كِتَابُ
أَحْكَامِ الطَّهَارَةِ
TENTANG
HUKUM-HUKUM BERSUCI
وَالْكِتَابُ لُغَةً مَصْدَرٌ
بِمَعْنَى الضَّمِّ وَالجَمْعِ. وَاصْطِلَاحاً اسْمٌ لِجِنْسٍ مِنَ الأَحْكَامِ.
أَمَّا الْبَابُ فَاسْمٌ لِنَوْعٍ مِمَّا دَخَلَ تَحْتَ ذَلِكَ الْجِنْسِ.
Kitab
menurut bahasa adalah masdar yang memiliki arti mengumpulkan. Sedang menurut
istilah adalah nama bagi satu jenis dari beberapa hukum. Adapun “Bab” ialah
nama bagi satu macam dari sekian hukum yang masuk pada jenis tersebut. [1]
وَالطَّهَارَةُ بِفَتْحِ الظَّاءِ لُغَةً
النَّظَافَةُ. وَأَمَّا شَرْعاً فَفِيْهَا تَفَاسِيْرُ كَثِيْرَةٌ. مِنْهَا
قَوْلُهُمْ فِعْلُ مَا تُسْتَبَاحُ بِهِ الصَّلَاة أَيْ مِنْ وُضُوْءٍ وَغَسْلٍ وَتَيَمُّمٍ
وَإِزَالَةِ نَجَاسَةٍ. أَمَّا الطُّهَارَةُ بِالضَّمِّ فَاسْمٌ لِبَقِيَّةِ المَاءِ.
“Thoharoh” dengan harokat fathah pada huruf tho’ menurut bahasa
adalah bersih. Sedangkan menurut syara’,
maka didalamnya terdapat banyak penafsiran. Diantaranya adalah ungkapan ulama’
“Melakukan sesuatu yang dengannya sholat diperbolehkan” yaitu berupa
wudlu, mandi, tayamum dan menghilangkan najis. Sedangkan “thuharoh” dengan
harokat dlomah (pada huruf tho’) adalah sebutan bagi sisa air.
وَلَمَّا كَانَ المَاءُ آلَةً
لِلطَّهَارَةِ اسْتَطْرَدَ المُصَنِّفُ لِأَنْوَاعِ المِيَاهِ
فَقَالَ:
Karena air
itu menjadi media bersuci, maka Mushannif mengutarakan tentang macam-macam air.
Beliau berkata:
(المِيَاهُ الَّتِيْ يَجُوْزُ)
أَيْ يَصِحُّ (التَّطْهِيْرُ بِهَا سَبْعُ مِيَاهٍ مَاءُ السَّمَاءِ) أي
النَّازِلُ مِنْهَا وَهُوَ المَطَرُ (وَمَاءُ البَحْرِ) أيْ المِلْحِ (وَمَاءُ
النَّهَرِ) أي الحُلْوِ (وَمَاءُ البِئْرِ وَمَاءُ العَيْنِ وَمَاء الثَّلْجِ وَمَاء
البَرَدِ) وَيَجْمَعُ هَذِهِ السَّبْعَةِ قَوْلُكَ: مَا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ
أَوْ نَبَعَ مِنَ الأَرْضِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَ مِنْ أَصْلِ الخِلْقَةِ
Air-air yang
boleh, maksudnya sah digunakan bersuci dengannya ada tujuh macam air.
1.
Air langit maksudnya yang turun dari langit,
yaitu hujan,
2.
Air laut maksudnya air asin
3.
Air sungai yaitu air tawar
4.
Air sumur,
5.
Air sumber air,
6.
Air tsalju dan
7.
Air es (dari langit).
Tujuh macam
air ini terkumpulkan oleh ungkapanmu “sesuatu yang turun dari langit atau
memancar dari bumi dengan berbagai macam kondisi dari bentuk asalnya”[2]
(ثُمَّ المِيَاهُ)
تَنْقَسِمُ (عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ) أَحَدُهَا (طَاهِرٌ) فِيْ نَفْسِهِ
(مُطَهِّرٌ) لِغَيْرِهِ (غَيْرُ مَكْرُوْهٍ اسْتِعْمَالُهُ. وَهُوَ المَاءُ
المُطْلَقُ) عَنْ قَيِّدٍ لَازِمٍ فَلَا يَضُرُّ القَيِّدُ المُنْفَكُّ كَمَاءِ
البِئْرِ فِي كَوْنِهِ مُطْلَقاً
Selanjutnya,
air terbagi atas 4 macam.
Yang pertama:
Air yang suci dzatnya menyucikan terhadap selainnya dan tidak makruh digunakan.
Yaitu Air yang terbebas dari identitas yang mengikat. Maka keberadaan identitas
yang tidak mengikat itu tidak membahayakan terhadap kemutlakan air.
(وَ) الثَّانِي (طَاهِرٌ
مُطَهِّرٌ مَكْرُوْهٌ اسْتِعْمَالُهُ) فِي البَدَنِ لَا فِي الثَّوْبِ (وَهُوَ
المَاءُ المُشَمَّسُ) أي المُسَخَّنُ بِتَأْثِيْرِ الشَّمْسِ فِيْهِ. وَإِنَّمَا يُكْرَهُ
شَرْعاً بِقَطْرٍ حَارٍ فِي إِنَاءٍ مُنْطَبَعٍ إِلَّا إِنَاءَ النَّقْدَيْنِ لِصَفَاءِ جَوْهَرِهِمَا.
وَإِذَا بَرَدَ زَالَتْ الكَرَاهَةُ. وَاخْتَارَ النَّوَوِيُّ عَدَمَ الْكَرَاهَةِ
مُطْلَقاً. وَيُكْرَهُ أَيْضاً شَدِيْدُ السُّخُوْنَةِ وَالبُرُوْدَةِ
Dan yang
kedua adalah air suci menyucikan namun makruh digunakan pada tubuh, tidak makruh pada
pakaian, yaitu air Musyammas. Ialah air yang dipanaskan dengan mengandalkan
pengaruh sengatan matahari padanya. Air tersebut secara syara’ dimakruhkan penggunaanya hanya di
daerah yang bercuaca panas dan air berada di wadah yang terbuat dari logam
selain wadah dari dua logam mulia /emas dan perak, sebab kejernihan elemen keduanya. Jika air
tersebut telah dingin maka hilanglah hukum makruh menggunakannya. Tetapi imam
An-Nawawi memilih pendapat yang menyatakan tidak makruh secara mutlak. (Selain
makuh menggunakan air musyammas) dimakruhkan juga menggunakan air yang sangat
panas dan sangat dingin.[3]
(وَ) القِسْمُ الثَّالِثُ (طَاهِرٌ)
فِي نَفْسِهِ (غَيْرُ مُطَهِّرٍ) لِغَيْرِهِ (وَهُوَ المَاءُ المُسْتَعْمَلُ) فِي
رَفْعِ حَدَثٍ أَوْ إِزَالَة نَجْسٍ إِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ وَلَمْ يَزِدْ وَزْنُهُ
بَعْدَ انْفِصَالِهِ عَمَّا كَانَ بَعْدَ اعْتِبَارِ مَا يَتَشَرَّبُهُ
المَغْسُوْلُ مِنَ المَاءِ.
Dan bagian
yang ketiga adalah:
1.
Air suci dalam dzatnya tidak menyucikan
terhadap selainnya. Ialah air musta’mal / yang telah digunakan untuk
menghilangkan hadats atau najis. (Dihukumi musta’mal dengan syarat) air tidak berubah dan setelah terpisah (dari
benda yang dibasuh) volume air tidak bertambah dari semula dengan
mengira-ngirakan bagian air yang terserap oleh benda yang dibasuh.
(وَالمُتَغَيِّرُ) أَيْ
وَمِنْ هَذَا القِسْمِ المَاءُ المُتَغَيِّرُ أَحَدُ أَوْصَافِهِ (بِمَا) أَيْ
بِشَيْءٍ (خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ) تَغَيُّراً يَمْنَعُ إِطْلَاقَ اسْمِ
المَاءِ عَلَيْهِ. فَإِنَّهُ طَاهِرٌ غَيْرُ طَهُوْرٍ حِسِّيًّا كَانَ
التَّغَيُّرُ أَوْ تَقْدِيْرِيًّا. كَأَنْ اخْتَلَطَ بِالمَاءِ مَا يُوَافِقُهُ
فِي صِفَاتِهِ كَمَاءِ الوَرْدِ المُنْقَطِعِ الرَّائِحَةِ وَالمَاءِ المُسْتَعْمَلِ
2.
Air yang berubah. Maksudnya yang termasuk
dalam bagian ketiga ini adalah air yang berubah salah satu sifat-sifatnya
disebabkan oleh sesuatu; yaitu salah satu dari benda-benda suci yang bercampur
dengan air, dengan taraf perubahan yang dapat menghalangi sebutan nama air
(murni) padanya.[4]
Maka air yang seperti ini hukumnya adalah suci dalam dirinya namun tidak
menyucikan. Baik perubahan itu nampak oleh panca indra atau hanya dalam
perkiraan, seperti ketika air tercampur oleh benda yang sesuai (dengan air)
dalam sifat-sifatnya, misal air bunga mawar yang telah hilang baunya (dicampur
dengan air mutlak) dan seperti air musta’mal (dicampur dengan air mutlak).
2.
فَإِنْ لَمْ يَمْنَعْ إِطْلَاقَ اسْمِ
المَاءِ عَلَيْهِ بِأَنْ كَانَ تَغَيُّرُهُ بِالطَّاهِرِ يَسِيْراً أَوْ بِمَا يُوَافِقِ المَاءَ فِي صِفَاتِهِ
وَقُدِّرَ مُخَالِفاً وَلَمْ يُغَيِّرْهُ فَلَا يَسْلُبُ
طَهُوْرِيَّتَهُ. فَهُوَ مُطَهِّرٌ لِغَيْرِهِ.
Sehingga
bila saja perubahan itu tidak mencegah penisbatan nama air mutlak padanya,
dengan sekira perubahan air yang disebabkan oleh benda suci itu hanya sedikit,
atau dengan sesuatu yang cocok terhadap air dalam sifatnya dan dianggap berbeda
dengan air namun tidak sampai membuatnya berubah (dari kemurnian air) maka
perubahan itu tidak menghilangkan sifat suci mensucikannya air. Sehingga air (yang
dijelaskan terakhir ini) masih dapat mensucikan terhadap selainnya.
وَاحْتَرَزَ بِقَوْلِهِ خَالَطَهُ عَنِ
الطَّاهِرِ المُجَاوِرِ لَهُ. فَإِنَّهُ بَاقٍ عَلَى طَهُوْرِيَّتِهِ. وَلَوْ
كَانَ التَّغَيُّرُ كَثِيْراً وَكَذَا المُتَغَيِّرُ بِمُخَالِطٍ. لَا يَسْتَغْنِي
المَاءُ عَنْهُ كَطِيْنٍ وَطُحْلَبٍ. وَمَا فِي مَقَرِّهِ وَمَمَرِّهِ.
وَالمُتَغَيِّرُ بِطُوْلِ المُكْثِ فَإِنَّهُ طَهُوْرٌ.
Mushannif
mengecualikan dengan ungkapannya “خَالَطَهُ” dari benda yang suci yang hanya
mukholith/ tidak larut pada air maka air tersebut masih berada pada status suci
mensucikan meskipun perubahan air sangat nampak. Begitu pula (seperti air yang
bersinggungan dengan benda suci yang dihukumi masih mensucikan) air yang
berubah sebab tercampur dengan benda yang larut namun air tidak terlepas dari
persinggungan dengannya. Seperti lumpur, lumut, benda-benda yang berada di
tempat berdiamnya air atau di tempat mengalirnya air, dan air yang berubah
disebabkan lamanya diam (tanpa gerak). Maka air-air ini (secara hukum) adalah
suci mensucikan.
(و) القِسْمُ الرَّابِعُ (مَاءُ نَجْسٍ) أي
مُتَنَجِّسٌ وَهُوَ قِسْمَانِ أَحَدُهُمَا قَلِيْلٌ (وَهُوَ الَّذِيْ حَلَّتْ
فِيْهِ نَجَاسَةٌ) تَغَيَّرَ أَمْ لَا (وَهُوَ) أَيْ وَالحَالُ أَنَّهُ مَاءٌ
(دُوْنَ القُلَّتَيْنِ)
Dan bagian
yang keempat adalah air najis, maksudnya mutanajis. Air ini ada dua bagian:
Yang pertama
adalah yang volumenya sedikit; yaitu air najis, maksudnya mutanajis. maksudnya
kondisi air tersebut adalah air yang kurang dari dua qullah.
وَيُسْتَثْنَى مِنْ هَذَا القِسْمُ المَيْتَةُ
الَّتِيْ لَا دَمَ لَهَا سَائِلٌ عِنْدَ قَتْلِهَا أَوْ شَقِّ عُضْوٍ مِنْهَا كَالذُّبَابِ
إِنْ لَمْ تُطْرَحْ فِيْهِ وَلَمْ تُغَيِّرْهُ. وَكَذَا النَّجَاسَةُ الَّتِيْ لَا
يُدْرِكُهَا الطَّرْفُ. فَكُلٌّ مِنْهُمَا لَا يُنْجِسُ المَائِعَ وَيُسْتَثْنَى أَيْضاً
صُوَرٌ مَذْكُوْرَةٌ فِي المَبْسُوْطَاتِ.
Dari bagian
ini dikecualikan (air kemasukan) bangkai
binatang yang tidak memiliki darah yang dapat mengalir saat dibunuh atau
dirobek bagian tubuhnya - seperti lalat- jika (masuknya bangkai tersebut ke dalam
air itu ) tidak (ada kesengajaan) memasukkannya. Begitu juga najis yang tidak
terlihat oleh mata. Maka kedua najis tersebut tidak menajiskan benda cair. Juga
dikecualikan beberapa kasus yang disebutkan dalam kitab-kitab besar.
وَأَشَارَ لِلْقِسْمِ الثَّانِي مِنَ القِسْمِ
الرَّابِعِ بِقَوْلِهِ (أَوْ كَانَ) كَثِيْراً (قُلَّتَيْنِ) فَأَكْثَرَ
(فَتَغَيَّرَ) يَسِيْراً أَوْ كَثِيْراً. (وَالْقُلَّتَانِ خَمْسُمِائَةِ رِطْلٍ
بَغْدَادِيٍّ تَقْرِيْباً فِي الأَصَحِّ) فِيْهِمَا وَالرِّطْلُ البَغْدَادِيُّ
عِنْدَ النَّوَوِيِّ مِائْةٌ وَثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُوْنَ دِرْهَماً وَأَرْبَعَةُ
أَسْبَاعِ دِرْهَمٍ.
Mushannif
memberikan isyarat pada macam yang kedua dari bagian keempat ini dengan
ungkapannya “Atau airnya banyak, berupa dua qullah” atau lebih “kemudian
terjadi perubahan” baik perubahan yang sedikit atau banyak.
Dua qullah adalah
takaran 500 Rithl Baghdad dengan mengira-ngirakannya menurut pendapat Ashah
(pendapat yang lebih shohih/benar dibanding pendapat yang lain) dalam dua
kriteria tersebut; (yakni takaran 500 rithl dan dengan mengira-ngirakannya).
Rithl Baghdad menurut An-Nawawy adalah 128 4/7 dirham. [5]
وَتَرَكَ المُصَنِّفُ قِسْماً خَامِساً
وَهُوَ المَاءُ المُطَهِّرُ الحَرَامُ كَالوُضُوْءِ بِمَاءٍ مَغْصُوْبٍ أَوْ
مُسَبَّلٍ لِلشُّرْبِ
Mushannif
meninggalkan penjelasan bagian yang kelima yaitu air yang menyucikan namun
haram menggunakannya. Seperti wudlu menggunakan air ghosob atau menggunakaan
air yang disediakan untuk minum.
[1] Mashdar adalah sebuah kata yang mengandung makna suatu
perbuatan tanpa mengaitkan waktu.
[2] Perbedaan antara air tsalji dan air barad adalah tsalji itu
turun dari langit dalam kondisi cair lantas membeku di atas bumi karena cuaca
yang sangat dingin. Sedangkan barad itu turun dari langit dalam keadaan
beku/keras kemudian mencair diatas bumi. Sebagian Ulama’ menyatakan bahwa
sebenarnya keduanya turun dari langit dalam keadaan cair saat ditengah-tengah
perjalanan ke bumi keduanya mengeras. Yang membedakan keduanya adalah saat
berada diatas bumi, tsalji tetap dalam kondisi beku sedangkan barad mencair.
Keduanya dibedakan dari air hujan yang sebenarnya sama-sama turun dari langit
karena memandang sisi bekunya. Kondisi beku dan keras inilah yang membedakan
keduanya dari air hujan. Lihat Al-Baijuri, Al-Haramain, Juz 1 hal. 27.
[3] Penggunaan air musyammas sebagai media bersuci ini makruh
jika masih ada wadah yang lain. Jika tidak ada wadah lain maka hukumnya tidak
makruh. Bahkan bisa menjadi wajib saat waktu sholat hamper habis dan tidak
menemukan yang lain. Al-Baijuri, Darul Kutub Al-Ilmiyah, hal. 29
Syarat dimakruhkannya
air musyammas sebagai berikut:
1. Berada
di daerah bercuaca panas seperti Mekah dsb. Sehingga tidak makruh jika
digunakan dalam daerah yang bercuaca sedang seperti negara Mesir atau daerah
Jawa dan daerah dingin seperti Syiria dsb.
2.
Sengatan matahari merubah kondisi air
sekira pada air muncul zat yang berasal dari karat logam.
3.
Air berada pada wadah yang terbuat dari
logam selain emas perak. Seperti wadah yang terbuat dari logam besi, tembaga
dsb.
4.
Digunakan saat suhu air sedang panas.
5.
Digunakan pada kulit badan. Meskipun pada
badan orang yang terkena penyakit kusta, orang mati dan hewan.
6.
Dipanaskan saat cuaca panas.
7.
Masih ada air selain musyammas yang dapat
dipergunakan.
8.
Waktu sholat masih longgar sehingga masih
ada waktu untuk mencari air yang lain.
9.
Tidak mendapat bahaya secara nyata atau
dalam dugaan kuatnya. Jika meyakini atau menduga akan muncul bahaya maka haram
hukumnya.
Bila tidak memenuhi sembilan syarat
ini maka hukum menggunakannya tidak lagi makruh. Nihayat az-Zain, Darul Kutub
Al-Ilmiyah, hal. 17
Ø Tidak
makruhnya menggunakan air musyammas dalam bejana yang terbuat dari logam mulia
(emas dan perak) bukan berarti boleh menggunakan bejana tersebut. Sebab
penggunaan bejana itu hukumnya haram dari sisi menggunakan emas perak. Sedangkanm
tidak makruhnya menggunakan air musyammas dalam bejana tersebut karena
memandang sisi tidak membahayakannya menggunakan air mesyammas tersebut.
Sehingga hukum menggunakan air musyammas dalam bejana itu hukumnya tidak makruh
(halal) dipandang dari sisi menggunakan air musyammas yang tidak berbahaya dan
haram dari sisi menggunakan emas dan perak. Lihat Al-Baijuri, Darul Kutub
Al-Ilmiyah, hal. 29-30
[4] [4] Contoh
air ditambahkan pemanis maka tidak disebut lagi sebagai air tetapi dinamakan
minuman, air ditambahkan sayuran dan penyedap maka air tersebut tidak lagi
dinamakan air tetapi dinamakan kuah dsb.
[5] Ukuran air dua qullah menurut
ü Imam
Nawawi = 174,580 lt / kubus berukuran kurang lebih 55,9 cm.
ü Imam
Rofi’i = 176,245 lt / kubus berukuran jurang lebih 56,1 cm.
ü Ulama’
Iraq = 255,325 lt / kubus berukuran kurang lebih 63,4 cm.
ü Mayoritas
Ulama = 216,000 lt / kubus berukuran kurang lebih 60 cm.
ü Kriteria
yang menjadi pertimbangan dalam menyatakan air mencapai 2 qullah ada dua,
volume dan ketepatan volume. Qoul Ashah dalam masalah volume, dua qullah adalah
500 rithl. Sedangkan menurut pendapat yang lain adalah 600 rithl dan ada yang
menyatakan 1.000 rithl. Untuk kriteria ketepatan volume Qoul Ashahnya adalah
taqribi (dengan kira-kira/tidak harus tepat), sehingga bila saja kurang satu
atau dua qullah maka masih termasuk 2 qullah. Dan menurut pendapat lain volume
harus tepat (tahdid), sehingga kurang sedikit saja sudah tidak dianggap 2
qullah. Lihat Al-Baijuri, Darul Kutub Al-Ilmiyah, juz 1 hal. 78-79
No comments:
Post a Comment