I. Masbuq Dalam Terminologi Syariat
Masbuq adalah makmum yang tidak sempat
menemukan waktu/masa guna menyempurnakan bacaan fatihah, baik terjadi pada
rakaat pertama maupun rakaat setelahnya. Standar waktu/ masa di sini mengikuti bacaan
umum (kebanyakan manusia), bukan bacaan imam maupun bacaan makmum sendiri.
Sehingga secara konklusif, makmum yang mengikuti imam mulai dari pertama kali
berdiri, namun tidak sanggup menyelesaikan bacaan fatihah sampai imam melaksanakan
rukuk, bukan dinamakan sebagai masbuq. Begitu pula bukan dinamakan masbuq, makmum
yang menemukan cukup waktu guna menyempurnakan bacaan fatihah, meskipun tidak
mengikuti imam dari awal. Secara terbalik makmum yang tidak tergolong masbuq
dalam istilah fiqh dinamakan sebagai muwafiq.[1]
II. Konsekwensi Imamah Bagi
Masbuq
Dapat kita pahami bahwa istilah masbuq
hanyalah terlaku dalam ritualitas jamaah. Sehingga aturan serta norma ibadah
yang diberlakukan bagi masbuq tidak akan pernah lepas dari prinsip imamah dalam
shalat. Beberapa aturan yang tercantum dalam makmum masbuq dapat kita pelajari
lewat beberapa sub bahasan berikut ini.
Masbuq dalam hal
ini dapat dibedakan dalam dua klasifikasi :
Pertama, masbuq yang tidak menjumpai waktu berdiri
dari imam. Seperti halnya makmum yang menjumpai imamnya dalam keadaan rukuk
atau ketika makmum selesai melakukan takbiratul ihram, imam langsung melakukan
rukuk. Dalam kategori masbuq semacam ini, hanya satu hal yang harus dilakukan,
yakni mengikuti imam dalam rukuknya serta tidak diperbolehkan membaca fatihah.
Kedua, masbuq yang menjumpai waktu berdiri dari imam.
Dalam hal ini terdapat beberapa permasalahan :
@ Ketika masbuq mulai melaksanakan salat, dalam arti mengikuti
imam, maka baginya terlaku hukum sunah untuk langsung melaksanakan fardlu
(fatihah). Sehingga ketika masbuq melakukan hal lain selain fardlu, semisal
bacaan iftitah, ta'awudz, mendengarkan bacaan imam, atau bahkan diam, maka
ketika bacaan fatihahnya tidak bisa sempurna di saat imam melakukan rukuk, ia
wajib meneruskan bacaan fatihah sebagai ganti waktu yang telah ia salah
gunakan. Dan disyaratkan durasi (lama waktu) fatihah yang ia baca haruslah sama
dengan lamanya waktu yang disalah gunakan untuk hal-hal di atas. Bahkan menurut
satu versi (lebih akurat), bukan hanya lamanya waktu yang harus sama, akan
tetapi jumlah hurufnyapun harus diperkirakan sama. Sehingga ketika masbuq tidak
mengganti waktu tersebut, kemudian secara sadar dan sengaja melakukan rukuk,
maka shalatnya dianggap batal menurut pendapat yang paling kuat (al-Ashah).
Berbeda jika hal tersebut dilatarbelakangi ketidak tahuan (jahl) atau
mungkin kealpaan (Nisyan), maka dia hanya menerima resiko kewajiban
mengganti satu rakaat setelah salam dari imam.
Syarah (penjelasan) Permasalahan :
Sebenarnya secara transparan klasifikasi
kedua dalam fenomena masbuq (masbuq yang menjumpai waktu berdiri dari imam)
dapat diberikan penjelasan secara lengkap dengan membedakannya dalam tiga
kejadian umum :
a.
Ketika Masbuq Langsung Melaksanakan Fatihah
Dalam hal ini, ketika Imam melakukan rukuk
sebelum selesainya masbuq dalam membaca fatihah, maka ada tiga pendapat
mengenai prosedur apa yang harus dilakukannya.
Pertama, masbuq tidak boleh melanjutkan fatihah dan
harus mengikuti imam dalam gerakan rukuknya. Sehingga konsekwensinya, ketika ia
memilih untuk meneruskan fatihah, hingga sampai imam bangun dari rukuk, maka
shalatnya dianggap batal.
Kedua, masbuq boleh melanjutkan fatihah, hanya saja
hukumnya makruh serta menghilangkan perhitungan satu rakaat. Bahkan apabila
imam telah melewati dua rukun fi'li, shalatnya dianggap batal, selama ia tidak
melakukan niat mufaraqah (keluar shalat). Pendapat ini dinilai yang
paling kuat (al-mu'tamad).
Ketiga, wajib meneruskan fatihah dan setelah selesai,
dia diperbolehkan melanjutkan shalat dengan urutan rukun secara tertib.
Sehingga hal itu tidak mengurangi penghitungan rakaat. Namun hal ini disertai
catatan, imam belum melampauinya dengan tiga rukun panjang (thawilah,
yakni selain i'tidal dan duduk di antara dua sujud).
b. Ketika Masbuq
Tersibukkan Membaca Kesunatan Lain
Mengenai masbuq yang melakukan demikian, maka
ia diwajibkan untuk meneruskan bacaan fatihahnya sebagai ganti lamanya waktu
ketika ia membaca selain fatihah. Kemudian ketika bacaannya selesai, imam masih
dalam keadaan rukuk, jelas rakaat yang dilakukannya terhitung. Namun
sebaliknya, jika bacaannya baru bisa diselesaikan setelah imam mengangkat
kepalanya dari rukuk, atau bahkan imam sudah terlampau jauh meninggalkannya
dengan rukun-rukun lain, bagaimana sikap masbuk berikutnya, apakah dia
diperbolehkan rukuk?. Menyikapi hal ini, ulama mengemukakan beberapa pendapat.
Pertama, diperbolehkan rukuk kemudian ia melaksanakan gerakan selanjutnya dengan
secara tertib. Dalam hal ini disyaratkan, imam tidak mendahuluinya dengan tiga
rukun panjang sebelum ia menyelesaikan fatihahnya. Namun ketika ia belum sempat
menyelesaikan bacaan fatihah, imam telah sampai pada rukun panjang ke-empat,
maka ia tidak diperbolehkan melanjutkan fatihah dan wajib mengikuti gerakan imam,
meskipun gerakan itu bukan urutan gerakannya sendiri. Dan tentunya rakaat yang
dilakukannya tidak dianggap dalam hitungan.
Kedua, menurut versi yang paling kuat, masbuq tidak diperkenankan rukuk. Akan
tetapi ketika ia telah selesai dengan bacaannya, diwajibkan untuk langsung
mengikuti gerakan yang sedang dilakukan imamnya. Sehingga rakaat yang
dilakukannya tidak bisa dimasukkan dalam penghitungan.
Perbedaan di atas terjadi dari ulama yang
memberikan ketentuan, wajib meneruskan bacaan fatihah dengan waktu yang
sebanding dengan bacaan sunah yang sudah dilakukannya. Dan perlu kita ketahui
bersama, beberapa ulama lebih lunak menyikapi hal ini. Dimana karena memandang
kesunatan adalah merupakan perintah, maka ketika bacaan fatihahnya tidak sampai
sempurna disebabkan kesunatan yang telah ia laksanakan, tidak wajib lagi
baginya meneruskan fatihah. Bahkan seperti masbuq katagori pertama, ia
diperbolehkan langsung mengikuti rukuk dari imam tanpa menyempurnakan fatihah.
Karena fatihah masbuq semacam ini termasuk telah ditanggung oleh imam.
c. Ketika Masbuq Berdiam
Diri Atau Melakukan Hal Lain Yang Bukan Anjuran
Untuk kategori ini, masbuq wajib mengganti
waktu diamnya dengan bacaan fatihah dengan panjang waktu yang sama. Jika ia
sempat menemukan rukuk dari imam maka rakaatnya terhitung, dan jika tidak maka
rakaatnya tidak dihitung.[2]
III. Prosedur Tanbih (Mengingatkan Imam)
Tanbih adalah usaha mengingatkan baik pada imam atau pada orang lain ketika
shalat. Mengenai hukumnya terdapat berbagai macam perincian, tergantung munabbah
bih (perkara yang diingatkan). Adakalanya wajib, seperti mengingatkan imam
atas hal-hal yang akan mengakibatkan batalnya shalat, atau mungkin sunah, tentu
atas sesuatu yang sunah, seperti mengingatkan imam ketika hendak meninggalkan tasyahud
awal.
Aturan ini berkembang atas semua hal ataupun
kejadian yang sering terjadi di sekitar kita. Sehingga perlu diterapkan
aturan-aturan tertentu. Untuk media/alat mengingatkan imam pada asalnya
terbatas ada dua yaitu dengan tasbih (subhanallah) atau bertepuk (tashfiq). Hal
ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW;
من
نابه شيء فى صلاته فليسبح وانما التصفيق للنساء . متفق عليه
1.
Tasbih
Konsep ini diperuntukkan untuk laki-laki
ketika mengingatkan Imamnya yang lupa, yaitu dengan mengucapkan subhanallah.
Namun yang perlu diperhatikan dalam konsep tanbih dengan tasbih adalah
keharusan untuk tidak mengucapkannya semata-mata karena tujuan mengingatkan,
akan tetapi harus dibarengi niat zdikir atau niat zdikir saja tanpa tujuan
mengingatkan.[3]
Hal ini berbeda dengan tashfiq karena
dalam pengucapan tasbih ada kepantasan diperuntukan untuk zdikir, sedangkan
tashfiq adalah satu perbuatan yang tidak ada unsur kepantasan untuk zdikir sama
sekali.[4]
2.
Tashfiq
Ini untuk kaum perempuan dengan cara
menepukkan batinnya telapak tangan kanan kepada dlohirnya telapak tangan yang
kiri. Hal ini menurut pendapat yang dominan dikalangan fuqoha' tetap berlaku
walaupun semua jamaah yang ada perempuan, walaupun menurut Imam al Zarkasi
boleh untuk menggantinya dengan tasbih.[5]
Untuk metode tanbih dengan tashfiq tidak membatalkan shalat walaupun tujuannya
langsung untuk mengingatkan Imam.
IV. Penutup Uraian
Shalat adalah media bagi seoarang hamba untuk
melakukan komonikasi dengan Allah, sehingga dalam shalat dilarang untuk
melakukan aktifitas yang ada unsur main-main, karena dalam shalat seseorang
dianjurkan untuk khusu' sekalipun itu sulit. Termasuk dalam konsep mengingatkan
kealpaan Imam ketika ada unsur main-main, semisal dalam tashfiq ada tujuan
main-main maka konsekuensinya shalatnya langsung batal.[6]
Dan syariat yang diperuntukkan untuk kemashlahatan manusia dengan sangat rinci
juga mengatur tentang tindakan yang harus dikerjakan seorang makmum ketika
qodratiyah manusia yang kadang lupa berlaku pada seorang imam. Dan dengan jeli
terbedakan metode tanbih yang harus dilakukan, hal ini karena secara qodratiyah
antara laki-laki dan perempuan berbeda walaupun tidak harus selamanya
dibeda-bedakan dalam tataran kemanusian dan kehambaan. Diakui atau tidak suara
perempuan adalah nilai magic atau nilai plus yang terkadang
berkonsekuensi negatif ketika tidak disikapi dengan rasio yang jernih.