Pengertian
Secara bahasa puasa
memiliki makna menahan diri dari segala hal, meskipun menahan diri dari
berbicara. Sebagaimana Allah swt berfirman,
إِنِّي
نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا
"Sesungguhnya
aku telah bernazar kepada Tuhan yang Maha Pemurah untuk berpuasa (menahan diri
dari berbicara)." (QS. Maryam;
26)
Sedangkan secara istilah syari'at, puasa memiliki arti
pekerjaan yang dilakukan oleh orang Islam yang berakal dan suci dari haidl
serta nifas dalam menahan diri dari berbagai hal yang membatalkannya mulai dari
fajar shadiq sampai matahari terbenam dengan disertai niat khusus.[1]
Dalil Kewajiban Puasa
Sebelum ijma'
(konsensus ulama), dalil diwajibkannya puasa adalah firman Allah yang berbunyi:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون َ
Artinya: "Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. A-Baqarah; 183)
Sedangkan
dalil puasa dari hadits Nabi adalah:
بُنِيَ
اْلإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَإقَامِ الصَّلاَةِ وَإيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ
الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Artinya: "Agama
Islam didirikan atas lima
perkara; bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah
utusan (rasul) Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa (di bulan)
Ramadhan, dan ibadah haji ke Baitullah." (HR. Bukhari & Muslim)
Puasa mulai diwajibkan pada bulan Sya'ban tahun 2
Hijriyyah. Puasa Ramadhan diwajibkan bagi masyarakat luas dengan adanya persaksian seorang laki-laki
yang adil tentang terlihatnya hilal Romadlon pada malam 30 dari bulan Sya'ban
disertai ketetapan(itsbat) pemerintah atas munculnya hilal dengan
persaksian orang tersebut, atau dengan menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi 30
hari apabila tidak memungkinkan untuk melihat hilal. Nabi Muhammad saw bersabda:
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Artinya: "Berpuasalah kalian karena melihat hilal
(bulan Ramadhan), dan berbukalah kalian karena melihat hilal (bulan Syawwal).
Apabila kalian ditutupi oleh mendung (sehingga tidak bisa melihat hilal) maka
sempurnakanlah bilangan (hari) bulan Sya'ban menjadi 30 hari." (HR. Bukhari)[2]
قَالَ
ابْنُ عُمَرَ أَخْبَرْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي
رَأَيْتُ الْهِلاَلَ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Artinya: "Shahabat Ibnu Umar berkata, "Aku
memberi kabar kepada Nabi saw bahwa aku
telah melihat hilal. Kemudian Nabi saw berpuasa dan memerintahkan manusi untuk
berpuasa." (HR. Abu Daud dan
Ibnu Hibban)[3]
Puasa Romadlon diwajibkan
secara khusus bagi seseorang yang melihat hilal akan tetapi pemerintah tidak
sampai menetapkan (itsbat) akan munculnya hilal Romadlon melalui
persaksiannya. Diwajibkan pula bagi mereka yang mendapatkan informasi akan
munculnya hilal dari seseorang yang dapat dipercaya atau di yakini
kejujurannya, walaupun yang menyampaikan informasi tersebut adalah seorang
wanita, anak kecil, orang fasiq, atau bahkan orang kafir.
Tidak ada kewajibkan
berpuasa Romadlon dengan adanya informasi dari ahli perbintangan maupun ahli
hisab, kecuali bagi diri mereka sendiri ataupun siapa saja yang mengakui
kebenaran berita itu. Yang di maksud ahli perbintangan adalah mereka yang mempunyai anggapan bahwa awal bulan ditandai
dengan munculnya suatu bintang. Sedangkan ahli hisab adalah mereka yang
berpedoman terhadap posisi bulan dalam rotasinya.
Dalam menentukan
kewajiban puasa Romadlon juga tidak dapat berpedoman pada mimpi seseorang bahwa
Rosululllah telah bersabda kepadanya sesungguhnya malam ini adalah awal bulan
Romadlon, dikarenakan keterbatasannya dalam memahami isyarat nabi saw dalam mimpinya.
Hikmah Berpuasa
Banyak sekali mutiara hikmah yang dapat kita peroleh dengan berpuasa,
diantaranya adalah:
1.
Sebagai perwujudan rasa syukur kita pada Allah swt atas segala
karuniaNya. Hikmah ini terdapat pada semua jenis ibadah, karena pada hakikatnya
semua ibadah adalah ungkapan rasa syukur seorang hamba kepada Tuhannya.
2.
Supaya dapat diketahui siapakah hamba Allah yang mampu menunaikan
amanahnya, dan siapa yang tidak mampu, dikarenakan ibadah puasa merupakan
amanat Allah swt pada hambaNya untuk mengendalikan hawa nafsu.
3.
Sebagai sesuatu yang membedakan antara manusia yang mempunyai akal dan
nafsu dengan hewan yang hanya mempunyai nafsu saja.
4.
Mampu menjaga dan meningkatkan kesehatan. Hal ini sesuai dengan sabda
Rosulullah saw yang diketengahkan Abu Huroiroh ra:
صُوْمُوْا
تَصِحُُّوْا
Artinya: “Berpuasalah
! maka kamu sekalian akan sehat.” (HR.
Abu Na’im)
5.
Mampu meredam gairah seksual yang sangat sulit dibendung ketika sedang
bergejolak. Sehingga seorang faqir yang tidak mampu atas biaya pernikahan dan
takut akan melakukan perzinaan dianjurkan untuk berpuasa guna meredam gairah
seksualnya, sebagaimana disabdakan oleh Rosulullah saw:
يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: ”Wahai para pemuda! siapa diantara kalian mampu atas biaya pernikahan, maka menikahlah!
sesungguhnya menikah itu lebih bisa menjaga kemaluan dan pandangan. Barang
siapa yang tidak mampu, maka berpuasalah ! karena sesungguhanya puasa itu
sangggup mengendalikan hawa nafsunya.” (HR.
Muslim)
6.
Membina jiwa sosial terhadap sesama. Sebab seseorang yang biasa didera
rasa lapar dan dahaga dalam menjalani puasa akan mudah berempati dan
mengasihsayangi fakir miskin yang serba kekurangan dalam memenuhi kebutuhan
sehari-harinya.
Keutamaan Bulan Ramadhan
Kehadiran bulan ramadhan
adalah anugerah dan nikmat yang Allah swt kepada seluruh umat Nabi Muhammad
saw. Di dalamnya terdapat keutamaan dan hikmah yang khusus diberikan Allah
kepada hambaNya yang dengan ikhlas menjalankan ibadah puasa serta ibadah-ibadah
lainnya. Maka, sebaiknya dengan masuknya bulan tersebut seluruh umat Islam
lebih meningkatkan amal ibadahnya dan lebih menjaga kebersihan hatinya dengan
melaksanakan segala bentuk kesunnahan yang ada, terlebih lagi pada sepuluh hari
yang akhir dari bulan Ramadhan demi mendapatkan malam yang amat didambakan oleh
umat Nabi Muhammad saw , yakni malam Lailatul
Qodar.
Baginda Rosulullah saw
pernah bersabda:
لَوْ
عَلِمَ الْعِبَادُ مَا فِيْ رَمَضَانَ لَتَََمَنَّتْ أُمَّتِيْ أَنْ يَكُوْنَ
رَمَضَانُ السَّنَةَ كُلَّهَا
Artinya:
"Seandainya umatku mengetahui keutamaan di dalam bulan Ramadhan niscaya
mereka akan mengharapkan bahwa seluruh tahun adalah bulan Ramadhan." (HR. Abu Ya’la al-Musholi)
Di antara bulan-bulan
yang lain, bulan Ramadlan memiliki keistimewaan, seperti yang diungkapkan oleh
Nabi saw:
رَمَضَانُ
قَلْبُ السَّنَةِ إذَا سَلِمَ سَلِمَتِ السَّنَةُ كُلُّهَا
Artinya:"Ramadhan
adalah (bagaikan) hatinya tahun. Jikalau Ramadhan (tersebut) selamat (baik),
maka akan selamat (baik) pula seluruh tahunnya." [4]
Untuk orang yang berpuasa
di bulan Ramadhan dengan ikhlas, maka akan diampuni segala dosanya yang telah
lampau, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh hadits:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ
Artinya:
"Diceritakan dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau berkata: "Barang
siapa berpuasa (pada) bulan Ramadhan karena percaya kepada Allah dan hanya
mengharapkan (ridha) dari Allah maka akan diampuni semua dosa yang telah
dilakukannya." (HR. Bukhari
& Muslim)
Syaikh Abdurrahman
al-Shafuri al-Syafi'i dalam kitab Nuzhah al-Majalis berkata:
رَمَضَانُ
خَمْسَةُ أَحْرُفٍ فَالرَّاءُ رِضْوَانُ اللهِ لِلْمُقَرَّبِينَ وَالْمِيْْمُ
مَغْفِرَةُ اللهِ لِلْعَاصِينَْ وَالضَّادُ ضَمَانُ اللهِ لِلطَّائِفِيْنَ
وَاْلأَلِفُ أُلْفَةُ اللهِ لِلْمُتَوَكِّلِيْنَ وَالنُّونُ نَوَالُ اللهِ
لِلصَّادِقِيْنَ
Artinya: "Ramadhan
terdiri dari lima huruf; ra' artinya ridha Allah kepada hamba-Nya yang
mendekatkan diri (kepadaNya), mim artinya ampunan Allah kepada orang-orang yang
berbuat maksiat, dlod adalah tanggungan Allah untuk orang-orang yang thowaf,
alif artinya kecintaan Allah kepada orang-orang yang bertawakal, nun artinya
anugerah Allah kepada orang-orang yang jujur.
Rukun-Rukun Puasa[5]
Sebagaimana ibadah lainnya, puasa juga memilki
rukun-rukun yang harus dipenuhi oleh orang Islam yang berpuasa. Rukun-rukun
puasa ada 3, yaitu:
1.
Niat
Bagi orang yang ingin
berpuasa fardlu, disyaratkan niat puasa di malam hari (tabyit). Hal ini
berdasarkan hadits Nabi yang berbunyi,
مَنْ
لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
Artinya: "Barang
siapa yang tidak niat di malam hari untuk puasanya sebelum fajar maka tiada
puasa baginya." (HR.
al-Daruquthni dan lainnya)[6]
Selain disyaratkan tabyit,
dalam niat juga harus menentukan jenis puasa seperti puasa Ramadhan, nazar,
atau kafarat. Puasa kafarat ialah puasa yang dibebankan terhadap
seseorang yang telah melakukan suatu pelanggaran terhadap sumpahnya, atau
sebagai tebusan akan dosa yang dilakukannya.
Niat puasa Ramadhan bisa dilakukan minimal
dengan niat:
نَوَيْتُ
صَوْمَ رَمَضَانَ
"Saya niat puasa Ramadhan."
Meskipun tidak
menyebutkan kalimat "فَرْضُ", niat seperti
di atas sudah dianggap cukup karena puasa yang dilakukan oleh seorang muslim
yang sudah baligh pada bulan Ramadhan adalah puasa fardhu. Untuk niat puasa Ramadhan yang paling sempurna adalah:
نَوَيْتُ
صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ إيمَانًا
وَاحْتِسَابًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya: "Saya
niat puasa esok hari untuk melaksanakan kefardluan Ramadhan tahun ini karena
iman kepada Allah dan hanya mengharapkan ridla-Nya".
Lafadz رَمَضَانِ
dibaca jer dengan mambaca kasroh nunnya meskipun lafadz ini tergolong
isim ghoiru munshorif, karena ketika isim ghoiru munshorif di-idlofahkan
dengan lafadz setelahnya maka menjadi munshorif dengan kasroh sebagai tanda i’rob
jer-nya. Namun untuk keabsahan puasa cukup membersitkan keinginan puasa
dalam hati, walaupun secara 'irob lafadznya dianggap salah.
Catatan:
Niat puasa Ramadhan harus
dilakukan setiap malam. Jika seseorang pada malam pertama bulan Ramadhan
berniat untuk puasa satu bulan, maka yang dihukumi sah hanya puasa pada hari
pertama saja. Bagi orang yang pada malam pertama niat puasa Ramadhan untuk satu
bulan sebagai antisipasi ketika dia lupa niat pada malam hari karena mengikuti
(taqlid) pendapat Imam Malik, maka ia harus mengetahui secara utuh
syarat-syarat dan rukun-rukun puasa versi madzhab Maliki. Sedangkan lafadz
niatnya adalah sebagai berikut:
نَوَيْتُ
صَوْمَ جَمِيْعِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ تَقْلِيْدًا لِْلِإمَامِ
مَالِكٍ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى
Artinya: "Saya
niat puasa untuk seluruh kefardluan bulan Ramadhan tahun ini karena mengikuti
pendapat imam malik untuk mengharapkan ridla Allah."
Khusus untuk puasa sunah
diperbolehkan niat pada siang hari sebelum masuk waktu dhuhur dengan syarat
belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.
2.
Orang yang berpuasa (al-Sha`im)
Yang dimaksud dengan orang yang berpuasa di sini
adalah orang-orang yang memenuhi syarat wajib dan syarat sah puasa.
3.
Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan
Syarat Wajib
Syarat wajib puasa ada
tiga, yakni:
1.
Islam
Maka puasa tidak wajib
bagi non muslim asli. Jika ada non muslim asli masuk Islam pada siang hari di
bulan Ramadhan maka ia tidak wajib mengqadha' puasa untuk hari itu, dan
hari-hari sebelumnya. Non muslim asli adalah seseorang yang sejak kecil belum
pernah masuk islam. Sedangkan non muslim yang bukan asli alias murtad,
apabila ia masuk Islam kembali maka diwajibkan mengqadla' puasa yang ia
tinggalkan pada waktu murtad.
2.
Mukallaf
Yaitu orang yang berakal
dan telah mencapai batas usia baligh. Tidak diwajibkan berpuasa bagi anak
kecil, orang gila, epilepsi, dan orang yang hilang akal karena mabuk. Namun
puasanya anak kecil dihukumi sah, dikarenakan syarat baligh bukanlah merupakan
syarat sah puasa, akan tetapi hanya sebagai syarat wajib puasa. Berbeda dengan
puasanya orang gila atau epilepsi, dan orang yang hilang akal karena
mengkonsumsi minuman keras yang hukumnya tidak sah, walaupun dalam kewajiban
mengqodlo' puasa bagi mereka masih ada perincian yang akan dijelaskan
dalam bab qodlo' puasa. Insya Allah.
Catatan:
Anak kecil diperintahkan
untuk berpuasa ketika telah mencapai usia genap 7 tahun, dan dipukul karena
tidak berpuasa ketika telah genap berumur 10 tahun sebagaimana hukum dalam
shalatnya.
Jika terdapat anak kecil
yang mencapai usia baligh di siang hari dalam keadaan berpuasa maka ia wajib
meneruskan puasanya dan tidak wajib mengqodlo' puasa untuk hari
tersebut.
3.
Mampu Berpuasa
Puasa diwajibkan bagi
orang yang mampu melaksanakannya, baik mampu secara fisik maupun secara syar'i.
Oleh sebab itu, tidak wajib berpuasa bagi orang-orang yang tidak mampu
melaksanakannya, baik dikarenakan faktor fisik, seperti orang yang sudah tua
(manula), orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya atau penyakitnya
akan bertambah parah sehingga menyebabkan matinya atau hilangnya fungsi anggota
tubuh jikalau ia berpuasa, maupun dikarenakan faktor syar'i, seperti wanita
haidl dan wanita nifas.
1.
Orang yang sudah tua renta (manula)
2.
Orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya atau akan semakin
parah sakitnya jika ia berpuasa (sakit yang memperbolehkan tayammum)
Catatan:
a)
Sakit yang memperbolehkan tayammum adalah sakit yang dikhawatirkan akan
bertambah parah, atau lama dalam masa penyembuhannya, atau berpotensi akan
menimbulkan bekas luka dan aib, atau menyebabkan kematian ataupun hilangnya
fungsi anggota badan. Dengan catatan, semua itu telah dikonfirmasikan terlebih
dahulu kepada seorang dokter ahli yang dapat dipercaya.
b)
Bagi orang yang bekerja berat di siang hari tetap diwajibkan niat puasa
di malam hari. Jika ia memaksakan diri untuk meneruskan puasa pada saat bekerja
sehingga dapat menimbulkan dampak yang fatal yang dapat memperbolehkan
tayammum, maka diperbolehkan bahkan wajib baginya untuk membatalkan puasa.
Dalil orang tua dan orang sakit yang di
perbolehkan tidak puasa adalah:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ
مِنْ حَرَجٍ
Artinya:
"Dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu
kesempitan." (QS. Al-Haj:78)
3. Musafir
Yang
dimaksud musafir di
sini adalah orang
yang melakukan perjalanan jauh
yang telah mencapai jarak diperbolehkan meng-qashar shalat dan mengawali
perjalanannya sebelum fajar. Jika ia berpuasa tidak merepotkannya, maka yang afdhal
baginya adalah berpuasa.
Puasa seseorang bisa
dinilai sah apabila telah memenuhi empat syarat sah puasa, yaitu:
1.
Islam
Jika di saat melakukan
puasa seseorang murtad walaupun sebentar, maka puasanya batal.
2.
Berakal
Puasa dapat dihukumi sah
jika dilakukan oleh orang yang berakal, baik telah mencapai batas baligh maupun
belum. Sehingga, puasa yang dilakukan anak kecil yang sudah tamyiz tetap
dihukumi sah meskipun ia tidak wajib puasa. Jika di tengah melakukan puasa
seseorang gila walaupun sebentar, puasanya dihukumi batal. Seseorang yang
epilepsi dalam waktu sebentar, puasanya dihukumi sah.
3.
Tidak haidl, nifas, atau melahirkan
Jika di tengah-tengah
melakukan puasa seorang wanita haidh, nifas, walaupun sebentar atau melahirkan,
maka puasanya tidak sah.
4.
Dilaksanakan di hari-hari yang Diperbolehkan Puasa
Puasa dihukumi sah jika
dilakukan di hari-hari yang diperbolehkan untuk berpuasa. Ada
lima hari yang
diharamkan berpuasa, yaitu: Hari raya Idul Fitri, Hari raya Idul Adha, dan hari
tasyriq, yaitu hari tanggal 11, 12,dan 13 Dzul Hijjah.
Dalil keharaman berpuasa pada hari raya Idul Fitri
Idul Adha adalah:
نَهَى
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ
الْفِطْرِ وَيَوْمِ اْلأَضْحَى
Artinya:
"Rasulullah saw melarang
berpuasa di dua hari, yaitu hari raya Idul Fithri dan hari raya Idul
Adlha." (HR. Bukhari &
Muslim)
Sedangkan dalil keharaman puasa di hari-hari
tasyriq adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim yang berupa:
أَيَّامُ
مِنًى أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللهِ تَعَالَى
Artinya:
"Sesungguhnya hari-hari mina (hari tasyrik) adalah hari-hari (yang
diperbolehkan) makan dan minum serta (hari-hari untuk) berzikir kepada Allah
ta’ala". (HR. Muslim)
Ditinjau dari segi hukum,
puasa memiliki empat hukum, yaitu wajib, sunnah, makruh, dan haram.
Puasa Wajib
Meliputi puasa Ramadhan,
puasa qadha, puasa nazar, dan puasa kafarat.
Puasa Sunnah
Puasa-puasa sunnah di
antaranya adalah:
a.
Puasa Senin Kamis
Puasa ini disunnahkan
karena Nabi Muhammad saw sangat memperhatikannya. Beliau bersabda:
تُعْرَضُ
اْلأَعْمَالُ يَوْمَ اْلإثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي
وَأَنَا صَائِمٌ
Artinya:
"Amal-amal disampaikan (kepada Allah) pada hari Senin dan Kamis. Maka aku
suka amalku disampaikan sementara aku dalam keadaan berpuasa." (HR. at-Turmudzi dan lainnya)
b.
Puasa 'Arafah (tanggal 9 Dzul Hijjah)
c.
Puasa 'Asyura (tanggal 10 Muharram)
Puasa 'Arafah dan
'Asyura disunnahkan karena kedua puasa tersebut dapat melebur dosa-dosa kecil
yang dilakukan pada tahun sebelumnya dan sesudahnya, sebagaimana hadits Nabi
saw:
صِيَامُ
يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي
قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ
عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Artinya: "Puasa
di hari 'Arafah, aku memohon pahala kepada Allah agar melebur (dosa-dosa kecil)
tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya, dan puasa di hari 'Asyura, aku memohon
pahala kepada Allah agar melebur (dosa-dosa kecil) tahun sebelumnya." (HR. Muslim)
d.
Puasa Tasu'a (tanggal 9 Muharam)
Dalil kesunahan puasa
Tasu'a adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi saw
bersabda:
لَئِنْ
بَقِيتُ إلَى قَابِلٍ َلأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
Artinya:"Seandainya
aku masih tetap (hidup) sampai tahun depan, maka niscaya aku akan puasa pada
tanggal sembilan (dari bulan Muharram)." (HR. Muslim)
e.
Puasa Enam hari di bulan Syawwal
Yang lebih afdhal dari puasa enam
hari di bulan Syawwal adalah terus menerus (tidak terputus-putus). Sedangkan
dalil disunnahkannya puasa enam hari tersebut adalah hadits:
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Artinya: "Barang
siapa puasa Ramadhan kemudian melanjutkannya dengan (puasa) enam hari dari
bulan Sya'ban, maka puasanya itu seperti puasa setahun." (HR. Muslim)
f.
Puasa Ayyam al-Bidh
Ayyam al-Bidh adalah hari-hari tanggal 13, 14 dan 15 bulan-bulan
hijriyyah. Dalil disunnahkannya puasa pada hari-hari tersebut adalah atsar
dari Abu Dzarr yang diriwayatkan oleh al-Nasa'i dan Ibnu Hibban berupa:
قَالَ
أَبُو ذَرٍّ أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
نَصُومَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ الْبِيضِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ
عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
Artinya:"Abu
Dzarr berkata: "Rasulullah saw memerintahkan kepada kami untuk berpuasa
tiga hari yang terang (oleh sinar rembulan) dari (tiap-tiap) bulan, yaitu
tanggal 13, 14 dan 15." (HR.
al-Nasa'i dan Ibnu Hibban)
Selain puasa sunnah di
atas, masih banyak lagi puasa-puasa sunnah lainnya yang bisa diketahui dalam
berbagai kitab fiqh.
Puasa Makruh
a.
Puasa menahun (shoum ad-dahr) pada selain hari-hari
diharamkannya puasa. Hukum makruh puasa ini apabila memang khawatir adanya efek
negatif, ataupun tertinggalnya ibadah sunah. Oleh sebab itu, apabila tidak ada
kekhawatiran akan hal-hal tersebut maka disunahkan untuk melakukannya,
berdasarkan hadits:
مَنْ
صَامَ الدَّهْرَ ضُيِّقَتْ عَلَيْهِ جَهَنَّمُ هَكَذَا وَعقَدَ تِسْعِيْنَ
Artinya: “Barang siapa
berpuasa menahun, maka neraka jahanam akan disempitkan baginya sebanyak sekian
(beliau Nabi saw isyarat bilangan 90 dengan jarinya.” (HR. Al-Baihaqi)
b. Mengkhususkan puasa hari jum'at,
atau sabtu, ataupun ahad, sesuai hadits:
لاَ
يَصُمْ أَحَدَكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ أَنْ يَصُوْمَ قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا
بَعْدَهُ
Artinya: “Janganlah
salah satu dari kalian berpuasa pada hari jum’at, terkecuali dirinya berpuasa
hari sebelumnya atau sesudahnya.” (HR.
Bukhori-Muslim)
Begitu pula hadits:
لاَ
تَصُوْمُوْا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ
Artinya: “Janganlah
engkau sekalian berpuasa pada hari sabtu terkecuali puasa fardlu.” (HR. Tirmidzi)
Sebab,
sabtu adalah hari sakral bagi orang yahudi dan ahad adalah hari sakral
bagi orang . Maka umat Islam dianjurkan berbeda dengan mereka. Sementara
apabila seseorang telah mempunyai kebiasaan berpuasa atau menyertakan hari
sebelumnya ataupun sesudahnya maka puasa hari sabtu dan ahad tidak dihukumi
makruh.
Puasa Haram
Yaitu puasa yang dilakukan di hari-hari
yang diharamkan berpuasa. Termasuk diantaranya ialah puasa pada paruh kedua
bulan Sya'ban apabila tidak disambung puasa hari sebelumnya, dan puasa sunah
seorang istri yang tidak mendapat restu dari suaminya, terkecuali seperti puasa
hari 'Asyuro dan 'Arofah yang hanya terdapat sekali dalam setahun. Apabila ada
faktor yang menghalangi suami atau istri untuk bercumbu, seperti ihromnya suami
dan kepergian suami ke luar kota
dalam waktu yang lama, maka tidak diharamkan bagi istri berpuasa.
Dalam berpuasa, ada
beberapa hal yang disunnahkan, di antaranya adalah:
1.
Menjelang masuknya bulan Ramadhan membaca:
اللَّهُمَّ
سَلِّمْنِي لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِيْ وَسَلِّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلاً
Artinya: “Ya Allah berikanlah aku untuk Romadlon dan
berikanlah Romadlon untukku serta selamatkanlah ia dari amal burukku dan jadikanlah
ia sebagai amal ibadah yang diterima.”
2.
Mandi dari hadats besar sebelum fajar bagi orang yang sedang dalam
keadaan junub. Hal ini disunnahkan agar bisa menjalankan puasa dalam keadaan
suci dan terhindar dari masuknya air ke dalam tubuh jikalau mandi di siang
hari.
3.
Sahur dan mengakhirkannya, berdasarkan hadits:
عَنْ
أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَحَّرُوا
فَإنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
Artinya: "Dari
Anas, beliau berkata: Rasulullah saw bersabda, "Sahurlah kalian semua,
karena sesungguhnya di dalam sahur terdapat berkah." (HR. Bukhari & Muslim)
Nabi Muhammad juga bersabda:
لاَ
تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا دَامَ عَجَّلُوا الْفِطْرَ وَأَخَّرُوا السَّحُورَ
Artinya: "Umatku
tiada henti-hentinya melakukan kebaikan selama mereka segera berbuka puasa dan
mengakhirkan sahur." (HR. Imam
Ahmad)
Jika seseorang ragu-ragu
apakah fajar telah keluar, maka yang afdhal adalah tidak sahur.
4.
Segera berbuka dengan kurma jika matahari telah terbenam secara jelas.
Jika tidak memiliki kurma maka berbuka dengan menggunakan air. Hal ini sesuai
dengan hadits yang berbunyi:
عَنْ
سَهْلٍ بْنِِ سَعْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
Artinya:"Dari Sahl bin Sa'd Ra, bahwa Rasulullah saw
bersabda: "Manusia senantiasa melakukan kebaikan selama mereka segera
berbuka puasa." (HR. Bukhari
& Muslim)
5.
Setelah berbuka puasa, hendaknya membaca doa:
اللَّهُمَّ
إنِّي لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ
تَوَكَّلْتُ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إنْ
شَاءَ اللهُ تَعَالَى يَا وَاسِعَ الْفَضْلِ اغْفِرْ لِي الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي
هَدَانِي فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ
Artinya: "Ya Allah sesungguhnya aku berpuasa demi Engkau.
Dan atas rezekiMu aku berbuka dan hanya kepadaMu aku beriman dan hanya kepadaMu
aku berserah diri. Telah hilang dahaga dan telah basah otot-otot. Semoga
mendapat pahala, insya Allah Ta'ala. Wahai Dzat yang Maha Luas anugerahNya,
segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah padaku sehingga aku bisa
berpuasa dan yang telah memberiku rezeki sehingga aku bisa berbuka."
6.
Tidak bersiwak setelah condongnya matahari ke arah barat (zawal).
7.
Hendaknya menjaga diri dari segala macam perbuatan yang tidak
membatalkan puasa namun bisa melebur pahala puasa, seperti membicarakan orang
lain dan berkata dusta. Sedangkan menjaga diri dari segala jenis kesenangan
yang dapat membatalkan puasa hukumnya adalah wajib. Dalam salah satu hadits
Nabi disebutkan:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ
لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ
يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Artinya: "Dari Abu Hurairah, beliau berkata: Nabi saw
bersabda, "Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan
dusta maka bagi Allah tidak memiliki kepentingan (hak) dalam meninggalkan
makanan dan minumannya orang tersebut." (HR. Bukhari)
8.
Menjauhi perbuatan yang dapat membangkitkan gairah seksual seperti
bercumbu.
9.
Membaca al-Qur'an terutama pada waktu malam hari. Termasuk di dalamnya
adalah budaya tadarrus al-Qur'an. Namun yang hendaknya diperhatikan dalam
tadarrus al-Qur'an adalah penghayatan kandungan makna dari ayat-ayat yang
dibaca.
10.
Memperbanyak sedekah kepada keluarga, famili, kerabat, atau tetangga di
sekitarnya, terutama kepada fakir miskin.
11.
Tidak mencicipi makanan karena dikhawatirkan masuknya sesuatu ke dalam
tenggorokan atau perut.
12.
Tidak mengunyah karena mengunyah bisa mengumpulkan air liur. Kalau air
liur tersebut dibuang maka bisa membuat haus. Jika air liur tersebut ditelan
maka akan membatalkan puasa menurut satu qaul.
13.
Tidak melakukan bekam (Jawa: canthuk), karena dapat melemahkan
fisik orang yang berpuasa.
14.
Iktikaf (berdiam diri di dalam masjid), terutama pada sepuluh hari yang
akhir dari bulan Ramadhan, sebab Nabi selalu melakukannya.
Ketika berpuasa, ada
beberapa hal yang dimakruhkan, di antaranya adalah:
1.
Berlebihan (mubalaghah) ketika berkumur (madhmadhah)
2.
Mencicipi makanan, dengan tanpa ditelan
3.
Bersiwak setelah condongnya matahari ke arah barat (zawal).
Melakukan kegiatan yang
dapat menimbulkan gairah seksual, seperti bercumbu, meraba, dan sebagainya.
Hal-hal yang dapat
membatalkan puasa adalah:
1.
Masuknya benda ke bagian dalam tubuh secara sengaja. Jika sesorang
wudlu dan berkumur secara berlebihan (mubalaghah) sehingga menyebabkan
masuknya air ke dalam tubuh, maka puasanya batal. Jika tidak berlebihan, maka
puasanya tidak batal. Berbeda dengan masuknya lalat, nyamuk, debu yang
beterbangan atau hamburan tepung yang masuk ke rongga tubuh, maka tidak
membatalkan puasa sebab sulit dihindari. Jika seseorang makan atau minum di
siang hari pada bulan Ramadhan karena lupa, maka puasanya tetap sah berdasarkan
hadits:
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ
صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ
وَسَقَاهُ
Artinya: "Barang
siapa lupa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, kemudian ia makan atau minum,
maka hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah telah memberikan
makanan dan minuman kepadanya." (HR.
Bukhari & Muslim)
2.
Muntah yang disengaja. Jika seseorang muntah tanpa disengaja, maka
puasanya tidak batal.
3.
Bersetubuh atau jima'. Jika seseorang bersetubuh di siang hari
pada bulan Ramadhan karena lupa, maka puasanya tetap sah, sama seperti makan
dan minum.
4.
Keluarnya sperma (mani) disebabkan masturbasi, menyentuh, bercumbu, dan
semisalnya. Sementara keluarnya sperma (mani) disebabkan menghayal, memandang
dengan syahwat, atau mimpi, tidak menyebabkan puasa yang dilakukan seseorang
batal.
5.
Gila, meskipun hanya sebentar.
6.
Epilepsi atau ayan sepanjang hari.
7.
Berbuka puasa sebelum masuk waktu maghrib.
8.
Murtad (keluar dari agama Islam, baik karena ucapan, perbuatan, ataupun
iktikad), meskipun hanya sebentar.
9.
Haidh atau nifas, meskipun hanya sebentar.
10.
Melahirkan anak.
Dalam puasa yang
ditinggalkan, ada yang hanya cukup diqadha, ada pula yang selain wajib
diqadha, juga wajib dibayar fidyah atau kafaratnya. Fidyah
bisa dilakukan dengan memberikan satu mud (kurang lebih 7 ons) dari
jenis makanan yang digunakan sebagai zakat fitrah kepada fakir miskin sebanyak
jumlah hari yang ditinggalkan puasanya. Sedangkan kafarat adalah
memerdekakan seorang budak laki-laki atau wanita yang beragama islam dan tidak
mempunyai cacat yang dapat megganggu aktifitas pekerjaannya. Seseorang yang
tidak mampu memerdekakan budak tersebut, maka ia harus berpuasa selama dua
bulan berturut-turut, dan jika ia tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut
maka ia harus memberikan makanan kepada 60 orang miskin yang masing-masing
orang miskin tersebut mendapatkan satu mud. Kafarat wajib
ditunaikan apabila sengaja membatalkan puasa dengan cara bersenggama, dan
kewajiban pelaksanaan kafarat tersebut hanya dibebankan pada suami.
Berikut ini keterangan lanjutannya;
1.
Orang-orang yang Wajib Mengqadha Puasa
a.
Orang yang batal
atau tidak berpuasa,
baik karena udzur (sakit
atau bepergian) atau
tidak, selain karena gila atau mabuk yang bukan karena ceroboh.
b.
Orang yang batal puasanya karena ceroboh.
c.
Wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa karena khawatir terhadap
kesehatan dirinya saja atau dengan anaknya.
d.
Orang murtad. Berbeda dengan non muslim asli yang tidak wajib mengqodloi
puasa yang ditinggalkannya.
2.
Orang yang Wajib Mengqadha Puasa dan Bayar Fidyah
a.
Wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa karena hanya khawatir
terhadap kesehatan anaknya.
b.
Orang yang tidak berpuasa karena menyelamatkan orang lain yang hampir
mati.
Orang yang menunda qadha
puasa Ramadhan padahal dirinya mampu sehingga masuk bulan Ramadhan berikutnya. Ukuran
fidyah adalah satu mud untuk satu hari (+ 7 ons. beras).
Jumlah fidyah yang harus dikeluarkan sesuai puasa yang ditinggalkan dan
akan berlipat ganda sesuai jumlah bulan Romadlan yang terlewati.
3.
Orang yang Wajib Mengqadha Puasa dan Bayar Kafarat
Orang yang sedang
berpuasa dan sengaja membatalkannya dengan bersetubuh serta dirinya tidak
mendapatkan keringanan untuk membatalkan puasa.
4.
Orang yang wajib Bayar Fidyah ( tidak Qadha)
a.
Orang yang tidak mampu berpuasa karena sudah tua ( lanjut usia) dan
bagi orang sakit yang sudah tidak ada harapan sembuh.
b.
Orang yang menunda qadha puasa Ramadhan dikarenakan udzur
sehingga masuk bulan Ramadhan berikutnya. Jumlah fidyah yang harus
dikeluarkan sesuai puasa yang ditinggalkan dan akan berlipat ganda sesuai
jumlah bulan Romadlan yang terlewati.
c.
Orang yang menunda qadha puasa Ramadhan padahal dirinya mampu
sehingga masuk bulan Ramadhan berikutnya., kemudian ia meninggal dunia, ataupun
orang yang meninggalkan puasa Romadlon tanpa ada udzur dan meninggal dunia
sebelum dirinya sempat mengqodloinya. Fidyah yang harus
dikeluarkan adalah dua mud (satu mud untuk puasa yang
ditinggalkan, dan satu mud untuk menunda qadha) yang diambil dari
harta peninggalannya.
Catatan:
Fidyah hanya
dialokasikan kepada fakir
miskin. Diperbolehkan
memberikan beberapa mud
fidyah hanya kepada seorang fakir atau miskin.
[1] Fathul qorib
bi hamisy al Bajuri. Vol. I hal. 287
[2] Al-Jami'u
as-Shoghir. Vol. I hal. 286
[3] Kanzu
ar-Roghibin. Vol. II hal. 78
[4] Nuzhatul
majalis I/150
[5] Hasyiyah al
Qulyubi Vol.II Hal. 52 Toha Putra
[6] Kanzu al
Roghibin/Al Mahally Vol. II hal. 52
[7] Fathul qorib
dalam hamisy Hasyiyah al Bajuri Vol. I Hal. 299 Toha Putra
[8] Hasyiyah al
Bajuri Vol. I Hal. 287
[9] lihat
diantaranya I’natuth Tholibin Ha., 306 Darul fikri
[10] Al Mahalli
Vol. II Hal. 61
[11] Al Mahalli
Vol. II Hal. 62
[12] Fathul qorib
& Hasyiyah al Bajuri Vol. I Hal. 290
[13] Al Mahalli
Vol. II Hal. 65
No comments:
Post a Comment