Tuesday 17 April 2018

Terjemah Fathal Muin Bab Sholat



بَابُ الصَّلَاةِ

BAB  SHALAT

 هِيَ شَرْعاً أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مَخْصُوْصَةٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ وَسُمِّيَتْ بِذَلِكَ لاِشْتِمَالِهَا عَلَى الصَّلَاةِ لُغَةً وَهِيَ الدُّعَاءُ  وَالْمَفْرُوْضَاتُ العَيْنِيَّةُ خَمْسٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ مَعْلُوْمَةٌ مِنَ الدِّينِ بِالضَّرُوْرَةِ فيََكْفُرُ جَاحِدُهَا وَلَمْ تَجْتَمِعْ هَذِهِ الْخَمْسُ لِغَيْرِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ  وَفُرِضَتْ لَيْلةَ الْإِسْرَاءِ بَعْدَ النبُوَّةِ بِعَشْرِ سِنِيْنَ وَثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ مِنْ رَجَبَ وَلَمْ تَجِبْ صُبْحَ يَوْمِ تِلْكَ الَّليْلَةِ لِعَدَمِ الْعِلْمِ بِكَيْفِيَّتِهَا.

     Shalat menurut syara' adalah ucapan dan perbuatan[1] yang ditertentukan, yang dibuka dengan takbiratu-ihram, dan ditutup dengan salam. Shalat dinamakan demikian karena mencakupnya shalat terhadap shalat secara bahasa yakni bermakna doa.  Shalat yang difardlukan secara individual  berjumlah lima waktu  setiap hari dan malam yang telah diketahui dari agama secara pasti. Maka dihukumi kafir bagi orang yang menentangnya. Shalat lima waktu ini tidak terkumpul selain pada nabi kita Muhammad SAW[2]. Shalat lima waktu difardukan pada malam isra setelah 10 tahun kenabian lebih 3 bulan. Tepatnya, terjadi pada malam 27 bulan rajab. Shalat shubuh dari malam itu tidak diwajibkan sebab belum mengetahui tata caranya.

 (إِنَّمَا تَجِبُ الْمَكْتُوْبَةُ) أَيْ الصَّلَوَاتُ الخَمْسُ (عَلَى) كُلِّ (مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ) أَيْ بَالِغٍ عَاقِلٍ ذَكَرٍ أَوْ غَيْرِهِ (طَاهِرٍ) فَلَا تَجِبُ عَلَى كَافِرٍ أَصْلِيٍّ وَصَبِيٍّ وَمَجْنُوْنٍ وَمُغْمًى عَلَيْهِ وُسَكْرَانَ بِلَا تَعَدٍّ لِعَدَمِ تَكْلِيْفِهِمْ وَلَا عَلَى حَائِضٍ وَنُفَسَاءَ لِعَدَمِ صِحَّتِهَا مِنْهُمَا وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِمَا بَلْ تَجِبُ عَلَى مُرْتَدٍّ وَمُتَعَدٍّ بِسُكْرٍ

   (Kewajiban melaksanakan shalat maktubah)[3] yakni sholat lima waktu (hanya dibebankan kepada ) setiap ( orang muslim yang mukallaf )  yaitu seorang muslim yang telah baligh,[4] berakal, baik laki-laki maupun yang lainya ( dan orang  suci )  Maka ritual ibadah shalat itu tidak diwajibkan bagi orang kafir asli, anak kecil, orang gila, epilepsi, dan orang mabuk yang tidak ceroboh, karena tidak ada tanggungan bagi mereka, dan juga tidak wajib  seorang wanita yang haid dan nifas sebab tidak sah shalat dari mereka berdua.  Tidak ada kewajiban mengganti shalat yang ditinggalkan atas mereka berdua, namun sholat hukumnya wajib bagi orang murtad[5] dan orang yang ceroboh  dalam hilangnya akal sebab mabuk.

 (وَيُقْتَلُ) أَيِ الْمُسْلِمُ الْمُكَلَّفُ الطَّاهِرُ حَدّاً بِضَرْبِ عُنُقِهِ (إِنْ أَخْرَجَهَا) أَيِ الْمَكْتُوْبَةَ عَامِداً (عَنْ وَقْتِ جَمْعٍ) لَهَا إِنْ كَانَ كَسَلاً مَعَ اعْتِقَادِ وُجُوبِهَا (إِنْ لَمْ يَتُبْ) بَعْد اْلِاسْتِتَابَةِ وَعَلَى نَدْبِ الْاِسْتِتَابَةِ لاَ يَضْمَنُ مَنْ قَتَلَهُ قَبْلَ التَّوْبَةِ لَكِنَّهُ يَأْثَمُ وَيُقْتَلُ كُفْراً إِنْ تَرَكَهَا جَاحِداً وُجُوبَهَا فَلَا يُغْسَلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ

   (Seorang muslim mukallaf yang suci dibunuh) dengan memenggal kepalanya sebagai hukuman   (ketika dia mengeluarkan waktu shalat) yang telah diwajibkan[6] secara sengaja  (dari waktu  yang dapat digunakan menjama’) sholat fardlu tersebut[7] ,  jika ia merasa malas yang disertai dengan keyakinan  terhadap kewajibannya (kalau ia tidak bertaubat) setelah disuruh. Jika mengikuti pendapat yang menghukumi sunah menyuruh orang yang meninggalkan sholat untuk taubat maka tidak wajib mengganti rugi bagi orang yang membunuhnya sebelum ia taubat namun hukumnya berdosa.[8] Dan dibunuh dengan status kafir apabila ia meninggalkan sholat sebab menentang  kewajibannya ,  maka ia tidak boleh dimandikan dan dishalati.

(وَيُبَادِرُ) مَنْ مَرَّ (بِفَائِتٍ) وُجُوْباً  إِنْ فَاتَ بِلَا عُذْرٍ فَيَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ فَوْراً قَالَ شَيْخُنَا أَحْمَدُ بْنُ حَجَرٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَالَذِّي يَظْهُرُ أَنَّهُ يَلْزَمُهُ صَرْفُ جَمِيعِ زَمَنِهِ لِلْقَضَاءِ مَا عَدَا مَا يَحْتَاجُ لِصَرْفِهِ فِيْمَا لَا بُدَّ مِنْهُ وَأَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّطَوُّعُ وَيُبَادِرُ بِهِ نَدْباً إِنْ فَاتَ بِعُذْرٍ كَنَوْمٍ لَمْ يَتَعَدَّ بِهِ وَنِسْيَانٍ كَذَلِكَ.

    Bersegera melaksanakan sholat yang ditinggalkan oleh orang yang talah disebutkan hukumnya adalah wajib, jika shalat tersebut ditinggalkan dengan tanpa udzur maka wajib baginya mengganti atau mengqadla sholat tersebut segera. Guru kita syekh ibnu Hajar – semoga Allah mengasihinya  - mengatakan : “Jelaslah bahwa baginya wajib  menggunakan seluruh waktunya untuk mengganti sholat yang ditinggalkan selain waktu yang ia butuhkan untuk digunakan dalam hal yang wajib,[9] dan haram baginya melakukan kesunahan . Sunah bersegera mengqadla’ sholat yang ditinggalkan  ketika sholat tersebut ditinggalkan sebab udzur seperti tidur yang tidak ceroboh , begitu pula lupa.

(ويُسَنُّ تَرْتِيْبُهُ) أَيِ الْفَائِتِ فَيَقْضِي الصُّبْحَ قَبْلَ الظُّهْرِ وَهَكَذَا (وَتَقْدِيْمُهُ عَلَى حَاضِرَةٍ لَا يَخَافُ فَوْتَهَا) إِنْ فَاتَ بِعُذْرٍ وَإِنْ خَشِيَ فَوْتَ جَمَاعَتِهَا عَلَى الْمُعْتَمَدِ وَإِذَا فَاتَ بِلاَ عُذْرٍ فَيَجِبُ تَقْدِيمُهُ عَلَيْهَا أَمَا إِذَا خاَفَ فَوْتَ الحَاضِرَةِ بِأَنْ يَقَعَ بَعْضُهَا وَإِنْ قَلَّ خَارِجَ الْوَقْتِ فَيَلْزَمُهُ الْبَدْءُ بِهَا وَيَجِبُ تَقْدِيْمُ مَا فَاتَ بِغَيْرِ عُذْرٍ عَلَى مَا فَاتَ بِعُذرٍ وَإِنْ فَقَدَ التَّرْتِيْبَ لِأَنَّهُ سُنَّةٌ وَالْبَدَارُ وَاجِبٌ وَيُنْدَبُ تَأْخِيْرُ الرَّوَاتِبِ عَنْ الفَوَائِتِ بِعُذْرٍ وَيَجِبُ تَأْخِيْرُهَا عَنِ الْفَوَائِتِ بِغَيْرِ عُذْرٍ.

 Disunahkan untuk mentartibkan sholat yang ditinggalkan, maka sholat shubuh dikerjakan terlebih dahulu sebelum dluhur dan begitu seterusnya. Disunahkan mendahulukan sholat qadla’ atas sholat yang  hadir yang tidak ditakutkan habisnya waktu, jika sholatnya ditinggalkan dengan sebab udzur, walaupun orang tersebut takut kehilangan shalat berjama’ah dari shalat yang hadir menurut pendapat yang Mu’tamad. Jika sholat tersebut ditinggalkan dengan tanpa udzur maka wajib baginya untuk mendahulukan mengerjakan sholat qadla’ dengan mengakhirkan sholat yang hadir. Sedangkan apabila ia takut kehilangan waktu yang hadir dengan beradanya sebagian waktu hadir - walaupun hanya sedikit -  diluar waktunya maka wajib baginya mengawali sholat yang hadir. Wajib mendahulukan shalat yang ditinggalkan tanpa ada udzur atas shalat yang ditinggalkan dengan udzur walaupun menyebabkan kehilangan tartib[10] sebab hukum tartib hanya sunah sedang bersegera hukumnya wajib.[11] Disunahkan untuk mengakhirkan shalat rawatib dari shalat yang ditinggalkan dengan udzur dan wajib mengakhirkan atas sholat yang ditinggalkan dengan tanpa udzur.

 )تَنْبِيْهٌ( مَنْ ماتَ وَعَلَيْهِ صَلاَةُ فَرْضٍ لَمْ تُقْضَ وَلَمْ تُفْدَ عَنْهُ وَفِي قَوْلٍ أَنَهَا تُفْعَلُ عَنْهُ أَوْصَى بِهَا أَمْ لاَ حَكَاهُ الْعُبَادِي عَنِ الشَّافِعِيّ لِخَبَرٍ فِيْهِ وَفَعَلَ بِهِ السُّبْكِيِّ عَنْ بَعْضِ أَقَاربِهِ

(Peringatan ) Barang siapa meninggal dunia sedang ia masih memiliki tanggungan shalat fardlu maka sholatnya tidak diganti dan tidak dibayar fidyah sebagai ganti sholat yang ditinggalkannya.[12] Sebagian pendapat mengatakan : Shalat tersebut dapat dikerjakan sebagai ganti sholat yang ditinggalkan, baik orang tersebut berwasiat ataupun tidak. Imam al-Ubadie menghikayatkan pendapat tersebut dari imam Syafi’ie sebab adanya hadist tentang hal tersebut dan imam Subkie dengan pendapat tersebut melakukannya sebagai ganti sholat  yang ditinggal oleh sebagian kerabatnya.  

(وَيُؤْمَرُ) ذُوْ صَباً ذَكَرٌ أَوْ اُنْثَى (مُمَيِّزٌ) بِأَنْ صَارَ يَأْكُلُ وَيَشْرُبُ وَيَسْتَنْجِي وَحْدَهُ أَيْ يَجِبُ عَلَى كُلِّ مِنْ أبَوَيْهِ وَإِنْ عَلاَ ثُمَّ الْوَصِيِّ وَعَلَى مَالِكِ الرَّقِيْقِ أَنْ يَأْمُرَ (بِهَا) أَيِ الصَّلاَةِ وَلَوْ قَضَاءً وَبِجَمِيْعِ شُرُوْطِهَا (لِسَبْعٍ) أَيْ بَعْدَ سَبْعٍ مِنَ السِّنِيْنَ أَيْ عِنْدَ تَمَامِهَا وَإِنْ مَيَّزَ قَبْلَهَا وَيَنْبَغِي مَعَ صِيْغَةِ الْأَمْرِ التَّهْدِيْدُ (وَيُضْرَبُ) ضَرْباً غَيْرَ مُبَرِّحٍ وُجُوْباً مِمَنْ ذُكِرَ (عَلَيْهَا) أَيْ عَلَى تَرْكِهَا وَلَوْ قَضَاءً أَوْ تَرَكَ شَرْطاً مِنْ شُرُوْطِهَا (لِعَشْرٍ) أَيْ بَعْدَ اسْتِكْمَالِهَا لِلْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ  وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا (كَصَوْمٍ أَطَاقَهُ) فَإِنَّهُ يُؤْمَرُ بِهِ لِسَبْعٍ وَيُضْرَبَ عَلَيْهِ لِعَشْرٍ كَالصَّلاَةِ وَحِكْمَةُ ذَلِكَ التَّمْرِيْنُ عَلَى الْعِبَادَةِ لِيَتَعَوَّدَهَا فَلاَ يَتْرُكَهَا وَبَحَثَ الْأَذْرَعِيُّ فِي قِنٍّ صَغِيْرٍ كَافِرٍ نَطَقَ بِالشَّهَادَتَيْنِ أَنَّهُ يُؤْمَرُ نَدْباً بِالصَّلاَةِ وَالصَّومِ يُحَثُّ عَلَيْهِمَا مِنْ غَيْرِ ضَرْبٍ لِيَأْلَفَ الْخَيْرَ بَعْدَ بُلُوْغِهِ وَإِنْ أَبَى الْقِيَاسُ ذَلِكَ اِنْتَهَى

(Dan diperintahkan) kepada anak kecil  lelaki ataupun perempuan (yang telah tamziz) yakni  telah dapat makan , minum dan istinja’ sendiri .[13] Maksudnya wajib bagi setiap  dari kedua orang tua walaupun ketingkat seatasnya kemudian orang diwasiati dan orang yang memiliki budak untuk memerintahkannya ( mengerjakan shalat ) walaupun shalat tersebut adalah shalat qadla’ dan dengan seluruh persyaratan shalat ( ketika anak tesebut  telah mencapai umur setelah tujuh tahun ) maksudnya setelah sempurna umur tujuh tahun walaupun anak tersebut telah tamziz sebelum umur tersebut. Dan sebaiknya besertaan memerintah juga disertai dengan menakut - nakuti. Wajib bagi orang-orang yang telah disebutkan diatas (untuk memukul anak tersebut) dengan pukulan yang tidak menyakitkan[14] ketika ia ( meninggalkan shalat ) walaupun qadla’ atau meninggalkan satu syarat dari syarat-syarat shalat ( setelah sempurna mencapai umur sepuluh  tahun) karena  hadist yang shahih : "Perintahkanlah anak kecil untuk melaksanakan shalat ketika berumur tujuh tahun dan ketika berumur sepuluh tahun maka pukulah anak tersebut saat meninggalkannya" ( Seperti halnya kewajiban memerintahkan  puasa bagi anak yang telah mampu melaksanakannya ) maka anak tersebut diperintahkan untuk melaksanakannya ketika berumur tujuh tahun dan dipukul saat meninggalkanya ketika berumur 10 tahun seperti halnya shalat. Hikmah dari hal tersebut adalah melatih untuk melakukan ibadah   agar anak  terbiasa hingga tidak meninggalkannya. Imam al-Adra’ie pernah membahas   permasalahan budak kecil yang mampu mengucapkan kalimat syahadat bahwa anak tersebut sunah untuk diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan puasa dengan motifasi tanpa pemukulan supaya anak tersebut terbiasa melakukan kebaikan setelah baligh,  Walaupun Secara qias hukum sunah tersebut ditolak.  

وَيَجِبُ أَيْضاً عَلَى مَنْ مَرَّ نَهْيُهُ عَنِ الْمُحَرَّمَاتِ وَتَعْلِيمُهُ الْوَاجِبَاتِ وَنَحْوَهَا مِنْ سَائِرِ الشَّرَائِعِ الظَّاهِرَةِ وَلَوْ سُنَّةً كَسِوَاكٍ وَأَمْرُهُ بِذَلِكَ وَلَا يَنْتَهِي وُجُوْبُ مَا مَرَّ عَلَى مَنْ مَرَّ إِلاَّ بِبُلُوْغِهِ رَشِيْداً وَأُجْرَةُ تَعْلِيْمِهِ ذَلِكَ كَاْلقُرْآنِ وَالْآدَابِ فِي مَالِهِ ثُمَّ عَلَى أَبِيْهِ ثُمَّ عَلَى أُمِّهِ.

Wajib pula bagi seorang yang telah disebutkan  untuk mencegah seorang anak dari melakukan perkara yang diharamkan, mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sejenisnya yakni dari setiap syari’at yang telah jelas walaupun itu sunah seperti bersiwak.[15]  Hukum wajib memerintahkan anak tersebut  adalah dengan melakukan syariat itu. Kewajiban yang telah lewat kepada orang-orang yang telah disebut tidak berakhir kecuali anak itu telah baligh dalam keadaan pandai. Sedangkan upah mengajarkan anak seperti mengajarkan al-Qur’an dan etika itu dibebankan kepada harta sang anak, lalu ayahnya, lalu ibunya.

)تَنْبِيْهٌ( ذَكَرَ السَّمْعَانِيّ فِي زَوْجَةٍ صَغِيْرَةٍ ذَاتِ أَبَوَيْنِ أَنَّ وُجُوْبَ مَا مَرَّ عَلَيْهِمَا فَالزَّوْجِ وقَضِيَّتُهُ وُجُوْبُ ضَرْبِهَا وَبِهِ وَلَوْ فِي الْكَبِيْرَةِ صَرَّحَ جَمَالُ الْإِسْلاَمِ البَزَرِيّ قَالَ شَيْخُنَا وَهُوَ ظَاهِرٌ إِنْ لَمْ يَخْشَ نُشُوْزاً وَأَطْلَقَ الزَّرْكَشِي النَّدْبَ

(Peringatan ) Imam as-Sam’anie menyampaikan permasalahan seorang istri yang masih kecil yang masih memiliki kedua orang tua  bahwa kewajiban yang telah lewat dibebankan kepada kedua orang tuannya[16] kemudian suaminya. Dampak hukum dari itu adalah kewajiban memukul istri tersebut.  Imam Jamalul islam al-Barizie menjelaskan kewajiban memukul sang istri walaupun istri tersebut telah dewasa. Guru kita mengatakan : Hal itu jelas, namun jka tidak ditakutkan terjadinya nusyuz sedangkan imam Zarkasi memutlakkan hukum sunah.

(وَأَوَّلُ وَاجِبٍ) حَتَّى عَلَى الْأَمْرِ بِالصَّلاَةِ كَمَا قَالُوْا (عَلَى اْلآبَاءِ) ثُمَّ عَلَى مَنْ مَرَّ (تَعْلِيْمُهُ) أَيِ المُمَيِّزِ (أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّداً بُعِثَ بِمَكَّةَ) وَوُلِدَ بِهَا (وَدُفِنَ بِاْلمَدِيْنَةِ) وَمَاتَ بِهَا

(Awal  hal yang wajib ) [17] sampai pada kewajiban memerintahan shalat seperti yang telah disampaikan oleh para ulama ( kepada para ayah ) kemudian kepada orang – orang yang telah disebutkan  ( adalah mengajarkan anak-anak) yang telah tamziz ( bahwa nabi kita nabi Muhammad diutus dikota Mekkah), dilahirkan dikota tersebut, (  dimakamkan dikota Madinah ) dan wafat dikota Madinah pula.




[1] Walaupun secara hukumnya saja seperti seperti sholatnya seorang yang bisu dan dibelenggu. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.29 Darul Fikr.
[2] Namun terpisah-pisah pada para nabi. Sholat Shubuh sholatnya nabi Adam, Zduhur nabi Dawud, Ashar nabi Sulaiman, Maghrib nabi Ya’qub dan Isya’ nabi Yunus. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.30 Darul Fikr.
[3] Selain dari dua syarat tersebut masih ada dua syarat lagi yakni selamatnya panca indra mata dan pendengaran dan sampainya dakwah. Bujairami ala khatib juz 1 hal. 46 Darl fikr
[4] Baik baligh dengan umur yakni 15 tahun, keluar mani  atau haid. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.30 Darul Fikr
[5] Sebagai pemberatan hukum baginya. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.30 Darul Fikr
[6] Seperti halnya meninggalkan rukun-rukun dan syarat-syarat sholat yang tidak diperselisihkan oleh para ulama, atau ada perselisihan namun pendapat lemah. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.31 Darul Fikr
[7] Maka orang tersebut tidak dibunuh dengan meninggalkan sholat zhuhur sampai tenggelamnya matahari, dan juga tidak maghrib sampai terbitnya fajar sebab sholat zhuhur dan ashar adalah waktu jama’. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.31 Darul Fikr
[8] Begitu pula tidak wajib mengganti rugi bila mengikuti pendapat yang mewajibkan untuk menyuruh taubat sebab darahnya telah halal. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.31 Darul Fikr
[9] Menurut al-Habib Abdullah al-Hadad tidak harus segera dan tidak harus menggunakan seluruh waktunya untuk mengqadla’. Bughyah Musytarsidin Hal.31
[10] Berbeda dengan imam Ramli yang tetap menghukumi sunah untuk mentartibkan secara mutlak. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.32 Darul Fikr
[11]  Ulama yang tetap menghukumi sunah tartib beralasan bahwa tartib merupakan hal yang dianjurkan yang tidak meniadakan hukum bersegera sebab dirinya tersibukkan dengan ibadah dan tidak ceroboh. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.33 Darul Fikr
[12] Menurut imam Abu Hanifah : Dibayar fidyah sebagai ganti sholatnya bila mayit berwasiat dan tidak diqadla’ie. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.33 Darul Fikr
[13] Sebagian pendapat mengatakan bahwa tamziz adalah seorang anak yang telah hal yang buruk dan baik. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.33Darul Fikr
[14] Walaupun jumlahnya banyak menurut Ali Sibromalisi, dan tidak boleh melebihi tiga kali menurut Ibnu Suraij. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.33 Darul Fikr
[15]  Imam zakaria al-Ansharie tidak sepakat dengan hal tersebut. Dalam syarh Raudnya beliau berkata : Maksud dari syariat adalah yang semakna dengan thaharah,  sholat dan puasa. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.34 Darul Fikr
[16] Maksudnya bila kedua orang tuanya telah tiada maka kewajiban dibebankan kepada suami. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.35  Darul Fikr
[17] Artinya awal kewajiban pada orang tua terhadap anaknya adalah mengajarkan bahwa nabi lahir dimekkah sampai akhir. Ianah Thalibin Juz. 1 Hal.36 Darul Fikr

No comments: