Sunday 24 January 2016

MASBUQ SERTA TANBIH (MENGINGATKAN IMAM) DALAM PRINSIP IMAMAH

 I.   Masbuq Dalam Terminologi Syariat
      Masbuq adalah makmum yang tidak sempat menemukan waktu/masa guna menyempurnakan bacaan fatihah, baik terjadi pada rakaat pertama maupun rakaat setelahnya. Standar waktu/ masa di sini mengikuti bacaan umum (kebanyakan manusia), bukan bacaan imam maupun bacaan makmum sendiri. Sehingga secara konklusif, makmum yang mengikuti imam mulai dari pertama kali berdiri, namun tidak sanggup menyelesaikan bacaan fatihah sampai imam melaksanakan rukuk, bukan dinamakan sebagai masbuq. Begitu pula bukan dinamakan masbuq, makmum yang menemukan cukup waktu guna menyempurnakan bacaan fatihah, meskipun tidak mengikuti imam dari awal. Secara terbalik makmum yang tidak tergolong masbuq dalam istilah fiqh dinamakan sebagai muwafiq.[1]

II.  Konsekwensi Imamah Bagi Masbuq
      Dapat kita pahami bahwa istilah masbuq hanyalah terlaku dalam ritualitas jamaah. Sehingga aturan serta norma ibadah yang diberlakukan bagi masbuq tidak akan pernah lepas dari prinsip imamah dalam shalat. Beberapa aturan yang tercantum dalam makmum masbuq dapat kita pelajari lewat beberapa sub bahasan berikut ini.

Masbuq dalam hal ini dapat dibedakan dalam dua klasifikasi :
Pertama, masbuq yang tidak menjumpai waktu berdiri dari imam. Seperti halnya makmum yang menjumpai imamnya dalam keadaan rukuk atau ketika makmum selesai melakukan takbiratul ihram, imam langsung melakukan rukuk. Dalam kategori masbuq semacam ini, hanya satu hal yang harus dilakukan, yakni mengikuti imam dalam rukuknya serta tidak diperbolehkan membaca fatihah.
Kedua, masbuq yang menjumpai waktu berdiri dari imam. Dalam hal ini terdapat beberapa permasalahan :
@  Ketika masbuq mulai melaksanakan salat, dalam arti mengikuti imam, maka baginya terlaku hukum sunah untuk langsung melaksanakan fardlu (fatihah). Sehingga ketika masbuq melakukan hal lain selain fardlu, semisal bacaan iftitah, ta'awudz, mendengarkan bacaan imam, atau bahkan diam, maka ketika bacaan fatihahnya tidak bisa sempurna di saat imam melakukan rukuk, ia wajib meneruskan bacaan fatihah sebagai ganti waktu yang telah ia salah gunakan. Dan disyaratkan durasi (lama waktu) fatihah yang ia baca haruslah sama dengan lamanya waktu yang disalah gunakan untuk hal-hal di atas. Bahkan menurut satu versi (lebih akurat), bukan hanya lamanya waktu yang harus sama, akan tetapi jumlah hurufnyapun harus diperkirakan sama. Sehingga ketika masbuq tidak mengganti waktu tersebut, kemudian secara sadar dan sengaja melakukan rukuk, maka shalatnya dianggap batal menurut pendapat yang paling kuat (al-Ashah). Berbeda jika hal tersebut dilatarbelakangi ketidak tahuan (jahl) atau mungkin kealpaan (Nisyan), maka dia hanya menerima resiko kewajiban mengganti satu rakaat setelah salam dari imam.

Syarah (penjelasan) Permasalahan :
Sebenarnya secara transparan klasifikasi kedua dalam fenomena masbuq (masbuq yang menjumpai waktu berdiri dari imam) dapat diberikan penjelasan secara lengkap dengan membedakannya dalam tiga kejadian umum :
a.       Ketika Masbuq Langsung Melaksanakan Fatihah
Dalam hal ini, ketika Imam melakukan rukuk sebelum selesainya masbuq dalam membaca fatihah, maka ada tiga pendapat mengenai prosedur apa yang harus dilakukannya.
Pertama, masbuq tidak boleh melanjutkan fatihah dan harus mengikuti imam dalam gerakan rukuknya. Sehingga konsekwensinya, ketika ia memilih untuk meneruskan fatihah, hingga sampai imam bangun dari rukuk, maka shalatnya dianggap batal.
Kedua, masbuq boleh melanjutkan fatihah, hanya saja hukumnya makruh serta menghilangkan perhitungan satu rakaat. Bahkan apabila imam telah melewati dua rukun fi'li, shalatnya dianggap batal, selama ia tidak melakukan niat mufaraqah (keluar shalat). Pendapat ini dinilai yang paling kuat (al-mu'tamad).
Ketiga, wajib meneruskan fatihah dan setelah selesai, dia diperbolehkan melanjutkan shalat dengan urutan rukun secara tertib. Sehingga hal itu tidak mengurangi penghitungan rakaat. Namun hal ini disertai catatan, imam belum melampauinya dengan tiga rukun panjang (thawilah, yakni selain i'tidal dan duduk di antara dua sujud).
b.       Ketika Masbuq Tersibukkan Membaca Kesunatan Lain
Mengenai masbuq yang melakukan demikian, maka ia diwajibkan untuk meneruskan bacaan fatihahnya sebagai ganti lamanya waktu ketika ia membaca selain fatihah. Kemudian ketika bacaannya selesai, imam masih dalam keadaan rukuk, jelas rakaat yang dilakukannya terhitung. Namun sebaliknya, jika bacaannya baru bisa diselesaikan setelah imam mengangkat kepalanya dari rukuk, atau bahkan imam sudah terlampau jauh meninggalkannya dengan rukun-rukun lain, bagaimana sikap masbuk berikutnya, apakah dia diperbolehkan rukuk?. Menyikapi hal ini, ulama mengemukakan beberapa pendapat.
Pertama, diperbolehkan rukuk kemudian ia melaksanakan gerakan selanjutnya dengan secara tertib. Dalam hal ini disyaratkan, imam tidak mendahuluinya dengan tiga rukun panjang sebelum ia menyelesaikan fatihahnya. Namun ketika ia belum sempat menyelesaikan bacaan fatihah, imam telah sampai pada rukun panjang ke-empat, maka ia tidak diperbolehkan melanjutkan fatihah dan wajib mengikuti gerakan imam, meskipun gerakan itu bukan urutan gerakannya sendiri. Dan tentunya rakaat yang dilakukannya tidak dianggap dalam hitungan.
Kedua, menurut versi yang paling kuat, masbuq tidak diperkenankan rukuk. Akan tetapi ketika ia telah selesai dengan bacaannya, diwajibkan untuk langsung mengikuti gerakan yang sedang dilakukan imamnya. Sehingga rakaat yang dilakukannya tidak bisa dimasukkan dalam penghitungan.

Perbedaan di atas terjadi dari ulama yang memberikan ketentuan, wajib meneruskan bacaan fatihah dengan waktu yang sebanding dengan bacaan sunah yang sudah dilakukannya. Dan perlu kita ketahui bersama, beberapa ulama lebih lunak menyikapi hal ini. Dimana karena memandang kesunatan adalah merupakan perintah, maka ketika bacaan fatihahnya tidak sampai sempurna disebabkan kesunatan yang telah ia laksanakan, tidak wajib lagi baginya meneruskan fatihah. Bahkan seperti masbuq katagori pertama, ia diperbolehkan langsung mengikuti rukuk dari imam tanpa menyempurnakan fatihah. Karena fatihah masbuq semacam ini termasuk telah ditanggung oleh imam.
c.       Ketika Masbuq Berdiam Diri Atau Melakukan Hal Lain Yang Bukan Anjuran
Untuk kategori ini, masbuq wajib mengganti waktu diamnya dengan bacaan fatihah dengan panjang waktu yang sama. Jika ia sempat menemukan rukuk dari imam maka rakaatnya terhitung, dan jika tidak maka rakaatnya tidak dihitung.[2]        
III. Prosedur Tanbih (Mengingatkan Imam)
            Tanbih adalah usaha mengingatkan baik pada imam atau pada orang lain ketika shalat. Mengenai hukumnya terdapat berbagai macam perincian, tergantung munabbah bih (perkara yang diingatkan). Adakalanya wajib, seperti mengingatkan imam atas hal-hal yang akan mengakibatkan batalnya shalat, atau mungkin sunah, tentu atas sesuatu yang sunah, seperti mengingatkan imam ketika hendak meninggalkan tasyahud awal.
Aturan ini berkembang atas semua hal ataupun kejadian yang sering terjadi di sekitar kita. Sehingga perlu diterapkan aturan-aturan tertentu. Untuk media/alat mengingatkan imam pada asalnya terbatas ada dua yaitu dengan tasbih (subhanallah) atau bertepuk (tashfiq). Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW;
من نابه شيء فى صلاته فليسبح وانما التصفيق للنساء . متفق عليه
1.    Tasbih
Konsep ini diperuntukkan untuk laki-laki ketika mengingatkan Imamnya yang lupa, yaitu dengan mengucapkan subhanallah. Namun yang perlu diperhatikan dalam konsep tanbih dengan tasbih adalah keharusan untuk tidak mengucapkannya semata-mata karena tujuan mengingatkan, akan tetapi harus dibarengi niat zdikir atau niat zdikir saja tanpa tujuan mengingatkan.[3] Hal  ini berbeda dengan tashfiq karena dalam pengucapan tasbih ada kepantasan diperuntukan untuk zdikir, sedangkan tashfiq adalah satu perbuatan yang tidak ada unsur kepantasan untuk zdikir sama sekali.[4]
2.    Tashfiq
Ini untuk kaum perempuan dengan cara menepukkan batinnya telapak tangan kanan kepada dlohirnya telapak tangan yang kiri. Hal ini menurut pendapat yang dominan dikalangan fuqoha' tetap berlaku walaupun semua jamaah yang ada perempuan, walaupun menurut Imam al Zarkasi boleh untuk menggantinya dengan tasbih.[5] Untuk metode tanbih dengan tashfiq tidak membatalkan shalat walaupun tujuannya langsung untuk mengingatkan Imam.

IV. Penutup Uraian
            Shalat adalah media bagi seoarang hamba untuk melakukan komonikasi dengan Allah, sehingga dalam shalat dilarang untuk melakukan aktifitas yang ada unsur main-main, karena dalam shalat seseorang dianjurkan untuk khusu' sekalipun itu sulit. Termasuk dalam konsep mengingatkan kealpaan Imam ketika ada unsur main-main, semisal dalam tashfiq ada tujuan main-main maka konsekuensinya shalatnya langsung batal.[6] Dan syariat yang diperuntukkan untuk kemashlahatan manusia dengan sangat rinci juga mengatur tentang tindakan yang harus dikerjakan seorang makmum ketika qodratiyah manusia yang kadang lupa berlaku pada seorang imam. Dan dengan jeli terbedakan metode tanbih yang harus dilakukan, hal ini karena secara qodratiyah antara laki-laki dan perempuan berbeda walaupun tidak harus selamanya dibeda-bedakan dalam tataran kemanusian dan kehambaan. Diakui atau tidak suara perempuan adalah nilai magic atau nilai plus yang terkadang berkonsekuensi negatif ketika tidak disikapi dengan rasio yang jernih.




[1] .  Mahfudz At-Tarmasy "Turmusy" juz. III hal. 108
[2] . Al-Jurdani "Fath al-'Alam bi Syarh Mursid al-Anam" juz. II hal. 581
[3]   Sulaiman Bujairami Ala al Khotib Jilid. II, hlm. 78
[4]   al Bajuri Syarh Fath al Qorib jilid I, hlm. 260
[5]   Ibid  
[6]   Ibid

SHALAT IED DALAM WACANA RITUALITAS

Istilah 'ied diambil dari akar kata al-'Aud yang bisa di artikan dengan kembali/ terulang atau juga bisa diartikan sebagai anugerah Allah Swt. Penamaan Sholat dengan istilah 'ied ini dapat dimaklumi karena memang terdapat beragam kesarasian dalam maknanya. Maksudnya penggunaan nama 'ied adalah karena melihat pada hari itu merupakan salah satu moment pemberian anugerah belas kasih dan ampunan dari Allah Swt. terhadap hambanya atau karena sholat tersebut selalu dilakukan secara berulang-ulang dalam setiap tahunnya dan atau telah kembalinya suasana kegembiraan dan keceriaan ketika telah masuk hari raya. Kegembiraan yang dimaksud adalah disamping kegembiraan secara lahiriyah juga kegembiraan secara batiniyah yaitu dengan diamapuninya dosa-dosa kita. Oleh sebab itu sholat 'ied menjadi sebuah anjuran ritualitas tahunan yang dilakukan setelah menjalani ibadah puasa dan haji yang keduanya diharapkan dapat mensucikan diri dari dosa.   

Pelaksanaan Shalat Ied
Melakukan sholat ied, yakni Idul Fitri dan Idul Adha bagi setiap orang islam, baik laki-laki, perempuan, orang merdeka atau hamba sahaya hukumnya sunat muakkad. Tapi dalam satu versi ada yang berpendapat fardlu kifayah, memandang bahwa sholat ied adalah bagian dari syi’ar Islam. Waktu pelaksanaan sholat 'ied adalah masa-masa di antara terbitnya matahari dan tergelincirnya matahari dari titik kulminasi. Hanya saja sunat dilakukan ketika matahari telah naik kira-kira satu tombak dalam pandangan mata. Sholat Idul Fitri dan Idul Adha bisa. dilakukan secara jama’ah atau sendirian. Namun bila dilakukan sendirian tidak disunatkan untuk melakukan khutbah.
Sholat 'ied dilaksanakan dengan dua raka'at dan rukun-rukun dalam shalat 'ied sama persis dengan sholat fardhu. Sedangkan kesunahan-kesunahan shalat 'ied secara garis besar tidak jauh berbeda dengan kesunnahan-kesunnahan dalam sholat fardhu. Perbedaannya hanya nampak dalam kesunnahan untuk melakukan takbir tujuh kali pada rakaat pertama setelah membaca do'a iftitah dan takbir lima kali pada rakaat kedua sebelum membaca do'a ta'awwudz. Di antara takbir satu dengan yang lain disunatkan membaca do'a al-baqiyah as-sholihah.

Khutbah Shalat Ied
Rukun khuthbah dalam sholat 'ied  secara global ada delapan, sedangkan secara terperinci ada lima. Hal ini karena ada tiga rukun yang harus dilakukan di dua khuthbah, sedangkan dua rukun yang lain dilaksanakan pada salah satunya. Kelima rukun itu adalah   :
1.       Membaca hamdalah/ memuji kepada Allah menggunakan lafadz yang musytaq (tercetak) dari mashdar hamdun (حمد) dan juga harus menggunakan lafadh jalalah (الله).
2.       Membaca sholawat pada Nabi Muhammad saw.
3.       Wasiat agar bertaqwa kepada Allah swt. 
Ketiga rukun inilah yang harus dilakukan pada dua khuthbah.
4.       Membaca ayat Al-Qur’an yang mudah untuk dipaham pada salah satu khuthbah, namun yang lebih utama supaya dilakukan pada khuthbah pertama.
5.       Mendo’akan segala hal yang berkaitan dengan akhirat kepada segenap kaum muslimin, muslimat, mu’minin dan mu’minat pada waktu khuthbah kedua.
Sunat-sunat dalam pelaksanaan khutbah mayoritas sama dengan khutbah jum'at, hanya dalam beberapa hal khutbah dalam shalat ied dibedakan, di antaranya :
/              Sunat mengingatkan tentang hukum-hukum dan ketentuan zakat fitrah saat khutbah idul fitri dan mengingatkan tentang hukum-hukum dan ketentuan kurban.
/              Memulai khutbah pertama dengan sembilan takbiran dan khutbah kedua dengan tujuh takbiran.

Kesunatan bagi imam sholat Idul Fitri :
/                  Datang ke tempat sholat ketika sholat hendak dilaksanakan.
/                  Setelah sampai pada tempat sholat, hendaknya memperhatikan shof (barisan) jama’ah sholat ied sebelum takbir.

Kesunatan untuk umum (Imam dan jama’ah sholat ied)[1]
v  Mandi dengan niat untuk melaksanakan sholat ied.
نَوَيْتُ اْلغُسْلَ ِلعِيْدِ الفِطْرِ / الأضْحَى ِللهِ تَعَالَى .
v  Berangkat pagi-pagi sekali dan berhias dengan memakai parfum, pakaian yang bagus, memotong kuku serta menghilangkan bau yang tidak  sedap.
v  Hendaknya menempuh jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang. Menurut suatu keterangan, hal ini untuk mendapatkan lebih banyak pahala.
v  Hendaknya makan terlebih dahulu sebelum berangkat sholat Idul fitri, sedangkan pada saat Idul Adha, hendaknya melakukan sholat ied terlebih dahulu.

Teknis Pelaksanaan Sholat Dan Khutbah Ied.[2]
1.        Ketika imam sampai di tempat pelaksanaan sholat/ masjid, muroqqi segera berdiri untuk memberi aba-aba dimulainya sholat ied, yaitu membaca     :
صَلُوْا سُنَّةً لِعِيْدِ اْلفِطْرِ/ الأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةًَ رَحِمَكُمُ الله
2.        Imam segera menuju mihrob (tempat imam), untuk segera memulai pelaksanaan sholat ied.
Catatan:
Sholat ied dilakukan dua rakaat, diawali takbirotul ihrom dengan disertai niat sholat ied.

أُصَلِّى سُنَّةً لِعِيْدِ اْلفِطْرِ / اْلأَضْحَى إِمَامًا / مَأْمُوْمًا ِللهِ تَعَالَى

3.        Setelah takbirotul ihrom, dilanjutkan dengan membaca do’a iftitah yang telah kita maklumi bacaannya, kemudian takbir tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua sebelum membaca Al-Fatihah. Antara takbir satu dengan yang lain sampai pada takbir yang ketujuh disunatkan membaca : 

سُبْحَانَ اللهِ وَاْلحَمْدُ لِلَّه ِ وَلآ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أكْبَرْ .

4.        Selesai melakukan tujuh takbir pada rakaat pertama, dilanjutkan membaca ta’awudz, Al-Fatihah dan surat surat yang disunatkan,  seperti Surat Qof atau Al-A’la pada rakaat pertama, dan Surat al-Qomar atau surat al-Ghosyiyah pada rakaat kedua.
5.        Selesai melaksanakan sholat, bilal segera berdiri ke depan, untuk memberi aba-aba dimulainya khutbah ied. Bunyi aba-aba tersebut seperti :

مَعَاشِرَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَزُمْرَةَ اْلمُؤْمِنِيْنَ رَحِمَكُمُ الله، اعْلَمُوْا أَنََّ يَوْمَكُمْ هَذَا يَوْمُ عِيْدِ الْفِطْرِ/ الأضْحَى وَيَوْمُ السُّرُوْرِ وَيَوْمُ الْمَغْفُوْرِ، أَحَلَّ الله لَكُمْ فِيْهِ الطَّعَامُ، وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ فِيْهِ الصِّيَامُ، إذَا صَعِدَ الَخَطِيْبُ عَلَى المِنْبَرِ أنْصِتُوا أثَابَكُمُ الله وَاسْمَعُوا أجَارَكُمُ الله، وَأطِيْعُوا رَحِمَكُمُ الله.   

6.        Kemudian khothib naik mimbar, dan bilal membaca sholawat, yang sebagaimana berikut :

اَللَّهُمَ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ، أللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍٍ، اَللَّهُمَ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ.

7.        Selesei bilal membaca sholawat, khotib segera memulai membaca khutbah pertama. 

Fenomena Dan Problematika

Shalat ied pada hari jum'at
Dalam permasalahan sholat 'ied sering kita jumpai fenomena jatuhnya hari 'ied bertepatan dengan hari jum'at. Dalam menyikapi hal ini terdapat beberapa versi pendapat di antara para imam madzhab mengenaii gugur tidaknya kewajiban untuk melaksanakan sholat jum'at.
·     Menurut versi Hanafiyah dan Malikiyah tetap diwajibkan  melaksanakan sholat jum'at.
·     Versi Hanabilah berpendapat, sholat 'ied dapat menggugurkan kewajiban sholat jum'at, namun tidak menggugurkan kewajiban sholat dhuhur.
·     Versi Syafi'iyyah menyatakan bahwa kewajiban sholat jum'at dapat gugur bagi penduduk yang tempat domisilinya relatif jauh dengan tempat pelaksanaan sholat 'ied, dengan standarisasi seandainya mereka setelah melaksanakan sholat 'ied kembali ke rumah masing-masing niscaya akan ketinggalan shalat jum'at. Hukum ini adalah sebagai bentuk dispensasi Syari'at bagi mereka, agar tidak dirasakan terlalu berat dalam menjalankan syari'at-syari'at islam.     

Takbir dan kesunatan dalam fitri dan adha (malam dan siang)
Bagi setiap kaum muslimin dalam setiap merayakan hari raya disunnahkan memeriahkannya dengan mengumandangkan takbir di mulai saat matahari terbenam hingga saat imam melakukan takbirotul ihrom  dalam hari raya 'iedul fitri atau sampai waktu ashar di akhir hari tasyriq. Takbir inilah dinamakan takbir mursal pada hari raya 'iedul fitri dan takbir muqoyyad pada hari raya 'iedul adha, karena harus dilakukan setelah sholat fardhu selain pada malam pertama .     
Sedangkan hukum mengumandangkan takbiran di luar dua hari raya dan tiga hari tasyriq adalah diperbolehkan, kecuali bertujuan mensyariatkan takbiran tersebut khusus pada waktu itu atau menimbulkan prasangka pada masyarakat bahwa hal tersebut disyari'atkan.

Referensi 
تفسير القرطبي ج: 10 ص: 415
قال استكثروا من   الباقيات الصالحات  قيل وما هي يا رسول الله قال التكبير والتهليل والتسبيح والحمد لله ولا حول ولا قوة إلا بالله صححه أبو محمد عبد الحق رحمه الله وروى قتادة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أخذ غصنا فخرطه حتى سقط ورقه وقال إن المسلم إذا قال سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر تحاتت خطاياه كما تحات هذا خذهن إليك أبا الدرداء قبل أن يحال بينك وبينهن فإنهن من كنوز الجنة وصفايا الكلام وهن   الباقيات الصالحات  ذكره الثعلبي وخرجه ابن من حديث أبي الدرداء قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم عليك بسبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر فإنهن يعني يحططن الخطايا كما تحط الشجرة ورقها وأخرجه الترمذي من حديث الأعمش عن أنس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر بشجرة يابسة الورقة فضربها بعصاة فتناثر الورق فقال إن الحمد لله وسبحان الله ولا إله إلا الله والله أكبر لتساقط من ذنوب العبد كما تساقط ينوي هذه الشجرة قال هذا حديث غريب ولا نعرف للأعمش سماعا من أنس إلا أنه قد رآه ونظر إليه وخرج الترمذي أيضا عن ابن مسعود قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لقيت إبراهيم عليه السلام ليلة أسري بي فقال يا محمد أقرىء أمتك مني السلام وأخبرهم أن الجنة طيبة التربة عذبة الماء وأنها قيعان وأن غراسها سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر قال حديث غريب خرجه وفيه فقلت وما غراس الجنة قال لاحول ولا قوة إلا بالله وخرج ابن ماجة عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر به وهو يغرس غرسا فقال يا أبا هريرة مالذي تغرس قلت غراسا قال ألا أدلك على غراس خير من هذا سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر يغرس لك بكل واحدة شجرة في الجنة وقد قيل إن   الباقيات الصالحات  هي النيات والهمات لأن بها تقبل الأعمال وترفع قاله الحسن وقال عبيد ابن عمير هن البنات يدل عليه أوائل الآية قال الله تعالى المال والبنون زينة الحياة الدنيا ثم قال والباقيات الصالحات يعني البنات الصالحات هن ثم الله لآبائهن خير ثوابا




[1] Zakaria al-Anshori “al-Manhaj Matan al-Jamal” Juz II hal. 98-101, Dar el-Fikr.
[2] Ibid, hal. 94-96.

THAHARAH BUKAN PERSOALAN MUDAH


Thaharah (Bersuci)
Dalam memahami thaharah hendaknya kita melakukan pembelajaran secara prosedural, dalam arti menguasai teori pokok dalam thaharah adalah yang terpenting, baru kemudian kita kembangkan dalam kejadian nyata yang berlangsung di tengah kehidupan sehari-hari.

Teori Istinja'
Istinja' wajib dilaksanakan atas semua najis yang keluar dari dubur (jalan belakang) dan qubul (jalan depan) meskipun berupa hal yang kurang lazim, seperti halnya darah. Dan kewajiban itu terlaku ketika ada kekhawatiran terjadinya tadhammuh bi al-najasah (menyentuh dan terlumuri najis), ketika yakin tidak ditemukannya air, serta ketika hendak malaksanakan shalat. Dalam melaksanakan istinja' kita memerlukan perangkat yang dalam kitab fiqh disebutkan, air dan batu, dimana menggunakan keduanya itu yang paling baik atau memilih air daripada batu adalah lebih utama.

Tata cara buang hajat dan istinja': dalam melakukan istinja' ada beberapa hal yang diajarkan syariat:
Pertama, menempatkan posisi dengan cara bertumpu pada kaki kiri serta meluruskan kaki kanan jika hal tersebut memungkinkan.
Kedua, setelah kita melakukan buang hajat hal pertama yang harus kita lakukan adalah menuntaskan hajat kita dengan cara menekan (mengurut) alat kelamin disertai ber-dehem.
Ketiga, kemudian setelah tuntas, kita bersihkan dengan air sampai bersih semua sifat najisnya, dan jika terpaksa masih tersisa bau maupun warna najis karena sulit dihilangkan maka hal itu dianggap suci. Namun apabila kita menggunakan batu sebagai perangkat bersuci maka terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi.
  1. Dilakukan minimal tiga kali usapan baik dengan satu batu ataupun tiga batu. Bahkan wajib lebih ketika belum bersih secara tuntas, meskipun tidak sebersih air.
  2. Najis yang keluar belum sampai melebar melebihi tempat yang terkena najis pada awalnya. Atau ke arah yang tidak lazim pada saat keluar, semisal air kencing belum melewati hasafah (bagian atas kelamin laki-laki) atau kotoran belum melewati bagian dalam pantat (yang mengatup ketika berdiri).
  3. Tidak bercampur dengan najis lain, meskipun dari percikan air kencingnya. Atau bercampur dengan air yang tidak mensucikan.
  4. Harus sebelum keringnya najis, jika sudah terlanjur kering, maka wajib menggunakan air.

Adab dan tatakrama buang hajat serta istinja'; ada beberapa hal dalam syariat yang ditetapkan sebagai sopan santun baik sebelum, pada saat melakukan maupun setelah buang hajat maupun istinja'.
Pertama, memilih tempat yang jauh dari pandangan mata manusia, ketika tidak ada tempat khusus.
Kedua, menghindari tempat dan situasi yang dilarang oleh syariat, diantaranya sebagai berikut :
-          Buang hajat pada air yang tidak mengalir atau mengalir namun kapasitasnya sedikit.
-          Membuang hajat di lobang, diantara bumi yang terbelah, dan pada tanah yang keras.
-          Melakukannya di tempat umum seperti jalan, pasar, di tempat yang biasa digunakan sebagai tempat berteduh atau di bawah pohon yang sedang berbuah.
-          Melakukannya pada situasi kencangnya angin kecuali ada tempat khusus.
-          Haram buang hajat di masjid meskipun tersedia tempat khusus atau di atas kuburan.
Ketiga, mengusahakan penutup minimal setinggi tiga depa apabila melakukan buang hajat di selain tempat khusus.
Keempat, memakai alas kaki serta penutup kepala semacam handuk atau yang lain.
Kelima, tidak diperkenankan membawa tulisan atau barang lain yang berisi dzikir atau asma al-a'dhom.
Keenam, masuk dengan mendahulukan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan.
Ketujuh, berdoa ketika hendak masuk dengan doa :    باسم الله إني أعوذ بك من الخبث والخبائث
Kedelapan, menanggalkan atau menyingkap pakaian pelan pelan dan bertahap.
Kesembilan, berposisi tidak menghadap atau membelakangi kiblat serta tidak menghadap arah matahari dan bulan kecuali jika terdapat penghalang berupa bangunan ataupun benda lain.
Kesepuluh, makruh berbicara kecuali ada kebutuhan serta tidak diperkenankan berdzikir kecuali dalam hati.
Kesebelas, tidak melakukan buang hajat dengan berdiri dan mamakai air melampaui batas kecuali ada alasan tertentu.
Kedua belas, membaca doa ketika selesai buang hajat, dengan doa :غفرانك الحمد لله الذى أذهب عني الأذى وعافاني

Masalah-masalah baru :
  1. Menggunakan tisu dan barang sejenis ketika istinja'
Secara prinsip perangkat istinja' dari selain air diharuskan memenuhi empat syarat, qali' (mampu meresap najis), thahir (suci), jamid (termasuk benda padat) serta bukan tergolong muhtaram (yang dimuliakan dalam syariat seperti, kitab dll). Kemudian semua benda yang mempunyai ciri sama serta memenuhi syarat-syarat di atas, semuanya boleh dugunakan istinja', semacam tisu, kapas, kain dan lain sebagainya.
  1. Bersuci menggunakan air zamzam
Dalam hal ini perlu kita ketahui bahwa air zamzam merupakan air yang dianggap mulia oleh syariat, dan di sisi lain air zamzam juga memiliki ciri air sebagaimana umumnya. Padahal segala hal yang mulia menurut syariat tidak diperkenankan untuk digunakan istinja'. Menurut madzhab Syafi'i air zamzam seperti air biasa dan boleh untuk digunakan istinja', hanya saja hukum menggunakannya adalah makruh.
  1. Percikan sewaktu kita buang hajat.
Percikan ini bisa terjadi dari beberapa kemungkinan, mungkin dari air kencing yang kita keluarkan, maka hukumnya suci selama percikan itu tidak terlihat mata telanjang. Atau mungkin dari akibat tinja yang jatuh ke air, sehingga jika memang percikan air itu berasal dari lobang wc yang sudah dipastikan selalu najis maka hukumnya najis. Dan jika berasal dari kolam, seyogyanya kita amati dulu, kalau memang ada sebagian tinja yang terbawa dalam percikan itu maka dipastikan berdampak hukum najis.
  1. Najis yang keluar dari selain qubul dan dubur atau keluar dari khuntsa (waria)   
Ketika najis bukan berasal dari dubur maupun qubul, ataupun keluar dari kelamin khuntsa,  apakah masih terlaku hukum umum istinja' ?. Ternyata secara umum masih terlaku hanya saja perangkat istinja'nya tertentu dengan menggunakan air saja, bukan yang lain. Namun boleh mensucikan terlebih dahulu dengan selain air selama pada tahap berikutnya digunakan air.
Selain masalah-masalah di atas masih banyak problematika lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu secara lengkap.

Kesalahan Umum :
  1. Sewaktu kita membuang hajat terkadang kurang memperhatikan aturan syariat. Ketika ada anjuran untuk menuntaskan hajat dengan cara-cara tertentu serta banyak tuntunan yang disampaikan syariat, kita terkadang indisipliner dan kurang mengindahkan. Akibatnya, meskipun masih muda dan bahkan pada anak-anak sering kita jumpai penyakit was-was (kebimbangan tak berdasar) menggejala sehingga ketika sampai pada taraf tertentu, hal ini akan berakibat fatal pada perkembangan psikologis (kejiwaan).
  2. Dalam keseharian seringkali kita menjumpai sebagian masyarakat melakukan kencing dengan cara berdiri tanpa alasan. Padahal hal itu bertentangan dengan tradisi nabi ketika melaksanakan buang hajat.
  3. Terlalu lama dalam berhajat, melakukan gosok gigi sambil berhajat serta terlalu sembrono dalam beristinja'. Padahal menurut sebagian ulama dan ahli kedokteran hal itu akan mengakibatkan berbagai macam penyakit, seperti ambeien, liver, gatal-gatal dan lain sebagainya.

Tips khusus :  
  1. Ketika kita mengalami was-was atau kebimbangan tanpa dasar baik dalam bersuci maupun ketika shalat, Imam Abu Hasan al-Syadzily memberikan resep untuk menghilangkannya. Beliau mengatakan: "Letakkan tangan kananmu ke dada dan ucapkanlah doa :
سبحان الملك القدوس الخلاق الفعال  
Sebanyak tujuh kali kemudian dilanjutkan doa :
إن يشأ يذهبكم ويأت بخلق جديد وما ذلك على الله بعزيز .
Harus diucapkan dengan mantap dan insyaallah akan hilang.
  1. Jangan sekali-kali meludahi kotoran yang kita keluarkan karena hal itu akan mengakibatkan penyakit was-was serta membuat gigi kita menguning.
  2. Dihindari membuang hajat terlalu lama karena bisa mengakibatkan penyakit ambeien maupun liver menurut sebagian ulama.
  3. Kebiasaan gosok gigi ketika melakukan buang hajat akan membuat kita jadi pelupa (tulalit).



Teori Wudlu
Secara garis besar teori dalam wudhu terbagi menjadi tiga bagian, perangkat wudhu, pelaksanaan dan hal-hal yang merusak wudhu.
Perangkat Wudhu :
Dalam berwudhu kita harus menggunakan air yang tergolong thahir muthahir (suci sekaligus mensucikan). Tidak diperkenankan menggunakan beberapa jenis air, di antaranya :
1.      Air musta'mal yaitu sudah pernah terpakai untuk berwudhu, mandi maupun menghilangkan najis ketika kurang dari ukuran dua kulah (60 cm persegi/174,580 liter)
2.      Air yang sudah berubah drastis (taghayyur katsira) disebabkan mukhalith (benda yang ketika bercampur dengan air sulit dibedakan dengan mata telanjang seperti, dedaunan yang sudah hancur) namun yang secara lazim jarang bersinggungan dengan air (yastaghni minhu).
3.      Air yang sudah terkena najis meskipun sedikit dan tidak merubah keadaan air.
Perubahan yang disebabkan al-mujaawir (benda yang mudah dibedakan dengan mata telanjang, seperti minyak) atau disebabkan benda yang lazim bersinggungan dengan air seperti ganggang, lumpur, serta perubahan sebab debu dan garam, semuanya tidak menjadikan air kehilangan fungsi untuk bisa mensucikan.  

Pelaksanaan serta hal-hal yang merusak wudlu
Mengenai tatacara baik mengenai rukun, syarat serta tentang kesunatan dalam wudhu semuanya mungkin sudah kita ketahui, hanya saja sering terjadi kesalahan umum dalam pemahaman maupun prakteknya. Sedangkan dalam hal-hal yang merusak wudlu dapat dipahami dengan mudah, namun perlu banyak pendalaman dari tiap sub bahasan yang tercantum dalam literatur fiqh.

Kesalahan umum :
Dalam berwudhu ada beberapa kesalahan yang biasa terjadi, dan hal ini semata-mata hanya karena kurang mendalami sekaligus kurang memahami kejelasan dari teori-teori fiqh thaharah.
  1. Percikan air dari bekas pembasuhan salah satu anggota wudhu baik dari dirinya sendiri ataupun dari orang lain yang berada di sampingnya dianggap tidak mengakibatkan hukum musta'mal. Padahal fiqh menyatakan, jika kita mengambil secakup air kemudian terkena percikan dari basuhan awal atau sebab basuhan orang di sampingnya, maka dianjurkan untuk mengamati secara teliti, apabila hanya sedikit dan diperkirakan tidak berpengaruh maka tentunya tidak menjadi musta'mal. Atau percikan itu berasal dari basuhan kedua tentu juga tidak mengakibatkan hukum musta'mal.
  2. Tidak menghilangkan benda-benda yang menghalangi masuknya air pada anggota tubuh, seperti pewarna kuku, bekas tip ex ataupun benda lainnya. Konsekuensi yang harus dilaksanakan adalah mengulangi wudhu jika nyata ditemukan hal semacam itu.
  3. Kurang teliti dalam membasuh bagian-bagian tertentu, seperti bagian sudut kelopak mata, siku-siku, bagian bawah kuku serta bagian bagian sulit lainnya.
  4. Dan sekali lagi, seperti dalam istinja', penyakit was-was banyak berjangkit di sini. Tentu cara menghilangkannya sama seperti di atas.

Problematika :
  1. Banyak terjadi di tengah perjalanan, mereka yang biasa bepergian kerepotan mencari tempat berwudhu hingga kemudian memanfaatkan air Aqua botol sebagai alat bersucinya. Menurut kajian fiqh thaharah hal itu tidak menjadi persoalan karena yang penting air didalam botol masih tergolong thahir muthahir atau suci mensucikan.
  2. Lazim terjadi, ketika kita masuk tempat peribadatan umum yang berada di terminal maupun di pasar-pasar, yang kita temukan saat hendak berwudhu adalah bak-bak kecil yang dihubungkan oleh pipa paralon ukuran mini. Padahal kita yakin air dari masing-masing bak tidak ada dua kulah (60 cm persegi/174,580 liter) dan jumlah dua kulah hanya dihasilkan dari kumpulan beberapa bak yang ada. Dalam hal ini fiqh menjawab, bahwa air yang terpisah oleh dua tempat dengan penghubung semacam itu akan dihukumi dua kulah apabila ketika gerakkan bak ke satu, yang lainnya ikut tergerak. Apabila tidak nampak gerakan dari bak lainnya, maka masing-masing bak dihukumi kurang dua kulah dan ketika kita hendak berwudhu dari air sedikit itu, ada dua hal yang harus dipenuhi, melakukan niat ightiraf (menjadikan tangan hanya sebagai alat mencakupn air) agar tidak terjadi hukum musta'mal pada air, serta memastikan tetesan air dari setiap basuhan kita tidak memasuki bak tersebut.
Keterangan di atas hanya sebagian kecil permasalahan yang terjadi di tengah keseharian, semoga dengan hal ini, kita dapat tergugah untuk menelaah pengetahuan agama semaksimal mungkin dan tentunya dengan melalui metodhologi yang lebih efektif dan efisien.

Darul Azka