Manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin dapat lepasdari kehidupan bermasyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat telah diatur
norma dan etika yang tertulis ataupun tidak yang harus dipatuhi oleh setiap
individu masyarakat agar tercipta kehidupan yang harmonis. Keharmonisan dalam
bermasyarakat dapat tercipta apabila setiap individu menghormati satu dengan
yang lainya. Secara global bentuk penghormatan terhadapat sesama manusia
terbagi menjadi dua, bentuk penghormatan yang telah diatur oleh syariat dan
yang tidak diatur namun telah menjadi adat dan tradisi. Bentuk penghormatan
yang telah diatur oleh syariat itu seperti mengucapkan salam, berjabat tangan
ketika bertemu dan lain sebagainya. Sedangkan bentuk penghormatan yang tidak
diatur oleh syariat dan tidak pula dilakukan oleh safusus salih
merupakan bentuk penghormatan yang muncul sesuai dengan perkembangan zaman. Hal
inilah yang dikehendaki oleh Umar bin Abdul Aziz dengan ucapannya :[1]
تَحْدُثُ
لِلنَّاسِ أَقْضِيَةٌ عَلَى قَدْرِ مَا أَحْدَثُوا مِن َالْفُجُوْرِ
Artinya : "Muncul
dikalangan manusia hukum yang baru sesuai dengan kadar kemaksiatan yang baru
pula".
Meletakkan tangan kedada
ataupun kewajah setelah berjabat tangan merupakan bid’ah, sebab hal tersebut
tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Namun jika hal tersebut
merupakan bentuk penghormatan didaerah tertentu maka hal
tersebut tidak
masalah bila dilakukan.[2]
Sedangkan salah satu bentuk penghormatan
yang telah diajarkan oleh Nabi adalah jabat tangan. Jabat tangan yang berfungsi sebagai salah
satu media mempererat hubungan antara sesama muslim, bentuk penghormatan dan
sekaligus sebagai pelebur dosa memiliki
tata cara dan etika yang sesuai dengan ajaran islam yang telah disebarkan oleh
Nabi. Rasulallah yang merupakan panutan
seluruh umat dibumi ini telah mengajarkan tata cara dan etika dalam berjabat
tangan terhadap para sahabatnya. Ajaran-ajaran Rasulallah tersebut dapat
ditelusuri dari berbagai hadits yang telah diriwayatkan dari para sahabat dan
diikuti oleh orang–orang setelahnya hingga akhirnya sampai pada masa sekarang
ini. Berikut tata cara berjabat tangan dan hal-hal terkait dengan jabat tangan
sesuai yang telah diajarkan oleh Rasulallah dalam haditsnya dan yang telah
dijelaskan secara gamblang oleh para ulama-ulama setelahnya :
1)
Menggunakan Salah Satu Tangan
Etika berjabat tangan yang pertama adalah
dengan menggunakan salah satu tangan dari masing-masing orang yang berjabat
tangan. Etika ini lebih tepat dan sesuai dengan tuntunan yang telah dijarkan
Rasulallah dan yang dilakukan oleh para sahabatnya dibanding dengan gaya
berjabat tangan dengan menggunakan dua telapak tangan sekaligus. Dalam
hadits yang
diriwayatkan
oleh sahabat Anas R.A beliau berkata :[3]
أَيُّمَا مُسْلِمَيْنِ
التَقَيَا فَأَخَذَ أَحَدُهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ فَتَصَافَحَا وَ حَمِدَا اللهَ
تعالى
جَمِيْعًا
تَفَرَّقَا و َلَيْسَ بَيْنهُمَا خَطِيْئةٌ
Arinya : “Dua orang muslim
manapun yang bertemu kemudian salah satu dari mereka meraih satu tangan
temannya kemudian saling berjabat tangan dan keduanya memuji Allah maka
keduanya berpisah dan tidaklah tersisa diantara keduanya sebuah dosa ”
Dalam hadits
lain yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Busr disebutkan :
تَرَوْنَ يَدِي هَذِهِ صَافَحْتُ بِهَا رَسُولَ اللَّهِ
Arinya : “Lihatlah kalian semua (satu) tangan ku ini, aku
menjabat tangan Rasulallah dengannya”[4]
Dari hadits-hadits diatas, mayoritas ulama
merumuskan bahwa kesunahan dalam berjabat tangan adalah dengan menggunakan
salah satu tangan saja, tidak dengan dua telapak tangan.
Sedangkan menurut madzhab Hanafiyyah dan
sebagian madzhab Malikyyah, kesunahan jabat tangan adalah dengan menggunakan
dua telapak tangan. Mereka berdalih bahwa cara tersebut adalah cara yang
dikenal dalam kalangan sahabat dan ulama’ salaf . Mereka juga
menggunakan bukti lain dari hadits ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh imam al-
Bukharie . Sahabat Ibnu Mas’ud berkata :[5]
عَلَّمَنِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَفِّي بَيْنَ كَفَّيْهِ
التَّشَهُّدَ كَمَا يُعَلِّمُنِي السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ
Artinya : “Rasulallah
mengajarkan bacaan tasyahud kepadaku, dan telapak tanganku berada pada dua
telapak tangan Rasul , seperti halnya Rasul mengajarkan al-Qur’an kepadaku”
Dari lafad كفِّي
بين كفّيْه ini, difahami bahwa Nabi menjabat Ibnu Mas’ud
dengan mengunakan dua telapak tangannya. Hal ini menunjukan bahwa jabat tangan
dilakukan dengan dua tangan sekaligus, tidak hanya dengan satu tangan saja.
Hadits lain yang membuktikan bahwa jabat tangan haruslah
menggunakan dua telapak tangan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman
bin Razin. Beliua berkata :[6]
مَرَرْنَا
بِالرَّبَذَةِ فَقِيلَ لَنَا : هَا هُنَا سَلَمَةُ بْنُ الأَكْوَعِ ،
فَأَتَيْنَاهُ فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ ، فَأَخْرَجَ يَدَيْهِ فَقَالَ : بَايَعْتُ
بِهَاتَيْنِ نَبِيَّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
Artinya
: "Aku lewat
bertemu dengan orang-orang Rubadah, mereka mengatakan padaku ,
Salmah bin al-Aku’ berada ditempat itu, lalu aku mendatanginya dan mengucapkan
salam padanya , kemudian Salmah mengulurkan kedua tangannya , lalu ia berkata “
Nabinya Allah membaiatku dengan kedua tanganku
ini."
Tidak puas dengan dasar-dasar yang telah
diutarakan, mereka madzhab Hanafiyyah dan sebagian madzhab Malikiyyah juga
menampilkan hadist yang menguatkan dari
pendapat mereka dengan menggunakan hadist Nabi tentang jabat tangan yang seolah-olah memberi kepastian bahwa jabat
tangan yang disunahkan adalah dengan dua telapak tangan sekaligus. Nabi
bersabda :[7]
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ الْتَقَيَا فَأَخَذَ أَحَدُهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ
إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَحْضُرَ دُعَاءَهُمَا وَلَا يُفَرِّقَ بَيْنَ
أَيْدِيهِمَا حَتَّى يَغْفِرَ لَهُمَا
Artinya :" Tidaklah bertemu
dua orang muslim kemudian salah satunya menjabat tangan salah satu temannya
kecuali hak bagi Allah untuk mengabulkan doa keduanya dan dan tangan-tangan
keduanya tidak akan dipisahkan sebelum dosa keduanya diampuni."
Kata أيديهما adalah lafad dengan sighot
jama’ yang berarti lebih dari dua tangan, padahal dalam hadits yang ada
hanya dua orang yang diceritakan. Hal itu berarti menunjukan bahwa jabat tangan
tidak mungkin dilakukan hanya dengan satu telapak tangan saja namun dengan dua
telapak tangan sekaligus.
Dalam faidul Qodir syarah dari kitab
Bukharie disebutkan bahwa kesempurnaan dalam berjabat tangan adalah dengan
menggunakan kedua telapak tangan, namun asal kesunahan akan didapatkan dengan
salah satu tangan saja dari kedua belah pihak yang saling berjabat tangan.
Ulama-ulama yang tidak sepakat dengan
pendapat ini mengatakan bahwa hadits ibnu Mas’ud tidaklah menunjukkan anjuran
jabat tangan dengan menggunakan dua telapak tangan sebab hadits tersebut hanya
bertujuan untuk pembelajaran saja.
Ketidaksepakan tersebut terlihat dari
berbagai komentar yang dilontarkan oleh para pakar fiqh dan hadist diberbagi
kitab-kitab syarah hadist ataupun kitab-kitab lainnya. Imam al-Laknawie dalam
beberapa fatwanya mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukharie
dari Abdullah bin Mas’ud bukan cara berjabat tangan yang disunahkan saat
bertemu namun jabat tangan tersebut terkhusus pada even tertentu yakni pada
waktu pembelajaran . Hal itu seperti yang biasa oleh para ulama ketika mengajari murid-muridnya. Para Ulama
juga telah menjelaskan bahwa telapak tangan ibnu Mas’ud yang berada dua telapak
tangan Rasul adalah sebagai bentuk kesungguhan dalam mengajarkan tasyahud
kepadanya, bukan sebagai dasar jabat tangan dengan menggunakan dua telapak tangan.[8]
Imam
abdul muhsin al-‘ibad dalam syarh at-Tirmidzi ditanya tentang hukum
berjabat tangan dengan kedua tangan, beliau menjawab “ Aku tidak pernah tahu tentang dasar hal tersebut, sebab jabat
tangan adalah dengan menggunakan satu tangan, namun dalam ‘Aunul Ma’bud
disebutkan bahwa Hamad menjabat tangan ibnu Mubarak dan ia meletakkan tangannya
menuju kedua telapak tangan ibnu mubarak . Aku tidak tahu kepastian cerita
tersebut dan tidak tahu dari mana dasar dari tindakan itu.” [9]
Terlepas dari itu semua dan dari
perbedaan para ulama yang ada, tata cara dan etika yang paling baik dalam
berjabat tangan menurut mayoritas ulama’ adalah dengan menggunakan salah satu
telapak tangan saja. Namun jikalau toh ternyata disebuah daerah terdapat
kebiasaan jabat tangan dengan menggunakan dua telapak tangan maka tak masalah
mengikuti pendapat dari madzhab Hanafiyyah ataupun sebagian ulama Malikiyyah. sebab
terkadang memang jabat tangan dengan dua telapak tangan lebih menunjukan rasa
cinta dan kasih sayang diantara umat muslim. Dalam hadits atsarnya diceritakan,
bahwa imam Hammad dan Ibn Mubarak[10]
berjabat tangan dengan menggunakan dua telapak tangan .[11]
Sedang
tata cara berjabat tangan dengan menggunakan dua telapak tangan ini adalah
dengan mengunakan satu telapak tangan dahulu, kemudian disusul telapak tangan yang lain yang
diletakkan diatas dua telapak tangan yang sedang berjabat tangan, bukan dengan
berjabat tangan telapak kanan dengan kanan dan kiri dan kiri seperti gunting.[12]
2)
Menggunakan Tangan Kanan
Sebagian kesunahan lain yang perlu
diperhatikan dalam jabat tangan adalah dengan menggunakan telapak tangan kanan.
Etika ini walaupun sekilas sepele namun tidak bisa diremehkan, sebab jabat
tangan yang terhitung sebagai prilaku dan tradisi yang baik tidak selayaknya
dilakukan dengan menggunakan tangan selain kanan tanpa ada alasan tertentu.
Syekh Abdul Qodir Jailaini dalam kitabnya Ghunyah at-Thalibin
mengatakan dalam bab hal-hal yang harus dilakukan dengan tangan kanan dan
tangan kiri “ Disunahkan bagi seseorang untuk mengambil sesuatu dengan tanan
kanan, makan, minum dan berjabat tangan dan memulai wudlu dengan tangan kanan
pula.[13]Begitu juga Syehk Abdul Rauf al-Munawie
al-Syafi’iyyah dalam kitab Raud an-Nadir syarh Jam’ul as-Shaghir
mengatakan bahwa kesunahan jabat tangan tidak akan didapatkan kecuali dengan menggunakan telapak kanan dari masing-masing dua orang yang berjabat tangan ketika tidak ada udzur.
Dasar dari kesunahan berjabat
tangan dengan menggunakan tangan kanan ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh
imam Muslim dari sahabat Umar bin ‘Ash R.A. Shabat Umar bin ‘Ash R.A berkata :
أَتَيْتُ
النَّبِىَّ صلى الله عليه
وسلم فَقُلْتُ ابْسُطْ يَمِينَكَ فَلأُبَايِعْكَ.
فَبَسَطَ يَمِينَهُ قَالَ
فَقَبَضْتُ يَدِى قَالَ مَا
لَكَ يَا عَمْرُو قَالَ قُلْتُ أَرَدْتُ أَنْ أَشْتَرِطَ قَالَ تَشْتَرِطُ بِمَاذَا قُلْتُ أَنْ يُغْفَرَ لِى
Artinya
: “Aku mendatangi Nabi, lalu aku berkata kepada Nabi : bukalah
tanganmu ( ya Rasul ) aku akan berbaiat kepadamu, lalu Nabi membuka tangan
kanannya, lalu aku menggenggam tanganku . Nabi berkata : Apa yang kamu lakukan
‘Umar ? aku menjawab “ Aku ingin mengajukan syarat ya Rasul . Nabi bertanya “
Apa persyaratanmu ? aku berkata “ Aku
ingin dosaku diampuni” .[14]
Imam al-Qori’ mengatakan dalam al-Muraqah
saat menjelaskan hadits ini, kata أبسط
يمينك artinya
buka dan ulurkan tanganmu ya Rasulallah, agar aku dapat menjabatkan tangan
kananku padanya.
Hadist
ini dan hadist –hadist yang lain yang jumlahnya sangat banyak, sangat jelas
menunjukan bahwa kesunahan dalam berjabat tangan adalah dengan menggunakan
tangan tangan.
3)
Tidak
Melepaskan Genggaman Dari Seorang Yang Memulai Mengajak Berjabat Tangan
Kebaikan tidak akan terwujud bila cara yang digunakan adalah cara yang
keliru, jelek dan salah. Mewujudkan kebaikan harus dengan cara yang baik pula.
Memberi sedekah kepada pengemis jika disertai membentak dan menghardik justru
malah menyakiti peminta dan menjadi sebuah dosa. Begitu pula dengan Jabat
tangan yang merupakan lambang dan simbol dari perdamaian dan persatuan diantara
kaum muslimin. Perdamaian dan persatuan tersebut justru akan menjadi renggang
jika cara yang dilakukan adalah keliru. Melepaskan genggaman tangan dari
seorang yang memulai berjabat tangan dengan bersegera sebelum ia melepaskannya
terkesan kurang sopan dan terkesan tidak menghiraukan. Rasulallah sendiri tidak
pernah melepaskan jabat tangan dari seorang yang mengajaknya jabat tangan
sampai orang tersebut melepaskannya. Oleh karena itu, etika ini perlu
ditanamkan dan dilakukan, agar tujuan dari jabat tangan tersebut dapat terwujud
sekaligus mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulallah SAW.
Dasar kesunahan untuk tidak melepas genggaman
tangan sebelum orang yang mengajak tangan melepaskannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh para sababat
Nabi SAW. Sebagian dari hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Sahabat Anas
أَنَّ النَّبِي صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا لَقيَهُ
أَحَدٌ مِن َالصَّحَابَةِ فَقَامَ مَعَهُ قَامَ مَعَهُ – يعني وَاقِفاً - فَلَمْ
يَنْصَرِفُ حَتىَ يَكُوْنُ الرَّجُلُ هُوَ الذي يَنْصَرِفُ عَنْه وإذا لقيَه أحدٌ مِن أصْحَابِه فَتَنَاوَلَ يدَه نَاوَلَه إيّاهَا فلمْ يَنزِعْ يدَه منْه حتَى يكُونُ الرجَّلُ هُو الذي يَنزِعُ يدَه مِنْه
يَنْصَرِفُ حَتىَ يَكُوْنُ الرَّجُلُ هُوَ الذي يَنْصَرِفُ عَنْه وإذا لقيَه أحدٌ مِن أصْحَابِه فَتَنَاوَلَ يدَه نَاوَلَه إيّاهَا فلمْ يَنزِعْ يدَه منْه حتَى يكُونُ الرجَّلُ هُو الذي يَنزِعُ يدَه مِنْه
Artinya : “Bahwa Nabi S.A.W ketika bertemu dengan salah satu sahabatnya
yang sedang berdiri Nabipun berdiri dan Nabi tidak pergi sampai lelaki
sahabatnya pergi darinya. Dan ketika Nabi bertemu dengan salah satu sahabatnya
dan sahabatnya mengulurkan tangannya Nabipun mengulurkan tangannya dan Nabi
tidak melepaskan jabat tangan sahabatnya tersebut sampai sahabatnya
melepaskannya” [16]
Dalam riwayat lain oleh Ibnu Majah
disebutkan :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
الله عَليْهِ وسَلَّمَ إِذَا
لَقِيَ الرَّجُلَ فَكَلَّمَهُ ، لَمْ يَصْرِفْ وَجْهَهُ عَنْهُ حَتَّى يَكُونَ هُوَ
الَّذِي يَنْصَرِفُ وَإِذَا
صَافَحَهُ لَمْ يَنْزِعْ
يَدَهُ مِنْ يَدِهِ حَتَّى يَكُونَ هُوَ الَّذِي يَنْزِعُهَا
Artinya
: “Nabi S.A.W ketika bertemu seorang lelaki, lalu lelaki tersebut mengajak
berbincang - bincang, maka Nabi tidak memalingkan wajahnya darinya sampai ia
berpaling darinya. Dan saat lelaki tersebut menjabat tangannya , Nabi tidak
melepaskan tangannya sampai ia melepaskannya.”
Hadits–hadits diatas selain sebagai bukti
kesunahan untuk tidak
melepaskan
genggaman orang yang memulai berjabat tangan juga sekaligus sebagai bukti bepata agung
dan bepata sempurnanya akhlak Rasulallah terhadap para sahabatnya.
Sebagian ulama Hanabilah mengatakan bahwa
hukumnya makruh bagi seseorang yang diajak berjabat tangan untuk segera
melepaskan genggaman tangan dari orang yang mengajak berjabat tangan sebelum ia melepaskannya tanpa ada sebuah udzur
seperti malu dan lain-lain . Kemekruhan tersebut disebabkan dengan melepaskan
jabat tangan sebelum pihak yang menjabat tangan melepaskannya memberikan
indikasi berpalingnya orang yang diajak berjabat tangan.[17]
Ibnu Taimiyyah mengatakan “ Batasan dalam hal ini adalah siapa saja
yang menduga bahwa orang yang diajak berjabat tangan akan melepaskan genggaman
tangannya maka baginya disunahkan untuk menunggu pihak yang diajak jabat tangan
melepaskannya. Dan sebaliknya, jika ia menduga bahwa pihak yang diajak jabat
tangan tidak akan melepaskan gengamannya maka tidak masalah baginya untuk
melepaskannya terlebih dahulu . Dan seandainya tidak dibatasi seperti itu dan
disunahkan bagi kedua-duanya menahan untuk tidak melepaskan jabat tangan maka
akan terjadi jabat tangat tangan selamanya”[18]
4)
Memberi Salam Sebelum Jabat
Tangan Berlangsung
Mengucapkan
salam dan berjabat tangan merupakan dua komponen penting yang sulit untuk
dipisahkan . Dua komponen tersebut merupakan
media tumbuhnya rasa kecintaan.
Nabi SAW bersabda :
{ أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا إذَا فَعَلْتُمُوهُ
تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ }
Artinya : “Apakah aku
belum menunjukan kepadamu sebuah hal bila kalian kerjakan maka kalian akan
saling mencintai ? sebarkanlah salam diantara kalian”.
Dalam
hadist lain Nabi juga pernah bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
أَفْشُوا السَّلاَمَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ
وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ
تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ
Artinya : “Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makanan, sholatlah
malam sedang manusia tertidur malam maka kalian akan masuk surga dengan
keselamatan”.
Dari hadist-hadist diatas, sudah
tidak diragukan lagi keutamaan salam dalam sendi-sendi kehidupan beragama
dan bermasyarakat , didunia ataupun
dikehidupan yang akan datang. Untuk itu, Sebelum jabat tangan berlangsung,
hendaknya memberi salam terlebih dahulu seperti yang telah diajarkan oleh Nabi
S.A.W . Dalam haditsnya, sahabat Jundub R.A
berkata :
أنّ النَّبِيَ صلى
الله عليه وسلم كَانَ إذَا لَقِيَ أَصْحَابَه لَمْ يُصَافِحْهُمْ حتى يُسلِّمُ عَلَيْهِمْ
Artinnya : “Bahwa
Nabi S.A.W ketika bertemu para sahabatnya tidak menjabat tangannya terlebih
dahulu sampai Nabi mengucapkan salam kepada sahabat-sahabatnya”.[19]
Makna hadits diatas adalah sebagai didikan etika bagi orang- orang muslim dan
pengajaran tentang cara menghormati orang lain dengan menggunakan salam yakni
penghormatan ahli surga nanti.
5)
Memuji Allah dan Berdoa
Kurang lengkap kiranya bila pertemuan dan perpisahan
tidak disertai pujian terhadap Allah dan diakhiri dengan sebuah doa. Pujian
merupakan bentuk rasa syukur atas semua nikmat yang diberikan kepada Allah
terhadap hamba-hambanya dan doa merupakan pengakuan dari sifat menjadi hamba terhadap kekuasaan
penciptanya. Secara umum, sebuah pujian dan doa dapat dilakukan setiap saat, tidak
terikat ruang dan waktu. Dalam jabat tangan juga dianjurkan untuk mengucapkan lafad Hamdallah dan berdoa
dengan doa يَغْفِرُ الله لَنَا َولَكُم . Hal ini sesuai dengan apa yang
telah diajarkan oleh Nabi dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat al-Bara’
al-‘Azib R.A. Nabi bersabda :[20]
إِذَا
الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ فَتَصَافَحَا فَحَمِدَا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَاهُ غُفِرَ لَهُمَا
Artinya
: “Ketika dua orang muslim bertemu, kemudian keduanya saling
berjabat tangan dan memuji Allah dan keduanya meminta ampun pada Allah maka
mereka berdua akan diampuni dosa-dosanya”.
Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh sahabat Anas . Sahabat Anas R.A berkata :
مَا
أَخَذَ رَسُولُ الله بِيَدِ رَجُلٍ فَفَارَقَهُ حَتَّى قَالَ اللَّهُمَّ آتِنَا
فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
وَفِي
الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya : Nabi tidak pernah menjabat tangan seorang lelaki kemudian lelaki tersebut berpisah dengannya kecuali Nabi
berdoa “Ya Allah semoga engkau memberikan kita kebaikan didunia dan akhirat
dan menjauhkan kita dari siksa
neraka“
6)
Mencium tangan
Imam ibnu Hajr al-Haitamie
mengatakan bahwa mencium tangannya sendiri setelah berjabat tangan hukumnya adalah
sunah.[21]
Sedangkan hukum mencium tangan orang lain saat berjabat tangan hukum diperinci,
sunah bila penciuman tersebut karena kesalihahan orang tersebut atau hal- hal
lain yang terkait masalah agama dan makruh bila terkait urusan dunia seperti
karena pangkat dan hartanya. Dasar dari
kesunahan mencium tangan orang lain karena urusan akhirat adalah hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi yang melakukan hal tersebut . Sahabat
Usamah bin Syarik R.A mengatakan :[22]
قُمْنَا
إِلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَده
Artinya : “Aku berdiri menuju Nabi berada dan aku mencium tangannya.”
Sedangkan
menurut imam as-Showie madzhab Malikiyyah mengatakan bahwa mencium tangan
sendiri setelah berjabat tangan dan mencium tangan orang lain saat berjabat
tangan hukumnya adalah makruh. [23]Meraka
berdalih bahwa walaupun mencium tangan pada waktu berjabat tangan disebutkan
diberbagai hadits namun jika mencium tangan tersebut diperbolehkan maka efek
yang ditimbulkan akan buruk. Imam Malik mengatakan mencium tangan merupakan
sujud kecil, dan untuk menutupi celah membesarnya masalah tersebut hingga
menjadi sebuah kemusrikan dicegahlah mencium tangan walaupun terhadap siapapun
termasuk orang saleh.[24]Dalam
referensi lain, penganut madzhab Malikiyyah juga memberikan alasan kenapa imam
Malik menghukumi makruh mencium tangan seseorang, imam al-Abharie berkata “Imam
Malik memekruhkan mencium tangan seseorang ketika hal tersebut dilakukan dengan
kesombongan dan mengagungkan orangnya bukan mengagungkan ilmu dan agamanya .[25]
7)
Memeluk Setelah Jabat Tangan
Kesunahan memeluk
seseorang setelah berjabat tangan ini adalah khusus bagi seseorang yang baru
pulang dari bepergian dan sesamanya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Imam
Nawawi dalam kitab Majmu’nya. Beliau mengatakan memeluk seseorang setelah pulang dari
bepergian dan sejenisnya hukumnya adalah sunah dan makruh bagi selain orang
tersebut.”[26]
Dalam kitab Ad-Dakhirah
, imam al-Qorafie mengatakan bahwa imam Malik memakruhkan memeluk seseorang ,
sebab hal tersebut tidak lakukan oleh Nabi kecuali pada Ja’far bin Abie Thalib
dan hal tersebut tidak berlangsung pada masa setelahnya. Sedangkan imam Abu
Mansyur al-Maturidie mengatkan bahwa kemakruhan dalam memeluk seseorang adalah
tatkala disertai dengan syahwat, bila pelukan tersebut tidak disertai hal itu
maka hukumnya diperbolehkan.
Mayoritas ulama
selain madzhab Malikiyyah memperbolehkan memeluk seseorang seperti
diperbolehkannya mencium tangan saat berjabat tangan karena agamanya. Dasar
dari diperbolehkanya hal tersebut adalah hadist Nabi yang diriwayatkan oleh
Abie Dar . Sahabat Abie Dar berkata:
أَنَّ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَانَقَهُ
Artinya : “Bahwa Nabi SAW memeluknya”
Diriwayatkan dari Abu ishaq bin Ibrahim yang bertanya kepada Abdullah tentang seorang
lelaki yang bertemu temannya kemudian saling berpelukan . Abdullah menjawab “ Hal
itu benar, Abu Darda’ juga melakukannya”.[27]
[1]Al-furuq
fi Anwa’ul Furuq Juz. 4 Hal.426 Maktabah
Salafiyyah
[2]
Mauqiul Islam Sual Wal Jawab Hal.867 Maktabah Salafiyyah
[3]
Ahmad fi Musnadihi Juz 3 Hal. 143 Maktabah Salafiyyah
[4]
Ahmad Juz .4 Hal. 189 Maktabah Salafiyyah
[6]
Al-Bukharie fi Adab al-Munfarid Hal.253 Maktabah Salafiyyah
[7]
Ahmad Juz. 3 Hal.142 Maktabah Salafiyyah
[8]
Tuhfatul Ahwadie Juz. 7 Hal 433 Maktabah Salafiyyah
[9]
Syarh at-Tirmidzie Juz. 2 Hal. 343 Maktabah
Salafiyyah
[10]
Ibnu
Mubarak al-Maruzie salah satu ulama ternama , belajar ilmu fiqh kepada imam
Abie Hanifah dan Sufyan at-Tsaurie , para santri imam Abu Hanifah menganggap
ibnu Mubarak termasuk Madzhab Hanafiyyah. Meninggal pada tahun 181 H. ‘Umdatul
Qori’ juz 5 hal.253 Maktabah
Salafiyyah
[12]
Muasu’ah Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah Juz. 8 Hal. 364 Maktabah Salafiyyah
[13]
Tuhfatul Ahwadie Juz. 7 Hal. 430 Maktabah Salafiyyah
[14]
Tuhfatul Ahwadie Juz. 7 Hal. 521 Maktabah Salafiyyah
[15] Anas bin Malik bin al-Hadlor bin Dlomdlom bin
Zaid bin Haram, Abu Hamzah al-Ansharie . Lahir dikota Madinah tahun sepuluh sebelum Hijrah dan masuk islam ketika
masih kecil . Ia melayani Nabi sampai beliau meninggal pada tahun 93 H.
Tabaqotul kubra Juz 1 Hal. 378 Maktabah
Salafiyyah
Sunan ibn Majah juz 2 Hal. 1224 Maktabah Salafiyyah
[17]
Mathalib Ulin Nuha Juz. 5 Hal. 17 Maktabah Salafiyyah
[18]
Al-Mustadrak ala Fatawie ibnu Taimiyyah Juz. 1 Hal. 22 Maktabah Salafiyyah
[19]
At-Thabarie fi Mu’jam Kubra juz 1 378 lihat Majma’ az-Zawaid juz 8 hal.36
[20]
Abi Dawud Juz. 4 Hal. 354 , Ibnu Majah Juz. 1 Hal. 122 Maktabah Salafiyyah
[21]
Bughyah al-Mustarsyidin hal. 103 Maktabah Salafiyyah
[22]
Fathul Barrie juz. 7 Hal 123 Maktabah Salafiyyah
[23]
Hasyiyyah as-Showie ala Syarah as-Shaghir Juz. 5 Hal. 278 Maktabah Salafiyyah
[24]
Syarh at-Tirmidzie Juz 4 Hal 45 Maktabah Salafiyyah
[25]
Aunul Ma’but Juz 5 Hal 250 Maktabah al-Ilmiyyah
[26]
Al-Majmu Li Nawawie juz 4 Hal 637 Maktabah Salafiyyah
[27]
Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah Juz. 7 Hal. 141 Maktabah Salafiyyah
No comments:
Post a Comment