بَابُ
الصَّلَاةِ
BAB SHALAT
هِيَ شَرْعاً أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مَخْصُوْصَةٌ
مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ وَسُمِّيَتْ بِذَلِكَ
لاِشْتِمَالِهَا عَلَى الصَّلَاةِ لُغَةً وَهِيَ الدُّعَاءُ وَالْمَفْرُوْضَاتُ العَيْنِيَّةُ خَمْسٌ فِي كُلِّ
يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ مَعْلُوْمَةٌ مِنَ الدِّينِ بِالضَّرُوْرَةِ فيََكْفُرُ جَاحِدُهَا
وَلَمْ تَجْتَمِعْ هَذِهِ الْخَمْسُ لِغَيْرِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَفُرِضَتْ لَيْلةَ الْإِسْرَاءِ بَعْدَ
النبُوَّةِ بِعَشْرِ سِنِيْنَ وَثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ
مِنْ رَجَبَ وَلَمْ تَجِبْ صُبْحَ يَوْمِ تِلْكَ الَّليْلَةِ لِعَدَمِ الْعِلْمِ
بِكَيْفِيَّتِهَا.
Shalat
menurut syara' adalah ucapan dan perbuatan[1]
yang ditertentukan, yang dibuka dengan takbiratu-ihram, dan
ditutup dengan salam. Shalat dinamakan demikian karena mencakupnya shalat
terhadap shalat secara bahasa yakni bermakna doa. Shalat
yang difardlukan secara individual
berjumlah lima waktu setiap hari dan malam yang telah diketahui dari
agama secara pasti. Maka dihukumi kafir bagi orang yang menentangnya. Shalat
lima waktu ini tidak terkumpul selain pada nabi kita Muhammad SAW[2].
Shalat lima waktu difardukan pada malam isra setelah 10 tahun kenabian
lebih 3 bulan. Tepatnya, terjadi pada malam 27 bulan rajab. Shalat
shubuh dari malam itu tidak diwajibkan sebab belum mengetahui tata caranya.
(إِنَّمَا تَجِبُ
الْمَكْتُوْبَةُ) أَيْ الصَّلَوَاتُ الخَمْسُ (عَلَى) كُلِّ (مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ)
أَيْ بَالِغٍ عَاقِلٍ ذَكَرٍ أَوْ غَيْرِهِ (طَاهِرٍ) فَلَا تَجِبُ عَلَى كَافِرٍ
أَصْلِيٍّ وَصَبِيٍّ وَمَجْنُوْنٍ وَمُغْمًى عَلَيْهِ وُسَكْرَانَ بِلَا تَعَدٍّ لِعَدَمِ
تَكْلِيْفِهِمْ وَلَا عَلَى حَائِضٍ وَنُفَسَاءَ لِعَدَمِ صِحَّتِهَا مِنْهُمَا وَلَا
قَضَاءَ عَلَيْهِمَا بَلْ تَجِبُ عَلَى مُرْتَدٍّ وَمُتَعَدٍّ بِسُكْرٍ
(Kewajiban melaksanakan shalat maktubah)[3]
yakni sholat lima waktu (hanya dibebankan kepada ) setiap ( orang muslim yang
mukallaf ) yaitu seorang muslim yang
telah baligh,[4]
berakal, baik laki-laki maupun yang lainya ( dan orang suci ) Maka
ritual ibadah shalat itu tidak diwajibkan bagi orang kafir asli, anak kecil,
orang gila, epilepsi, dan orang mabuk yang tidak ceroboh, karena tidak ada
tanggungan bagi mereka, dan juga tidak wajib seorang wanita yang haid dan nifas sebab tidak
sah shalat dari mereka berdua. Tidak ada
kewajiban mengganti shalat yang ditinggalkan atas mereka berdua, namun sholat
hukumnya wajib bagi orang murtad[5]
dan orang yang ceroboh dalam hilangnya
akal sebab mabuk.
(وَيُقْتَلُ) أَيِ الْمُسْلِمُ الْمُكَلَّفُ
الطَّاهِرُ حَدّاً بِضَرْبِ عُنُقِهِ (إِنْ أَخْرَجَهَا) أَيِ الْمَكْتُوْبَةَ عَامِداً
(عَنْ وَقْتِ جَمْعٍ) لَهَا إِنْ كَانَ كَسَلاً مَعَ اعْتِقَادِ وُجُوبِهَا (إِنْ
لَمْ يَتُبْ) بَعْد اْلِاسْتِتَابَةِ وَعَلَى نَدْبِ الْاِسْتِتَابَةِ لاَ يَضْمَنُ
مَنْ قَتَلَهُ قَبْلَ التَّوْبَةِ لَكِنَّهُ يَأْثَمُ وَيُقْتَلُ كُفْراً إِنْ تَرَكَهَا
جَاحِداً وُجُوبَهَا فَلَا يُغْسَلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ
(Seorang muslim mukallaf yang suci dibunuh)
dengan memenggal kepalanya sebagai hukuman
(ketika dia mengeluarkan waktu
shalat) yang telah diwajibkan[6]
secara sengaja (dari waktu yang dapat digunakan menjama’) sholat fardlu
tersebut[7]
, jika ia merasa malas yang disertai
dengan keyakinan terhadap kewajibannya (kalau
ia tidak bertaubat) setelah disuruh. Jika mengikuti pendapat yang menghukumi
sunah menyuruh orang yang meninggalkan sholat untuk taubat maka tidak wajib
mengganti rugi bagi orang yang membunuhnya sebelum ia taubat namun hukumnya
berdosa.[8]
Dan dibunuh dengan status kafir apabila ia meninggalkan sholat sebab menentang kewajibannya , maka ia tidak boleh dimandikan dan dishalati.
(وَيُبَادِرُ) مَنْ مَرَّ (بِفَائِتٍ)
وُجُوْباً إِنْ فَاتَ بِلَا عُذْرٍ فَيَلْزَمُهُ
الْقَضَاءُ فَوْراً قَالَ شَيْخُنَا أَحْمَدُ بْنُ حَجَرٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى
وَالَذِّي يَظْهُرُ أَنَّهُ يَلْزَمُهُ صَرْفُ جَمِيعِ زَمَنِهِ لِلْقَضَاءِ مَا عَدَا
مَا يَحْتَاجُ لِصَرْفِهِ فِيْمَا لَا بُدَّ مِنْهُ وَأَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ
التَّطَوُّعُ وَيُبَادِرُ بِهِ نَدْباً إِنْ فَاتَ بِعُذْرٍ كَنَوْمٍ لَمْ
يَتَعَدَّ بِهِ وَنِسْيَانٍ كَذَلِكَ.
Bersegera melaksanakan sholat yang
ditinggalkan oleh orang yang talah disebutkan hukumnya adalah wajib, jika
shalat tersebut ditinggalkan dengan tanpa udzur maka wajib baginya mengganti atau
mengqadla sholat tersebut segera. Guru kita syekh ibnu Hajar – semoga Allah mengasihinya - mengatakan : “Jelaslah bahwa baginya wajib menggunakan seluruh waktunya untuk mengganti
sholat yang ditinggalkan selain waktu yang ia butuhkan untuk digunakan dalam
hal yang wajib,[9]
dan haram baginya melakukan kesunahan . Sunah bersegera mengqadla’ sholat yang
ditinggalkan ketika sholat tersebut
ditinggalkan sebab udzur seperti tidur yang tidak ceroboh , begitu pula lupa.
(ويُسَنُّ تَرْتِيْبُهُ) أَيِ الْفَائِتِ فَيَقْضِي
الصُّبْحَ قَبْلَ الظُّهْرِ وَهَكَذَا (وَتَقْدِيْمُهُ عَلَى حَاضِرَةٍ لَا يَخَافُ
فَوْتَهَا) إِنْ
فَاتَ بِعُذْرٍ وَإِنْ خَشِيَ فَوْتَ جَمَاعَتِهَا عَلَى الْمُعْتَمَدِ وَإِذَا فَاتَ
بِلاَ عُذْرٍ فَيَجِبُ تَقْدِيمُهُ عَلَيْهَا أَمَا إِذَا خاَفَ فَوْتَ الحَاضِرَةِ
بِأَنْ يَقَعَ بَعْضُهَا وَإِنْ قَلَّ خَارِجَ الْوَقْتِ فَيَلْزَمُهُ الْبَدْءُ بِهَا
وَيَجِبُ تَقْدِيْمُ مَا فَاتَ بِغَيْرِ عُذْرٍ عَلَى مَا فَاتَ بِعُذرٍ وَإِنْ
فَقَدَ التَّرْتِيْبَ لِأَنَّهُ سُنَّةٌ وَالْبَدَارُ وَاجِبٌ وَيُنْدَبُ تَأْخِيْرُ
الرَّوَاتِبِ عَنْ الفَوَائِتِ بِعُذْرٍ وَيَجِبُ تَأْخِيْرُهَا عَنِ الْفَوَائِتِ
بِغَيْرِ عُذْرٍ.
Disunahkan
untuk mentartibkan sholat yang ditinggalkan, maka sholat shubuh dikerjakan
terlebih dahulu sebelum dluhur dan begitu seterusnya. Disunahkan mendahulukan
sholat qadla’ atas sholat yang hadir
yang tidak ditakutkan habisnya waktu, jika sholatnya ditinggalkan dengan sebab
udzur, walaupun orang tersebut takut kehilangan shalat berjama’ah dari shalat
yang hadir menurut pendapat yang Mu’tamad. Jika sholat tersebut ditinggalkan
dengan tanpa udzur maka wajib baginya untuk mendahulukan mengerjakan sholat qadla’
dengan mengakhirkan sholat yang hadir. Sedangkan apabila ia takut kehilangan
waktu yang hadir dengan beradanya sebagian waktu hadir - walaupun hanya sedikit
- diluar waktunya maka wajib baginya
mengawali sholat yang hadir. Wajib mendahulukan shalat yang ditinggalkan tanpa
ada udzur atas shalat yang ditinggalkan dengan udzur walaupun menyebabkan
kehilangan tartib[10]
sebab hukum tartib hanya sunah sedang bersegera hukumnya wajib.[11]
Disunahkan untuk mengakhirkan shalat rawatib dari shalat yang ditinggalkan
dengan udzur dan wajib mengakhirkan atas sholat yang ditinggalkan dengan tanpa
udzur.
)تَنْبِيْهٌ(
مَنْ ماتَ وَعَلَيْهِ
صَلاَةُ فَرْضٍ لَمْ تُقْضَ وَلَمْ تُفْدَ عَنْهُ وَفِي قَوْلٍ أَنَهَا تُفْعَلُ عَنْهُ
أَوْصَى بِهَا أَمْ لاَ حَكَاهُ الْعُبَادِي عَنِ الشَّافِعِيّ لِخَبَرٍ فِيْهِ وَفَعَلَ
بِهِ السُّبْكِيِّ عَنْ بَعْضِ أَقَاربِهِ
(Peringatan
) Barang siapa meninggal dunia sedang ia masih memiliki tanggungan shalat fardlu
maka sholatnya tidak diganti dan tidak dibayar fidyah sebagai ganti sholat yang
ditinggalkannya.[12]
Sebagian pendapat mengatakan : Shalat tersebut dapat dikerjakan sebagai ganti
sholat yang ditinggalkan, baik orang tersebut berwasiat ataupun tidak. Imam al-Ubadie
menghikayatkan pendapat tersebut dari imam Syafi’ie sebab adanya hadist tentang
hal tersebut dan imam Subkie dengan pendapat tersebut melakukannya sebagai
ganti sholat yang ditinggal oleh sebagian
kerabatnya.
(وَيُؤْمَرُ) ذُوْ صَباً ذَكَرٌ أَوْ اُنْثَى
(مُمَيِّزٌ) بِأَنْ صَارَ يَأْكُلُ وَيَشْرُبُ وَيَسْتَنْجِي وَحْدَهُ أَيْ يَجِبُ
عَلَى كُلِّ مِنْ أبَوَيْهِ وَإِنْ عَلاَ ثُمَّ الْوَصِيِّ وَعَلَى مَالِكِ الرَّقِيْقِ
أَنْ يَأْمُرَ (بِهَا) أَيِ الصَّلاَةِ وَلَوْ قَضَاءً وَبِجَمِيْعِ شُرُوْطِهَا
(لِسَبْعٍ) أَيْ بَعْدَ سَبْعٍ مِنَ السِّنِيْنَ أَيْ عِنْدَ تَمَامِهَا وَإِنْ مَيَّزَ
قَبْلَهَا وَيَنْبَغِي مَعَ صِيْغَةِ الْأَمْرِ التَّهْدِيْدُ (وَيُضْرَبُ)
ضَرْباً غَيْرَ مُبَرِّحٍ وُجُوْباً مِمَنْ ذُكِرَ (عَلَيْهَا) أَيْ عَلَى تَرْكِهَا
وَلَوْ قَضَاءً أَوْ تَرَكَ شَرْطاً مِنْ شُرُوْطِهَا (لِعَشْرٍ) أَيْ بَعْدَ اسْتِكْمَالِهَا
لِلْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ مُرُوا الصَّبِيَّ
بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا
(كَصَوْمٍ أَطَاقَهُ) فَإِنَّهُ يُؤْمَرُ بِهِ لِسَبْعٍ وَيُضْرَبَ عَلَيْهِ لِعَشْرٍ
كَالصَّلاَةِ وَحِكْمَةُ ذَلِكَ التَّمْرِيْنُ عَلَى الْعِبَادَةِ لِيَتَعَوَّدَهَا
فَلاَ يَتْرُكَهَا وَبَحَثَ الْأَذْرَعِيُّ فِي قِنٍّ صَغِيْرٍ كَافِرٍ نَطَقَ بِالشَّهَادَتَيْنِ
أَنَّهُ يُؤْمَرُ نَدْباً بِالصَّلاَةِ وَالصَّومِ يُحَثُّ عَلَيْهِمَا مِنْ غَيْرِ
ضَرْبٍ لِيَأْلَفَ الْخَيْرَ بَعْدَ بُلُوْغِهِ وَإِنْ أَبَى الْقِيَاسُ ذَلِكَ اِنْتَهَى
(Dan
diperintahkan) kepada anak kecil lelaki ataupun
perempuan (yang telah tamziz) yakni telah dapat makan , minum dan istinja’ sendiri
.[13]
Maksudnya wajib bagi setiap dari kedua
orang tua walaupun ketingkat seatasnya kemudian orang diwasiati dan orang yang
memiliki budak untuk memerintahkannya ( mengerjakan shalat ) walaupun shalat
tersebut adalah shalat qadla’ dan dengan seluruh persyaratan shalat ( ketika
anak tesebut telah mencapai umur setelah
tujuh tahun ) maksudnya setelah sempurna umur tujuh tahun walaupun anak
tersebut telah tamziz sebelum umur tersebut. Dan sebaiknya besertaan memerintah
juga disertai dengan menakut - nakuti. Wajib bagi
orang-orang yang telah disebutkan diatas (untuk memukul anak tersebut) dengan
pukulan yang tidak menyakitkan[14]
ketika ia ( meninggalkan shalat ) walaupun qadla’ atau
meninggalkan satu syarat dari syarat-syarat shalat ( setelah sempurna mencapai
umur sepuluh tahun) karena hadist yang shahih : "Perintahkanlah
anak kecil untuk melaksanakan shalat ketika berumur tujuh tahun dan ketika
berumur sepuluh tahun maka pukulah anak tersebut saat
meninggalkannya" ( Seperti halnya
kewajiban memerintahkan puasa bagi anak
yang telah mampu melaksanakannya ) maka anak tersebut diperintahkan untuk
melaksanakannya ketika berumur tujuh tahun dan dipukul saat meninggalkanya
ketika berumur 10 tahun seperti halnya shalat. Hikmah dari hal tersebut adalah
melatih untuk melakukan ibadah agar
anak terbiasa hingga tidak
meninggalkannya. Imam al-Adra’ie pernah membahas permasalahan budak kecil yang mampu
mengucapkan kalimat syahadat bahwa anak tersebut sunah untuk diperintahkan
untuk mengerjakan shalat dan puasa dengan motifasi tanpa pemukulan supaya anak
tersebut terbiasa melakukan kebaikan setelah baligh, Walaupun Secara qias hukum sunah tersebut
ditolak.
وَيَجِبُ أَيْضاً عَلَى مَنْ مَرَّ
نَهْيُهُ عَنِ الْمُحَرَّمَاتِ وَتَعْلِيمُهُ الْوَاجِبَاتِ وَنَحْوَهَا مِنْ سَائِرِ
الشَّرَائِعِ الظَّاهِرَةِ وَلَوْ سُنَّةً كَسِوَاكٍ وَأَمْرُهُ بِذَلِكَ وَلَا يَنْتَهِي
وُجُوْبُ مَا مَرَّ عَلَى مَنْ مَرَّ إِلاَّ بِبُلُوْغِهِ رَشِيْداً وَأُجْرَةُ تَعْلِيْمِهِ
ذَلِكَ كَاْلقُرْآنِ وَالْآدَابِ فِي مَالِهِ ثُمَّ عَلَى أَبِيْهِ ثُمَّ عَلَى
أُمِّهِ.
Wajib
pula bagi seorang yang telah disebutkan untuk mencegah seorang anak dari
melakukan perkara yang diharamkan, mengajarkan kewajiban-kewajiban dan
sejenisnya yakni dari setiap syari’at yang telah jelas walaupun itu sunah
seperti bersiwak.[15]
Hukum wajib memerintahkan anak
tersebut adalah dengan melakukan syariat
itu. Kewajiban yang telah lewat kepada orang-orang yang telah disebut tidak berakhir
kecuali anak itu telah baligh dalam keadaan pandai. Sedangkan upah mengajarkan
anak seperti mengajarkan al-Qur’an dan etika itu dibebankan kepada harta sang
anak, lalu ayahnya, lalu ibunya.
)تَنْبِيْهٌ(
ذَكَرَ السَّمْعَانِيّ فِي زَوْجَةٍ صَغِيْرَةٍ ذَاتِ أَبَوَيْنِ
أَنَّ وُجُوْبَ مَا مَرَّ عَلَيْهِمَا فَالزَّوْجِ وقَضِيَّتُهُ وُجُوْبُ ضَرْبِهَا
وَبِهِ وَلَوْ فِي الْكَبِيْرَةِ صَرَّحَ جَمَالُ الْإِسْلاَمِ البَزَرِيّ قَالَ شَيْخُنَا
وَهُوَ ظَاهِرٌ إِنْ لَمْ يَخْشَ نُشُوْزاً وَأَطْلَقَ الزَّرْكَشِي النَّدْبَ
(Peringatan
) Imam as-Sam’anie menyampaikan permasalahan seorang istri yang masih kecil
yang masih memiliki kedua orang tua bahwa kewajiban yang telah lewat dibebankan
kepada kedua orang tuannya[16]
kemudian suaminya. Dampak hukum dari itu adalah kewajiban memukul istri
tersebut. Imam Jamalul islam al-Barizie menjelaskan
kewajiban memukul sang istri walaupun istri tersebut telah dewasa. Guru kita
mengatakan : Hal itu jelas, namun jka tidak ditakutkan terjadinya nusyuz sedangkan
imam Zarkasi memutlakkan hukum sunah.
(وَأَوَّلُ وَاجِبٍ) حَتَّى عَلَى الْأَمْرِ
بِالصَّلاَةِ كَمَا قَالُوْا (عَلَى اْلآبَاءِ) ثُمَّ عَلَى مَنْ مَرَّ (تَعْلِيْمُهُ)
أَيِ المُمَيِّزِ (أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّداً بُعِثَ بِمَكَّةَ) وَوُلِدَ بِهَا
(وَدُفِنَ بِاْلمَدِيْنَةِ) وَمَاتَ بِهَا
(Awal
hal yang wajib ) [17]
sampai pada kewajiban memerintahan shalat seperti yang telah disampaikan oleh
para ulama ( kepada para ayah ) kemudian kepada orang – orang yang telah
disebutkan ( adalah mengajarkan
anak-anak) yang telah tamziz ( bahwa nabi kita nabi Muhammad diutus dikota Mekkah),
dilahirkan dikota tersebut, ( dimakamkan
dikota Madinah ) dan wafat dikota Madinah pula.
[1] Walaupun secara hukumnya saja seperti seperti
sholatnya seorang yang bisu dan dibelenggu. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.29 Darul
Fikr.
[2] Namun terpisah-pisah pada para nabi. Sholat Shubuh
sholatnya nabi Adam, Zduhur nabi Dawud, Ashar nabi Sulaiman, Maghrib nabi
Ya’qub dan Isya’ nabi Yunus. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.30 Darul Fikr.
[3] Selain dari dua syarat tersebut masih ada
dua syarat lagi yakni selamatnya panca indra mata dan pendengaran dan sampainya
dakwah. Bujairami ala khatib juz 1 hal. 46 Darl fikr
[4] Baik baligh dengan umur yakni 15 tahun,
keluar mani atau haid. Ianah
Thalibin Juz. 1 Hal.30 Darul Fikr
[5] Sebagai pemberatan hukum baginya. Ianah
Thalibin Juz. 1 Hal.30 Darul Fikr
[6] Seperti halnya meninggalkan rukun-rukun dan
syarat-syarat sholat yang tidak diperselisihkan oleh para ulama, atau ada
perselisihan namun pendapat lemah. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.31
Darul Fikr
[7] Maka orang tersebut tidak dibunuh dengan
meninggalkan sholat zhuhur sampai tenggelamnya matahari, dan juga tidak maghrib
sampai terbitnya fajar sebab sholat zhuhur dan ashar adalah waktu jama’. Ianah
Thalibin Juz. 1 Hal.31 Darul Fikr
[8] Begitu pula tidak wajib mengganti rugi bila
mengikuti pendapat yang mewajibkan untuk menyuruh taubat sebab darahnya telah
halal. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.31 Darul Fikr
[9] Menurut al-Habib Abdullah al-Hadad tidak
harus segera dan tidak harus menggunakan seluruh waktunya untuk mengqadla’.
Bughyah Musytarsidin Hal.31
[10] Berbeda dengan imam Ramli yang tetap
menghukumi sunah untuk mentartibkan secara mutlak. Ianah
Thalibin Juz. 1 Hal.32 Darul Fikr
[11] Ulama
yang tetap menghukumi sunah tartib beralasan bahwa tartib merupakan hal yang
dianjurkan yang tidak meniadakan hukum bersegera sebab dirinya tersibukkan
dengan ibadah dan tidak ceroboh. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.33
Darul Fikr
[12] Menurut imam Abu Hanifah : Dibayar fidyah
sebagai ganti sholatnya bila mayit berwasiat dan tidak diqadla’ie. Ianah
Thalibin Juz. 1 Hal.33 Darul Fikr
[13] Sebagian pendapat mengatakan bahwa tamziz
adalah seorang anak yang telah hal yang buruk dan baik. Ianah
Thalibin Juz. 1 Hal.33Darul Fikr
[14] Walaupun jumlahnya banyak menurut Ali
Sibromalisi, dan tidak boleh melebihi tiga kali menurut Ibnu Suraij. Ianah
Thalibin Juz. 1 Hal.33 Darul Fikr
[15] Imam
zakaria al-Ansharie tidak sepakat dengan hal tersebut. Dalam syarh Raudnya beliau
berkata : Maksud dari syariat adalah yang semakna dengan thaharah, sholat dan puasa. Ianah
Thalibin Juz. 1 Hal.34 Darul Fikr
[16] Maksudnya bila kedua orang tuanya telah tiada
maka kewajiban dibebankan kepada suami. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.35 Darul Fikr
[17] Artinya awal kewajiban pada orang tua
terhadap anaknya adalah mengajarkan bahwa nabi lahir dimekkah sampai akhir. Ianah
Thalibin Juz. 1 Hal.36 Darul Fikr
No comments:
Post a Comment