Tuesday 17 April 2018

Etika dan Tatacara Berjabat Tangan



          Manusia  sebagai  makhluk sosial tidak mungkin dapat lepasdari  kehidupan  bermasyarakat.  Dalam  kehidupan  bermasyarakat telah diatur norma dan etika yang tertulis ataupun tidak yang harus dipatuhi oleh setiap individu masyarakat agar tercipta kehidupan yang harmonis. Keharmonisan dalam bermasyarakat dapat tercipta apabila setiap individu menghormati satu dengan yang lainya. Secara global bentuk penghormatan terhadapat sesama manusia terbagi menjadi dua, bentuk penghormatan yang telah diatur oleh syariat dan yang tidak diatur namun telah menjadi adat dan tradisi. Bentuk penghormatan yang telah diatur oleh syariat itu seperti mengucapkan salam, berjabat tangan ketika bertemu dan lain sebagainya. Sedangkan bentuk penghormatan yang tidak diatur oleh syariat dan tidak pula dilakukan oleh safusus salih merupakan bentuk penghormatan yang muncul sesuai dengan perkembangan zaman. Hal inilah yang dikehendaki oleh Umar bin Abdul Aziz dengan ucapannya :[1]
تَحْدُثُ لِلنَّاسِ أَقْضِيَةٌ عَلَى قَدْرِ مَا أَحْدَثُوا مِن َالْفُجُوْرِ
Artinya : "Muncul dikalangan manusia hukum yang baru sesuai dengan kadar kemaksiatan yang baru pula".
  Meletakkan tangan kedada ataupun kewajah setelah berjabat tangan merupakan bid’ah, sebab hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Namun jika hal tersebut merupakan bentuk penghormatan didaerah tertentu maka hal
tersebut tidak masalah bila dilakukan.[2]
     Sedangkan salah satu bentuk penghormatan yang telah diajarkan oleh Nabi adalah jabat tangan.  Jabat tangan yang berfungsi sebagai salah satu media mempererat hubungan antara sesama muslim, bentuk penghormatan dan sekaligus sebagai pelebur  dosa memiliki tata cara dan etika yang sesuai dengan ajaran islam yang telah disebarkan oleh Nabi. Rasulallah  yang merupakan panutan seluruh umat dibumi ini telah mengajarkan tata cara dan etika dalam berjabat tangan terhadap para sahabatnya. Ajaran-ajaran Rasulallah tersebut dapat ditelusuri dari berbagai hadits yang telah diriwayatkan dari para sahabat dan diikuti oleh orang–orang setelahnya hingga akhirnya sampai pada masa sekarang ini. Berikut tata cara berjabat tangan dan hal-hal terkait dengan jabat tangan sesuai yang telah diajarkan oleh Rasulallah dalam haditsnya dan yang telah dijelaskan secara gamblang oleh para ulama-ulama setelahnya :

1)   Menggunakan Salah Satu Tangan

      Etika berjabat tangan yang pertama adalah dengan menggunakan salah satu tangan dari masing-masing orang yang berjabat tangan. Etika ini lebih tepat dan sesuai dengan tuntunan yang telah dijarkan Rasulallah dan yang dilakukan oleh para sahabatnya dibanding dengan gaya berjabat tangan dengan menggunakan dua telapak tangan sekaligus. Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh sahabat Anas R.A beliau berkata :[3]
أَيُّمَا مُسْلِمَيْنِ التَقَيَا فَأَخَذَ أَحَدُهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ فَتَصَافَحَا وَ حَمِدَا اللهَ تعالى
جَمِيْعًا تَفَرَّقَا و َلَيْسَ بَيْنهُمَا خَطِيْئةٌ
 Arinya : “Dua orang muslim  manapun yang bertemu kemudian salah satu dari mereka meraih satu tangan temannya kemudian saling berjabat tangan dan keduanya memuji Allah maka keduanya berpisah dan tidaklah tersisa diantara keduanya sebuah dosa

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Busr disebutkan :
تَرَوْنَ يَدِي هَذِهِ صَافَحْتُ بِهَا رَسُولَ اللَّهِ
Arinya : “Lihatlah kalian semua (satu) tangan ku ini, aku menjabat  tangan Rasulallah dengannya”[4]

       Dari hadits-hadits diatas, mayoritas ulama merumuskan bahwa kesunahan dalam berjabat tangan adalah dengan menggunakan salah satu tangan saja, tidak dengan dua telapak tangan.
     Sedangkan menurut madzhab Hanafiyyah dan sebagian madzhab Malikyyah, kesunahan jabat tangan adalah dengan menggunakan dua telapak tangan. Mereka berdalih bahwa cara tersebut adalah cara yang dikenal dalam kalangan sahabat dan ulama’ salaf . Mereka juga menggunakan bukti lain dari hadits ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh imam al- Bukharie . Sahabat Ibnu Mas’ud berkata :[5]

عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَفِّي بَيْنَ كَفَّيْهِ التَّشَهُّدَ كَمَا يُعَلِّمُنِي السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ  
Artinya :Rasulallah mengajarkan bacaan tasyahud kepadaku, dan telapak tanganku berada pada dua telapak tangan Rasul , seperti halnya Rasul mengajarkan al-Qur’an kepadaku
     Dari lafad كفِّي بين كفّيْه ini,  difahami bahwa Nabi menjabat Ibnu Mas’ud dengan mengunakan dua telapak tangannya. Hal ini menunjukan bahwa jabat tangan dilakukan dengan dua tangan sekaligus, tidak hanya dengan satu tangan saja.
        Hadits lain yang membuktikan bahwa jabat tangan haruslah menggunakan dua telapak tangan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Razin. Beliua berkata :[6]

مَرَرْنَا بِالرَّبَذَةِ فَقِيلَ لَنَا : هَا هُنَا سَلَمَةُ بْنُ الأَكْوَعِ ، فَأَتَيْنَاهُ فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ ، فَأَخْرَجَ يَدَيْهِ فَقَالَ : بَايَعْتُ بِهَاتَيْنِ نَبِيَّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم

Artinya : "Aku lewat bertemu dengan orang-orang Rubadah, mereka mengatakan padaku , Salmah bin al-Aku’ berada ditempat itu, lalu aku mendatanginya dan mengucapkan salam padanya , kemudian Salmah mengulurkan kedua tangannya , lalu ia berkata “ Nabinya Allah membaiatku dengan kedua tanganku  ini."

       Tidak puas dengan dasar-dasar yang telah diutarakan, mereka madzhab Hanafiyyah dan sebagian madzhab Malikiyyah juga menampilkan hadist  yang menguatkan dari pendapat mereka dengan menggunakan hadist Nabi tentang jabat tangan yang  seolah-olah memberi kepastian bahwa jabat tangan yang disunahkan adalah dengan dua telapak tangan sekaligus. Nabi
bersabda :[7]

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ الْتَقَيَا فَأَخَذَ أَحَدُهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَحْضُرَ دُعَاءَهُمَا وَلَا يُفَرِّقَ بَيْنَ أَيْدِيهِمَا حَتَّى يَغْفِرَ لَهُمَا
Artinya :" Tidaklah bertemu dua orang muslim kemudian salah satunya menjabat tangan salah satu temannya kecuali hak bagi Allah untuk mengabulkan doa keduanya dan dan tangan-tangan keduanya tidak akan dipisahkan sebelum dosa keduanya diampuni."

     Kata  أيديهما adalah lafad dengan sighot jama’ yang berarti lebih dari dua tangan, padahal dalam hadits yang ada hanya dua orang yang diceritakan. Hal itu berarti menunjukan bahwa jabat tangan tidak mungkin dilakukan hanya dengan satu telapak tangan saja namun dengan dua telapak tangan sekaligus.
       Dalam faidul Qodir syarah dari kitab Bukharie disebutkan bahwa kesempurnaan dalam berjabat tangan adalah dengan menggunakan kedua telapak tangan, namun asal kesunahan akan didapatkan dengan salah satu tangan saja dari kedua belah pihak yang saling berjabat tangan.
       Ulama-ulama yang tidak sepakat dengan pendapat ini mengatakan bahwa hadits ibnu Mas’ud tidaklah menunjukkan anjuran jabat tangan dengan menggunakan dua telapak tangan sebab hadits tersebut hanya bertujuan untuk pembelajaran saja.
        Ketidaksepakan tersebut terlihat dari berbagai komentar yang dilontarkan oleh para pakar fiqh dan hadist diberbagi kitab-kitab syarah hadist ataupun kitab-kitab lainnya. Imam al-Laknawie dalam beberapa fatwanya mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukharie dari Abdullah bin Mas’ud bukan cara berjabat tangan yang disunahkan saat bertemu namun jabat tangan tersebut terkhusus pada even tertentu yakni pada waktu pembelajaran . Hal itu seperti yang biasa oleh para ulama  ketika mengajari murid-muridnya. Para Ulama juga telah menjelaskan bahwa telapak tangan ibnu Mas’ud yang berada dua telapak tangan Rasul adalah sebagai bentuk kesungguhan dalam mengajarkan tasyahud kepadanya, bukan sebagai dasar jabat tangan dengan menggunakan dua telapak tangan.[8]
      Imam abdul muhsin al-‘ibad dalam syarh at-Tirmidzi ditanya tentang hukum berjabat tangan dengan kedua tangan, beliau menjawab “ Aku tidak pernah  tahu tentang dasar hal tersebut, sebab jabat tangan adalah dengan menggunakan satu tangan, namun dalam ‘Aunul Ma’bud disebutkan bahwa Hamad menjabat tangan ibnu Mubarak dan ia meletakkan tangannya menuju kedua telapak tangan ibnu mubarak . Aku tidak tahu kepastian cerita tersebut dan tidak tahu dari mana dasar dari tindakan itu.” [9]
      Terlepas dari itu semua dan dari perbedaan para ulama yang ada, tata cara dan etika yang paling baik dalam berjabat tangan menurut mayoritas ulama’ adalah dengan menggunakan salah satu telapak tangan saja. Namun jikalau toh ternyata disebuah daerah terdapat kebiasaan jabat tangan dengan menggunakan dua telapak tangan maka tak masalah mengikuti pendapat dari madzhab Hanafiyyah ataupun sebagian ulama Malikiyyah. sebab terkadang memang jabat tangan dengan dua telapak tangan lebih menunjukan rasa cinta dan kasih sayang diantara umat muslim. Dalam hadits atsarnya diceritakan, bahwa imam Hammad dan Ibn Mubarak[10] berjabat tangan dengan menggunakan dua telapak tangan .[11]
           Sedang tata cara berjabat tangan dengan menggunakan dua telapak tangan ini adalah dengan mengunakan satu telapak tangan dahulu,  kemudian disusul telapak tangan yang lain yang diletakkan diatas dua telapak tangan yang sedang berjabat tangan, bukan dengan berjabat tangan telapak kanan dengan kanan dan kiri dan kiri seperti gunting.[12]

2)      Menggunakan Tangan Kanan

       Sebagian kesunahan lain yang perlu diperhatikan dalam jabat tangan adalah dengan menggunakan telapak tangan kanan. Etika ini walaupun sekilas sepele namun tidak bisa diremehkan, sebab jabat tangan yang terhitung sebagai prilaku dan tradisi yang baik tidak selayaknya dilakukan dengan menggunakan tangan selain kanan tanpa ada alasan tertentu.
      Syekh Abdul Qodir Jailaini dalam kitabnya Ghunyah at-Thalibin mengatakan dalam bab hal-hal yang harus dilakukan dengan tangan kanan dan tangan kiri “ Disunahkan bagi seseorang untuk mengambil sesuatu dengan tanan kanan, makan, minum dan berjabat tangan dan memulai wudlu dengan tangan kanan pula.[13]Begitu juga Syehk Abdul Rauf al-Munawie al-Syafi’iyyah dalam kitab Raud an-Nadir syarh Jam’ul as-Shaghir  mengatakan bahwa kesunahan jabat tangan tidak akan didapatkan kecuali dengan menggunakan telapak kanan dari masing-masing dua orang yang berjabat tangan  ketika tidak ada udzur.
     Dasar dari kesunahan berjabat tangan dengan menggunakan tangan kanan ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari sahabat Umar bin ‘Ash R.A. Shabat Umar bin ‘Ash R.A berkata :

 أَتَيْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم  فَقُلْتُ ابْسُطْ يَمِينَكَ فَلأُبَايِعْكَ. فَبَسَطَ يَمِينَهُ  قَالَ  فَقَبَضْتُ يَدِى  قَالَ  مَا لَكَ يَا عَمْرُو  قَالَ قُلْتُ أَرَدْتُ أَنْ أَشْتَرِطَ قَالَ  تَشْتَرِطُ بِمَاذَا  قُلْتُ أَنْ يُغْفَرَ لِى

Artinya : “Aku mendatangi Nabi, lalu aku berkata kepada Nabi : bukalah tanganmu ( ya Rasul ) aku akan berbaiat kepadamu, lalu Nabi membuka tangan kanannya, lalu aku menggenggam tanganku . Nabi berkata : Apa yang kamu lakukan ‘Umar ? aku menjawab “ Aku ingin mengajukan syarat ya Rasul . Nabi bertanya “ Apa persyaratanmu  ? aku berkata “ Aku ingin dosaku diampuni” .[14]

      Imam al-Qori’ mengatakan dalam al-Muraqah saat menjelaskan hadits ini, kata أبسط يمينك artinya buka dan ulurkan tanganmu ya Rasulallah, agar aku dapat menjabatkan tangan kananku padanya.
       Hadist ini dan hadist –hadist yang lain yang jumlahnya sangat banyak, sangat jelas menunjukan bahwa kesunahan dalam berjabat tangan adalah dengan menggunakan tangan tangan.
3)   Tidak Melepaskan Genggaman Dari Seorang Yang Memulai Mengajak Berjabat Tangan  

         Kebaikan tidak akan terwujud  bila cara yang digunakan adalah cara yang keliru, jelek dan salah. Mewujudkan kebaikan harus dengan cara yang baik pula. Memberi sedekah kepada pengemis jika disertai membentak dan menghardik justru malah menyakiti peminta dan menjadi sebuah dosa. Begitu pula dengan Jabat tangan yang merupakan lambang dan simbol dari perdamaian dan persatuan diantara kaum muslimin. Perdamaian dan persatuan tersebut justru akan menjadi renggang jika cara yang dilakukan adalah keliru. Melepaskan genggaman tangan dari seorang yang memulai berjabat tangan dengan bersegera sebelum ia melepaskannya terkesan kurang sopan dan terkesan tidak menghiraukan. Rasulallah sendiri tidak pernah melepaskan jabat tangan dari seorang yang mengajaknya jabat tangan sampai orang tersebut melepaskannya. Oleh karena itu, etika ini perlu ditanamkan dan dilakukan, agar tujuan dari jabat tangan tersebut dapat terwujud sekaligus mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulallah SAW.

      Dasar kesunahan untuk tidak melepas genggaman tangan sebelum orang yang mengajak tangan melepaskannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh para sababat Nabi SAW. Sebagian dari hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Anas
R.A. Sahabat Anas bin Malik[15] R.A  berkata :
أَنَّ النَّبِي صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا لَقيَهُ أَحَدٌ مِن َالصَّحَابَةِ فَقَامَ مَعَهُ قَامَ مَعَهُ – يعني وَاقِفاً - فَلَمْ
 يَنْصَرِفُ حَتىَ يَكُوْنُ الرَّجُلُ هُوَ الذي يَنْصَرِفُ عَنْه وإذا لقيَه أحدٌ مِن أصْحَابِه فَتَنَاوَلَ يدَه نَاوَلَه إيّاهَا فلمْ يَنزِعْ يدَه منْه حتَى يكُونُ الرجَّلُ هُو الذي يَنزِعُ يدَه مِنْه
Artinya :Bahwa Nabi S.A.W ketika bertemu dengan salah satu sahabatnya yang sedang berdiri Nabipun berdiri dan Nabi tidak pergi sampai lelaki sahabatnya pergi darinya. Dan ketika Nabi bertemu dengan salah satu sahabatnya dan sahabatnya mengulurkan tangannya Nabipun mengulurkan tangannya dan Nabi tidak melepaskan jabat tangan sahabatnya tersebut sampai sahabatnya melepaskannya” [16]
Dalam riwayat lain oleh Ibnu Majah disebutkan :
 كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ  إِذَا لَقِيَ الرَّجُلَ فَكَلَّمَهُ ، لَمْ يَصْرِفْ وَجْهَهُ عَنْهُ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يَنْصَرِفُ  وَإِذَا صَافَحَهُ لَمْ يَنْزِعْ يَدَهُ مِنْ يَدِهِ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يَنْزِعُهَا

Artinya : “Nabi S.A.W ketika bertemu seorang lelaki, lalu lelaki tersebut mengajak berbincang - bincang, maka Nabi tidak memalingkan wajahnya darinya sampai ia berpaling darinya. Dan saat lelaki tersebut menjabat tangannya , Nabi tidak melepaskan tangannya sampai ia melepaskannya.”

    Hadits–hadits diatas selain sebagai bukti kesunahan untuk tidak
melepaskan genggaman orang yang memulai berjabat tangan juga sekaligus sebagai bukti  bepata agung  dan bepata sempurnanya akhlak Rasulallah terhadap para sahabatnya.
     Sebagian ulama Hanabilah mengatakan bahwa hukumnya makruh bagi seseorang yang diajak berjabat tangan untuk segera melepaskan genggaman tangan dari orang yang mengajak berjabat tangan sebelum  ia melepaskannya tanpa ada sebuah udzur seperti malu dan lain-lain . Kemekruhan tersebut disebabkan dengan melepaskan jabat tangan sebelum pihak yang menjabat tangan melepaskannya memberikan indikasi berpalingnya orang yang diajak berjabat tangan.[17]
      Ibnu Taimiyyah mengatakan “ Batasan dalam hal ini adalah siapa saja yang menduga bahwa orang yang diajak berjabat tangan akan melepaskan genggaman tangannya maka baginya disunahkan untuk menunggu pihak yang diajak jabat tangan melepaskannya. Dan sebaliknya, jika ia menduga bahwa pihak yang diajak jabat tangan tidak akan melepaskan gengamannya maka tidak masalah baginya untuk melepaskannya terlebih dahulu . Dan seandainya tidak dibatasi seperti itu dan disunahkan bagi kedua-duanya menahan untuk tidak melepaskan jabat tangan maka akan terjadi jabat tangat tangan selamanya[18]
4)      Memberi Salam Sebelum  Jabat Tangan Berlangsung
Mengucapkan salam dan berjabat tangan merupakan dua komponen penting yang sulit untuk dipisahkan . Dua komponen tersebut merupakan  media  tumbuhnya rasa kecintaan. Nabi SAW bersabda :
{ أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا إذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ }
Artinya :Apakah aku belum menunjukan kepadamu sebuah hal bila kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai ? sebarkanlah salam diantara kalian”.

Dalam hadist lain Nabi juga pernah bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ  وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ  تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ
Artinya : “Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makanan, sholatlah malam sedang manusia tertidur malam maka kalian akan masuk surga dengan keselamatan”.
Dari hadist-hadist diatas, sudah tidak diragukan lagi keutamaan salam dalam sendi-sendi kehidupan beragama dan  bermasyarakat , didunia ataupun dikehidupan yang akan datang. Untuk itu, Sebelum jabat tangan berlangsung, hendaknya memberi salam terlebih dahulu seperti yang telah diajarkan oleh Nabi S.A.W . Dalam haditsnya, sahabat Jundub R.A  berkata :
أنّ النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم كَانَ إذَا لَقِيَ أَصْحَابَه لَمْ يُصَافِحْهُمْ حتى يُسلِّمُ عَلَيْهِمْ
Artinnya : “Bahwa Nabi S.A.W ketika bertemu para sahabatnya tidak menjabat tangannya terlebih dahulu sampai Nabi mengucapkan salam kepada sahabat-sahabatnya”.[19]
Makna hadits diatas adalah sebagai didikan etika bagi orang- orang   muslim dan pengajaran tentang cara menghormati orang lain dengan menggunakan salam yakni penghormatan ahli surga nanti.
5)      Memuji Allah dan Berdoa
         Kurang lengkap kiranya bila pertemuan dan perpisahan tidak disertai pujian terhadap Allah dan diakhiri dengan sebuah doa. Pujian merupakan bentuk rasa syukur atas semua nikmat yang diberikan kepada Allah terhadap hamba-hambanya dan doa merupakan pengakuan dari  sifat menjadi hamba terhadap kekuasaan penciptanya. Secara umum,  sebuah pujian dan doa dapat dilakukan setiap saat, tidak terikat ruang dan waktu. Dalam jabat tangan juga dianjurkan untuk  mengucapkan lafad Hamdallah dan berdoa dengan doa  يَغْفِرُ الله لَنَا َولَكُم . Hal ini sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat al-Bara’ al-‘Azib R.A.   Nabi bersabda :[20]

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ فَتَصَافَحَا فَحَمِدَا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَاهُ غُفِرَ لَهُمَا
 Artinya :Ketika dua orang muslim bertemu, kemudian keduanya saling berjabat tangan dan memuji Allah dan keduanya meminta ampun pada Allah maka mereka berdua akan diampuni dosa-dosanya”.

Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh sahabat Anas . Sahabat  Anas R.A berkata :
مَا أَخَذَ رَسُولُ الله بِيَدِ رَجُلٍ فَفَارَقَهُ حَتَّى قَالَ اللَّهُمَّ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya : Nabi tidak pernah menjabat tangan seorang lelaki kemudian lelaki tersebut berpisah dengannya kecuali Nabi berdoa “Ya Allah semoga engkau memberikan kita kebaikan didunia dan akhirat dan menjauhkan kita dari siksa neraka“
6)      Mencium tangan  

Imam ibnu Hajr al-Haitamie mengatakan bahwa mencium tangannya sendiri setelah berjabat tangan hukumnya adalah sunah.[21] Sedangkan hukum mencium tangan orang lain saat berjabat tangan hukum diperinci, sunah bila penciuman tersebut karena kesalihahan orang tersebut atau hal- hal lain yang terkait masalah agama dan makruh bila terkait urusan dunia seperti karena pangkat  dan hartanya. Dasar dari kesunahan mencium tangan orang lain karena urusan akhirat adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi yang melakukan hal tersebut . Sahabat Usamah bin Syarik R.A mengatakan :[22]

قُمْنَا إِلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَده
Artinya : “Aku berdiri menuju Nabi berada dan aku mencium tangannya.”
Sedangkan menurut imam as-Showie madzhab Malikiyyah mengatakan bahwa mencium tangan sendiri setelah berjabat tangan dan mencium tangan orang lain saat berjabat tangan hukumnya adalah makruh. [23]Meraka berdalih bahwa walaupun mencium tangan pada waktu berjabat tangan disebutkan diberbagai hadits namun jika mencium tangan tersebut diperbolehkan maka efek yang ditimbulkan akan buruk. Imam Malik mengatakan mencium tangan merupakan sujud kecil, dan untuk menutupi celah membesarnya masalah tersebut hingga menjadi sebuah kemusrikan dicegahlah mencium tangan walaupun terhadap siapapun termasuk orang saleh.[24]Dalam referensi lain, penganut madzhab Malikiyyah juga memberikan alasan kenapa imam Malik menghukumi makruh mencium tangan seseorang, imam al-Abharie berkata “Imam Malik memekruhkan mencium tangan seseorang ketika hal tersebut dilakukan dengan kesombongan dan mengagungkan orangnya bukan mengagungkan  ilmu dan agamanya .[25] 

7)      Memeluk Setelah Jabat Tangan

         Kesunahan memeluk seseorang setelah berjabat tangan ini adalah khusus bagi seseorang yang baru pulang dari bepergian dan sesamanya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Imam Nawawi   dalam kitab Majmu’nya. Beliau mengatakan  memeluk seseorang setelah pulang dari bepergian dan sejenisnya hukumnya adalah sunah dan makruh bagi selain orang tersebut.”[26]  
         Dalam kitab Ad-Dakhirah , imam al-Qorafie mengatakan bahwa imam Malik memakruhkan memeluk seseorang , sebab hal tersebut tidak lakukan oleh Nabi kecuali pada Ja’far bin Abie Thalib dan hal tersebut tidak berlangsung pada masa setelahnya. Sedangkan imam Abu Mansyur al-Maturidie mengatkan bahwa kemakruhan dalam memeluk seseorang adalah tatkala disertai dengan syahwat, bila pelukan tersebut tidak disertai hal itu maka hukumnya diperbolehkan.  
           Mayoritas ulama selain madzhab Malikiyyah memperbolehkan memeluk seseorang seperti diperbolehkannya mencium tangan saat berjabat tangan karena agamanya. Dasar dari diperbolehkanya hal tersebut adalah hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Abie Dar . Sahabat Abie Dar berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَانَقَهُ

Artinya : “Bahwa Nabi SAW memeluknya”

Diriwayatkan dari Abu ishaq bin Ibrahim yang  bertanya kepada Abdullah tentang seorang lelaki yang bertemu temannya kemudian saling berpelukan . Abdullah menjawab “ Hal itu benar, Abu Darda’ juga melakukannya”.[27]


[1]Al-furuq fi  Anwa’ul Furuq Juz. 4 Hal.426 Maktabah Salafiyyah
[2] Mauqiul Islam Sual Wal Jawab Hal.867 Maktabah Salafiyyah
[3] Ahmad fi Musnadihi Juz 3 Hal. 143 Maktabah Salafiyyah
[4] Ahmad Juz .4 Hal. 189 Maktabah Salafiyyah
[5]  Shahih al-Bukhari Juz. 5 Hal. 2311  Maktabah Salafiyyah
[6] Al-Bukharie fi Adab al-Munfarid Hal.253 Maktabah Salafiyyah
[7] Ahmad Juz. 3 Hal.142 Maktabah Salafiyyah
[8] Tuhfatul Ahwadie Juz. 7 Hal 433 Maktabah Salafiyyah
[9] Syarh at-Tirmidzie Juz.  2 Hal. 343 Maktabah Salafiyyah
[10] Ibnu Mubarak al-Maruzie salah satu ulama ternama , belajar ilmu fiqh kepada imam Abie Hanifah dan Sufyan at-Tsaurie , para santri imam Abu Hanifah menganggap ibnu Mubarak termasuk Madzhab Hanafiyyah. Meninggal pada tahun 181 H. ‘Umdatul Qori’ juz 5  hal.253 Maktabah Salafiyyah
[11] Tuhfatul Ahwadie Juz. 7 Hal. 477 Maktabah Salafiyyah
[12] Muasu’ah Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah Juz. 8 Hal. 364 Maktabah Salafiyyah
[13] Tuhfatul Ahwadie Juz. 7 Hal. 430 Maktabah Salafiyyah
[14] Tuhfatul Ahwadie Juz. 7 Hal. 521 Maktabah Salafiyyah
[15] Anas bin Malik bin al-Hadlor bin Dlomdlom bin Zaid bin Haram, Abu Hamzah al-Ansharie . Lahir dikota Madinah tahun  sepuluh sebelum Hijrah dan masuk islam ketika masih kecil . Ia melayani Nabi sampai beliau meninggal pada tahun 93 H. Tabaqotul kubra Juz 1 Hal. 378  Maktabah Salafiyyah
[16]   Ibn Ja’du fi Musnadihi  Hal. 994 Maktabah Salafiyyah
     Sunan ibn Majah juz 2 Hal. 1224  Maktabah Salafiyyah
[17] Mathalib Ulin Nuha Juz. 5 Hal. 17 Maktabah Salafiyyah
[18] Al-Mustadrak ala Fatawie ibnu Taimiyyah Juz. 1 Hal. 22 Maktabah Salafiyyah
[19] At-Thabarie fi Mu’jam Kubra juz 1 378 lihat Majma’ az-Zawaid juz 8 hal.36
[20] Abi Dawud Juz. 4 Hal. 354 , Ibnu Majah Juz. 1 Hal. 122 Maktabah Salafiyyah
[21] Bughyah al-Mustarsyidin hal. 103 Maktabah Salafiyyah
[22] Fathul Barrie juz. 7 Hal 123 Maktabah Salafiyyah
[23] Hasyiyyah as-Showie ala Syarah as-Shaghir Juz. 5 Hal. 278 Maktabah    Salafiyyah
[24] Syarh at-Tirmidzie Juz 4 Hal 45 Maktabah Salafiyyah
[25] Aunul Ma’but Juz 5 Hal 250 Maktabah al-Ilmiyyah
[26] Al-Majmu Li Nawawie juz 4 Hal 637 Maktabah Salafiyyah
[27] Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah Juz. 7 Hal. 141 Maktabah Salafiyyah

No comments: