan Nabi Sulaiman. Dan masih banyak lagi argumentasi lain.
Keempat, kenyataan bahwa wanita sebagai sosok manusia yang lemah dari sudut pandang agama dan akal, dapat kita pahami melalui beberapa pendekatan yang coba digambarkan oleh Nabi. Beliau mengatakan, lemah dalam akal artinya seorang wanita terkadang labil dalam mengambil sebuah keputusan akibat dari sensitifitas kejiwaannya. Dicontohkan seperti dalam persaksian, yang tentunya butuh keberanian maupun ketegasan dalam bersikap. Sedangkan lemah dalam agama menurut beliau nabi adalah keterbatasan wanita untuk melakukan ritualitas disebabkan banyak kendala ketika waktu-waktu tertentu. Hal ini disikapi sebagai acuan dasar peniadaan taklif bagi wanita dalam jihad , shalat Jumat, jamaah dan dalam bidang lainnya.
Kelima, secara kodrati wanita harus diakui punya daya tarik dan pesona alami. Dan di sisi lain lawan jenis mempunyai karakter aktif dan responsif, tegakah kita membiarkan dua sifat ini mengakibatkan goncangan sosial ketika bertemu di tengah situasi yang tidak kondusif ? atau kita anggap hal itu sebagai hal wajar, sehingga kita perlu mempertanyakan relevensi jilbab dalam konteks publik desensi (kepatutan umum). Kalau kita rasionalkan, rasanya wajar apabila syariat Islam menerapkan aturan keamanan sebagai langkah preventif. Mulai dari aspek ritualitas, sosial hingga masalah jihad, pola keamanan tetap menjadi prioritas yang tetap harus dijaga. Hingga kita tidak perlu mempertanyakan alasan larangan beribadah, berkarir, bepergian serta melakukan aktivitas lain ketika jaminan keamanan tidak bisa terpenuhi.

Ketika kita konsisten melaksanakan tatanan yang sudah ada dalam agama, tentang prinsip-prinsip kewanitaan, bukan problematika yang timbul. Akan tetapi stabilitas, kerukunan dan kondisi sosial keagamaan yang tertanam serta mengakar di tengah-tengah umat.







[1]. Ibn Katsir “Tafsiir Ibn Katsir” juz.4 hal.516-517
[2] Fakhr al-Razi “Tafsiir Fakhr al-Razy” juz.8 hal. 28-29

No comments: