الْكَلاَمُ وَمَا يَتَأَلَّفُ مِنْهُ
KALAM
DAN YANG DIGUNAKAN MENYUSUN KALAM
كَلامُنَا لَفْظٌ مُفِيدٌ كاسْتَقِمْ
وَاسْمٌ وَفِعْلٌ ثُمَّ حَرْفٌ الْكَلِمْ
وَاحِدُهُ
كَلِمَةٌ والقَوْلُ عَمّْ وَكِلْمَةٌ بِهَا كَلاَمٌ قَدْ يُؤَمّْ
v Kalam menurut ulama Nahwu adalah lafadz yang
berfaidah dan yang tersusun seperti lafadz اِسْتَقِمْ , sedang kalim itu ada tiga macam yaitu, isim, fiil dan huruf.
v Satu persatu dari kalim itu dinamakan kalimah.
Sedang Qoul itu mencakup semuanya (mencakup kalam, kalim dan kalimah). Kalimah
itu terkadang disengaja diucapkan dari kalam.
KETERANGAN BAIT
NADZAM
1.
PENGERTIAN KALAM
Kalam sacara bahasa adalah lafadz yang dicetak untuk
memberikan sebuah makna , baik berfaidah ataupun tidak. Sedangkan secara
istilah adalah :
هُوَ لَفْظٌ مُفِيْدٌ مُرَكَّبُ
Yaitu lafadz yang berfaidah dan tersusun.
Contoh :
زَيْدٌ قَائِمٌ Zaid berdiri
اِسْتَقِمْ Berdirilah.
Lafadz ini tersusun karena menyimpan dlomir tersimpan.
Armuradie
berkata : Dalam syarah tashilnya disebutkan bahwa didalam kalam juga
disyaratkan haruslah diungkapkan oleh satu orang. Oleh karenanya . syarat tersebut mengecualikan jika ada dua
orang lelaki yang satu mengungkapkan lafadz yang menjadi mubtada’ dan yang
satunya khabar , maka yang semacam ini tidaklah disebut kalam.[1]
Kalam
menurut ahli nahwu harus memenuhi tiga
item sebagai berikut :
1) Lafadz
هُوَ الصَّوْتُ الْمُشْتَمِلُ عَلَى
بَعْضِ الْحُرُوْفِ
Yaitu
yang mengandung sebagian huruf hijaiyah.
Ada
kalanya yang hakikat seperti lafadz زَيْدٌ dan ada yang taqdir seperti dlomir
mustatir.
Perkara
yang tidak mengandung huruf hijaiyah seperti tulisan isyarah dan lain-lain yang
menurut istilah bahasa dinamakan kalam, tidak bisa dinamakan lafadz menurut ulama
Nahwu.[2]
· Pembagian Lafadz[3]
a. Lafadz Muhmal (مُهْمَلٌ)
Yaitu
lafadz yang yang oleh Wadli’ul Lughot (peletak bahasa) tidak digunakan
untuk menunjukkan makna.
Seperti
: lafadz دَيْزٌ kebalikannya lafadz
زَيْدٌ
b. Lafadz Musta’mal
Yaitu
lafadz yang oleh Wadli’ul lughot digunakan untuk menunjukkan makna.
Seperti
: lafadz زَيْدٌ
a. Lafadz Mufrod
Yaitu lafadz yang juz (bagian) dari lafadznya tidak bisa
menunjukkan juz maknanya.
Seperti : lafadz زَيْدٌ
b. Lafadz Murokkab[5]
Yaitu lafadz yang juz dari lafadz itu tidak bisa
menunjukkan makna, sedang jika melihat dari sisi yang lain bisa menunjukkan
makna.
Seperti : lafadz عَبْدُ اللهِ (nama orang)
Lafadz ini jika ditinjau dari segi Alamiah (sebagai
nama) maka juz lafadznya, seperti lafadz
عَبْدٌ tidak bisa menunjukkan juz maknanya (seperti tangan dan
lain-lain). Namun jika dilihat dari sisi idhofah maka masing-masing dari lafadz
عَبْدٌ dan lafadz اللهُ
menunjukkan makna.
c. Lafadz Muallaf
Yaitu
lafadz yang juz-juz dari lafadz bisa menunjukkan Madlul lain dari semua sudut
pandang.
Tabel
Pembagian Lafadz
No
|
Jenis
|
Devinisi
|
Contoh
|
1.
|
Muhmal
|
setiap lafadz yang dibentuk
oleh wadhi' al lughot (pembuat bahasa; masyarakat) tidak untuk menunjukkan sebuah makna
|
دَيْزٌ yang merupakan kebalikan
dari lafadz زَيْدٌ
|
2.
|
Musta’mal
|
lafadz yang yang dibentuk
oleh wadhi' al lughot (pembuat bahasa; masyarakat) dalam rangka untuk menunjukkan sebuah makna
|
زَيْدٌ menunjukkan orang
yang bernama zaid مَسْجِدٌ
Menunjukkan
suatu bangunan tertentu yang khusus
digunakan untuk beribadah.
|
1.Lafadz mufrod
|
Sebuah lafadz dimana juz
(bagian)dari keseluruhan lafadznya tidak dapat menunjukkan bagian dari keseluruhan maknanya
|
زَيْدٌ
dimana
bagian dari totalitas lafadznya
misalnya huruf Za’ maka tidak dapat menunjukan terhadap bagian dari keseluruhan maknanya misalnya tangan zaid .
|
|
2.lafadz murokkab
|
Sebuah lafadz dimana juz
(bagian)dari keseluruhan lafadznya dapat menunjukkan bagian dari keseluruhan
maknanya
|
عَبْدُ اللّهِ (nama orang) Meskipun lafadz
ini ditinjau dari sisi alam (dijadikan nama) maka
bagian dari totalitas lafadznya (
lafadz (عَبْدٌ tidak dapat menunjukkan bagian dari keseluruhan maknanya (seperti
tangan , kaki dan lain –lain) namun
jika dilihat dari sisi mudhof dan
mudhof ilaih maka menunjukkan makna
|
|
3.Lafadz Muallaf
|
lafadz yang setiap bagianya
dapat menunjukkan madlul (perkara yang terkandung oleh dilalah
lafadz)
|
زَيْدٌ قَائِمٌ zaid adalah orang yang berdiri,
dimana masing-masing dari lafadz زَيْد dan قَائِمdapat menunjukan bagian
dari arti keselurahan (berdirinya zaid)
|
2) Al Mufid ( الْمُفِيْدُ )
هُوَالْمُفْهِمُ مَعْنًى يَحْسُنُ
السُّكُوْتُ عَلَيْهِ بِحَيْثُ لاَيَبْقَى لِلسَّامِعِ انْتِظَارُ مُقَيَّدٌ بِهِ
Yaitu
memberi kefahaman pada makna yang diamnya mutakallim (pembicara) dan sami’
(pendengar) dianggap bagus, sekira sami’ sudah tidak menunggu yang diqoyyidi
(ditentukan dengan menunggu yang sempurna)[6]
Contoh : قَامَ زَيْدٌ Zaid berdiri.
Dari definisi diatas, maka fi’il muta’adi
yang sudah menyebutkan failnya, tapi belum ada maf’ul bihnya bisa dinamakan
mufid dan kalam, karena hanya menunggu sebentar kelanjutannya ucapan
mutakallim, tidak seperti lama (sempurna) nya menunggu ketika fiil belum
menyebut fail, mubtada’ belum
menyebutkan khobar dan jumlah syartiyah belum menyebutkan jawabnya.
Menurut qoul rajih faidah
dalam kalam tidak disyaratkan Tajaddudul faidah (berupa
faidah yang baru).
Seperti : النَّارُ حَارَّ Api itu panas
السَّمَاءُ فَوْقُنَا Langit
itu diatas kita
Walaupun sami’ sudah memahami maknanya,
kedua contoh tersebut dinamakan Kalam, karena bila tajaddul faidah
disyaratkan, maka akan menimbulkan suatu susunan kalimah dinamakan kalam jika
sami’nya belum mengerti dan tidak dinamakan kalam bila sami’nya sudah mengerti,
sedang yang dilihat adalah dzatiahnya lafadz sudah bisa memberi faidah, bukan
melihat sami’nya.[7]
3) Al-Murokkab (الْمُرَكَّبُ )
هُوَ مَاتَرَكَّبَ مِنْ كَلِمَتَيْنِ
فَأَكْثَرَ تَرْكِيْبًا إِسْنَادِيًّا
Yaitu
lafadz yang tersusun dari dua kalilmah atau lebih dengan susunan isnadi
(penisbatan/penyandaran hukum yang menjadi kesempurnaan faidah)[8]
Contoh : قَامَ زَيْدٌ Zaid
telah berdiri
هَذَا زَيْدٌ Ini Zaid
اِسْتَقِمْ Berdirilah
(kamu seorang lelaki)
Murokkab yang menjadi persyaratan
kalam harus berupa susunan isnadi, maka mengecualikan tarkib idhofi, tarkib
mazji, tarkib taushifi dan tarkib taqyidi.
Tiga syarat diatas yaitu lafadz, mufid
dan murokkab harus kumpul didalam kalam. Ucapan Imam Ibnu Malik اِسْتَقِمْ memberikan isyarah bahwa ilmu tidak akan berhasil kecuali
dengan istiqomah dan taqwa.
TANBIH !!!
Masih ada satu syarat lagi yang tidak disebutkan kyai nadhim
dari kitab asalnya , yaitu
syarat keempat yang berupa wadha’
. maksud dari wadla’ adalah :
جَعْلُ
اللَّفْظِ دَلِيْلاً عَلَى الْمَعْنَى
“Yaitu menjadikan lafadz agar menunjukkan suatu makna ( pengertian )”
Dan
pembicaraannya disengaja serta
dengan mengunakan bahasa Arab , jadi ucapan orang mengigau ,
ucapan berbahasa selain arab , tidak
termasuk wadho’ menurut ahli nahwu.
2. PENGERTIAN KALIM (الْكَلِمْ)
Kalim adalam jama’ dari kalimah. Maksudnya kalim sendiri adalah
kalam manusia . Pengertian kalim secara istilah nahwu adalah :
مَاتَرَكَّبَ مِنْ ثَلاَثِ كَلِمَاتٍ فَأَكْثَرَ
Yaitu lafadz yang tersusun dari 3 kalimah atau lebih
Contoh : إِنْ قَامَ زَيْدٌ (kalimah
huruf, fiil dan isim)
هَذَا رَجَلٌ قَائِمٌ (berkumpul
tiga isim)
فَعَلَ، ضَرَبَ، نَصَرَ (berkumpul tiga fiil)
فِى، قَدْ، لَنْ (berkumpul tiga huruf)
Kumpulnya tiga kalimah atau lebih, baik
semuanya berupa isim atau fiil atau huruf atau campuran, berfaidah atau tidak
dinamakan Kalim, karena kalim adalah jama’ mufrod kalimah.
Orang yang pertama kali membagi komponen kalim seperti
diatas dan menamakannya kalim adalah
sahabat Ali R.A .[9]
3.
PENGERTIAN KALIMAH
Pengertian
dari kalimat adalah :[10]
هِيَ اللَّفْظُ الْمَوْضُوْعُ لِمَعْنًى مُفْرَدٍ
Yaitu lafadz yang dicetak untuk menunjukkan pada makna mufrod
Dari
definisi tersebut, mengecualikan lafadz yang tidak punya makna seperti lafadz
yang muhmal ( contoh lafadz( ديز dan mengecualikan lafadz yang murokkab dan lafadz yang
menunjukkan makna tidak secara wadlo’, tapi secara thobi’i (kewatakan) seperti
suara اخ dari orang yang tidur, yang menunjukkan makna tidur
sangat terlelap dan orang batuk yang bersuara اخ yang menunjukkan makna sakit pada dada.[11]
4.
PEMBAGIAN KALIMAH
Kalimah
terbagi menjadi tiga ; kalimah isim. fi’il
dan huruf . Berikut keterangan masing-masing dari pembagian kalimah :
a) Kalimah Isim
هُوَ كَلِمَةٌ دّلَّتْ عَلَى مَعْنَى
فِى نَفْسِهَا وَلَمْ تَقْتَرِنْ بِزَمَانٍ وَضْعًا
Yaitu
kalimah yang menunjukkan makna dengan sendirinya (tanpa membutuhkan lafadz
lain) dan tidak disertai zaman secara wadlo’
·
أَمْسِ (maknanya kemarin)
karena
lafadz ini menunjukkan
makna yang berupa zaman bukan zamannya yang menyertai makna
aslinya.
·
أَلصًّبُوْح ( minum
di pagi hari)
·
أَلْغَبُوْقُ ( minum di akhir hari )
·
أَلْقِيْلُ ( minum
disiang hari )
Tiga
lafadz ini tetap isim ,
karena walaupun menunjukkan makna disertai
zaman , namun zaman yang menyertainya bersifat mutlaq
, tidak diketahui apakah
itu zaman madhi , hal atau
istiqbal.
·
Isim fail
dan isim Maf’ul
Dua isim
ini disertai dengan zaman tapi
tidak secara wadho’ ( sejak asal cetaknya ) melainkan
dengan cara yang luzum ( bahwa makna
pekerjaan yang ada padanya ,
tentu harus ada zamannya ).
b) Kalimah Fiil
هُوَ كَلِمَةٌ دَلَّتْ عَلَى مَعْنَى
فِى نَفْسِهَا مُقْتَرِنَةٌ بأَحَدِ الْأَزْمِنَةِ الثَّلاَثَةِ وَضْعًا
Yaitu
kalimah yang menunjukkan dengan sendirinya dengan disertai salah satu dari tiga
zaman (zaman madli, hal atau istiqbal) secara wadlo’.
Contoh
:
·
كَتَبَ : Sudah menulis
Lafadz ini menunjukkan
makna pekerjaan dan disertai zaman madli, maka dinamakan fiil madli
·
يَكْتُبُ : Sedang / akan menulis
Lafadz ini menunjukkan makna
pekerjaan dan disertai zaman hal atau zaman itiqbal, maka dinamakan fiil
mudlori’
·
أَكْتُبْ : Menulislah
Lafadz
ini menunjukkan arti pekerjaan yang disertai zaman hal dengan memandang insya’nya
(perintah) dan zaman istiqbal dengan melihat wujudnya pekerjaan, dan dinamakan
fiil amar.
c) Kalimah Huruf
هُوَ كَلِمَةٌ دَلَّتْ عَلَى مَعْنَى
فِى غَيْرِ هَا وَلَمْ تَقْتَرِنْ بِزَمَانٍ
Yaitu
makna yang menunjukkan makna dengan membutuhkan lafadz lain yang tidak disertai
zaman.
Semisal huruf مِنْ ,
lafadz ini bisa menunjukkan makna
ibtida’
( memulai ) bila digabungkan dengan lafadz lain . Contoh
سِرْتُ مِنَ الْحُجْرَةِ إِلَى الْمَسْجِدِ
Saya berjalan mulai dari
kamar sampai masjid
5. PENGERTIAN QOUL
Pengertian dari
Qoul adalah :
هُوَ لَفْظٌ قَدْ أَفَادَ مُطْلَقًا
Qoul yaitu
lafadz yang berfaidah ( mengandung makna ) secara mutlaq
( baik tersusun ataupun tidak ,
memberikan pengertian dengan sempurna atau belum )
Dari
definisi tersebut,qoul lebih umum dibanding kalam, kalim,
dan kalimah, karena bisa mencangkup ketiganyaز
Contoh dari qoul adalah
lafadz :
o
قُمْ ( Berdirilah)
o
قَدْ ( Terkadang )
o
إِنَّ زَيْدًا إِرْتَقَى ( Zaid naik pada derajat luhur )
Bahkan bisa mencakup selain ketiganya. Seperti lafadz: غُلاَمُ زَيْدٌ
Lafadz
ini bukan kalimah karena tersusun, juga bukan kalam karena belum memberikan faidah,
juga bukan kalim karena hanya kumpulnya kalimah.[13]
6.
PENGUCAPAN KALIMAH UNTUK KALAM
Dalam gramatika
Arabiyyah banyak sekali pengucapan
kalimah untuk Kalam (jumlah yang berfaidah).
Contoh: لاَ اِ لهَ اِلاَّ الله diucapkan kalimah ikhlas akan tetapi dalam istilah Nahwu tetap
dinamakan kalam.
بِالْجَرِّ والتَّنْوِينِ وَالنِّدَا
وَأَلْ وَمُسْنَدٍ لِلاسْمِ تَمْيِيزٌ حَصَلْ
بِتَا
فَعَلْتَ وَأَتَتْ وَيَا افْعَلِى وَنُونِ
أَقْبِلَنَّ فِعْلٌ يَنْجَلِي
v
Kalimah isim itu ditandai dan bisa di bedakan kalimah
yang lain dengan lima perkara yaitu : 1. I’rob jar, 2.Tanwin, 3. Nida, 4. Masuknya 5. Isnad.
v Kalimah fiil itu bisa
dibedakan dari kalimah yang lain dengan beberapa tanda yaitu : 1. Ta’ Fa’il,
seperti فَعَلْتَ , 2. Ta’ Ta’nis As sakinah, seperti اَنْتَ, 3. Ya’ Fa’il (Ya’ Muannasah
Muhotobah), seperti اِفْعِلِيْ , 4. Nun Taukid, seperti اَقْبِلَنَّ
KETERANGAN BAIT NADZAM
1. TANDA-TANDA KALIMAH ISIM
Kalimah
isim itu memiliki 5 (empat) tanda , yaitu :
1. I’rob jar,
2.Tanwin,
3. Nida,
4. Masuknya
5. Isnad.
Berikut kejelasan setiap tanda-tanda dari kalimat isim
:
a) Tanwin
التَّنْوِيْنُ هُوَ نُوْنٌ سَاكِنَةٌ
تَتْبَعُ أخِرَ الإِسْمِ لَفْظًا وَتُفَا
رِقُهُ حَظَّ لِغَيْرِ تَوْكِيْدٍ
Tanwin yaitu nun mati yang bertemu dengan akhirnya
kalimah isim, yang wujud dalam pengucapan, namun tidak wujud dalam tulisan yang
tidak untuk taukid.[14]
Contoh : زَيْدٌ قَائِمٌ
·
Pembagian Tanwin
a. Tanwin Tamkin
Disebut juga tanwin shorfi’ dan tanwin amkaniyah , yaitu
tanwin yang bertemu
isim mu’rob yang munshorif , yang
berfaidah menunjukkan pada ringannya isim dan menunjukkan bahwa isim tersebut
menetapi pada keisimannya ( karena tidak serupa huruf
sehingga di mabnikan dan tidak serupa fiil
sehingga dicegah dari tanwin ) Contoh
: زَيْدٌ , رَجُلٌ .[15]
b. Tanwin Tankir
Yaitu
tanwin yang bertemu dengan isim-isim yang mabni, yang berfaidah untuk
membedakan antara ma’rifat dan nakirohnya
lafadz. Contoh :
جَاَءَ سِيْبَوَ يهٍ
Jika ha’ nya lafadz سِيْبَوَ يهٍ tidak ditanwin maka termasuk isim ma’rifat dan yang
dimaksud Sibaweh yang tertentu, seperti Imam Sibaleh ulama’ Nahwu, jika ha’ nya
ditanwin maka termasuk isim nakiroh dan yang dimaksud setiap orang yang bernama
Sibaweh.
c. Tanwin ‘Iwad
Yaitu
tanwin yang mengganti perkara lain. Tanwin ‘iwad
dibagi tiga yaitu:
1. ‘Iwad Anil Jumlah
Yaitu
tanwin lafadz إذْ , untuk mengganti jumlah setelahnya.
Contoh
: وَأَنْتُمْ حِيْنَئِذٍ تَنْظُرُوْنَ
(kamu
semua ketika sampainya ruh ditenggorokan itu sama memandang).
Tanwin
pada lafadz إِذْ itu mengganti jumlah إذْ بَلَغْتِ الرُّوْحُ الْقُوْمَ yang dibuang untuk meringkas (ihtishor) dan untuk
memperindah (tahsin)
2. ‘Iwad Anil Ismi
Yaitu
tanwin yang bertemu lafadz كُلّ dan sesama sebagai ganti dari
mudhof ilaih.
Contoh
: كُلِّ قَائِمٌ Asalnya كُلُّ النَّاسِ قَائِمٌ
بَعْضٌ
قَائِمٌ Asalnya بَعْضُ النَّاسِ قَائِمٌ
Kemudian
lafadz النَّاسِ dibuang dan diganti dengan tanwin.
3. ‘Iwad Anil Harfi
Yaitu
tanwin yang bertemu sesama lafadz جَوَارٍ dan غَوَاشٍ dalam tingkah rofa’ dan jar.
TANBIH
!!!
ü
Mengikuti qoul rojih yang mendahulukan i’lal dari tercegah tanwin (man’u shorfi). Kedua lafadz itu
asalnya جَوَارِيٌ dan غَوَاشِيٌ (dengan memakai ya’ dan tanwin), huruf
ya’ dimatikan karena berat menyandang
harokat dhomah, kemudian ya’ dibuang karena terjadi bertemunya dua huruf mati,
yaitu ya’ dan tanwin, maka menjadi جَوَارٌ (dengan masih adanya tanwin setelah ro’), dan sudah maklum
bahwa tanwin ini adalah tanwin tamkin / tanwin shorfi, sedang huruf ya’ yang
dibuang karena ada sebab itu hukumnya seperti
huruf yang masih tetap, selanjutnya karena wujudnya sighot muntahal jumu’ yang tidak
memperbolehkan berkumpul dengan tanwin shorfi, maka tanwinnya dibuang, maka menjadi جَوَارِ (tanpa tanwin), selanjutnya terjadi kekhawatiran jika
kasrohnya ro’ dibaca isba’ (panjang) akan menimbulkan huruf ya’ setelah di
buang, yang hal itu akan menimbulkan berat, maka ditambahkanlah tanwin
sebagai ganti dari ya’ yang dibuang dan tanwin yang wujud setelah pembuangan
tanwin ini adalah tanwin iwad maka menjadi جَوَارٍ
ü
Mengikuti qoul marjuh
Yang berpendapat bahwa tercegahnya tanwin itu didahulukan
dari i’lal. Kedua lafadz itu asalnya جَوَارِيْ dan غَوَاشِيْ (tanpa tanwin), ya’ di sukun karena berat menyandang harokat dhomah, kemudian didatangkan tanwin
sebagai ganti dari dhomah, maka menjadi جَوَارِي, kemudian ya’ dibuang karena bertemunya dua huruf yang
mati, menjadi جَوَارِ, jika mengikuti qoul ini maka tanwinnya adalah iwad dari
harokat dhomah yang didatangkan sebagai perantaraan membuang ya’, bukan tanwin
Iwad Anil Harfi.
4. Tanwin Muqobalah
Yaitu
tanwin yang bertemu jama’ muannas salim sebagai perbandingan dari nun yang ada
pada jama’ mudzakar salim.[17]
Contoh
: مُسْلِمَاتٌ
Tanwin
pada lafadz ini sebagai bandingan dari nun yang ada pada lafadz مُسْلِمُوْنَ
5. Tanwin Dhoruroh
Yaitu
tanwin yang bertemu munada (lafadz yang dipanggil) yang mabni, baik yang rofa’
atau nashab.[18]
Contoh
:
Mabni
Rofa’ : سَلاَمُ اللهِ يَامَطَرٌ عَلَيْهَا
( )
وَلَيْسَ عَلَيْكَ يَامَطَرُ السَّلاَمُ
Mabni
Nashab : يَاعَدِّيًّا لَقَدْ وَقَتْكَ الْأوَاقِيْ
6. Tanwin Ziyadah
Dinamakan
juga tanwin munasabah, yaitu tanwin yang bertemu isim ghoiru munshorif dengan
tujuan untuk penyerasian.[19]
Contoh
:
Bacaan
Imam Nafi’ سَلاَسِلاً وأغْلاَلاً,
dengan membaca tanwin pada lafadz سَلاَسِلاً, padahal berupa sighot muntahal jumu’ yang tidak bisa
menerima tanwin, hal ini untuk menyerasikan dengan lafadz setelahnya.
7. Tanwin Taksir
Dinamakan
juga tanwin Hamzi yaitu tanwin yang bertemu sebagian isim yang mabni yang
berfaidah menunjukkan makna banyak.[20]
Contoh
: هَؤُلاَءٍ قَوْمُكَ
Mereka (banyak orang) kaummu.
8. Tanwin Hikayah
Yaitu
tanwin yang bertemu isim ghoiru munhsorif untuk menceritakan / hikayat aslinya.[21]
Contoh
: ضَارِبَةٌ وَزْنُ فَاعِلةٌ ، مِضْرَابٌ وَزْنُ
مِفْعَالٌ
Lafadz مِفْعَالٌ dan فَاعِلةٌ adalah isim ghoiru munshorif karena wujudnya dua ilat
yaitu alamih dan ta’nis, kemudian diberi tanwin untuk menghikayahkan
mauzunnya lafadz مِضْرَابٌ dan ضَارِبَةٌ.
9. Tanwin Taronnum
Yaitu
tanwin yang bertemu qofiyah (akhir bait) yang diucapkan karena bertemu huruf
ilat.[22]
Contoh
:
أَقِلِّى اللَّوْمَ عَادِلْ
والْعِتَابَنْ ( ) وَقُوْلِي إِنْ أَصَبَتُ لَقَدْ أَصَابَنْ
Wahai
wanita pencela, tinggalkanlah perbuatan mencela (karena aku tidak akan mendengarkan pada sesuatu yang kau
inginkan) yang terbaik bagimu adalah mengakui kebenaran sesuatu yang aku
lakukan.
Lafadz
الْعِتَاتَنِ dan أَصَابَنْ asalnya الْعِتَابَا , أَصَابَا, kemudian alif diganti tanwin untuk meninggalkan taronnum
(membaguskan dan meliuk-liuknya suara)
10. Tanwin Gholi
Yaitu
tanwin yang bertemu Qofiyah Al Muqoyyad (akhir bait yang huruf akhirnya berupa
huruf shohih yang mati.[23]
Contoh
:
وَقَائِمِ الأَعْمَاقِ خَاوِي
الْمُحْتَرِقَنْ ( ) مُشْتَبِهِ الأَعْلَامِ لَمَّاعٍ الْخَفْقَنْ
Banyak
sekali tempat yang tak seorang pun bisa menempuhnya karena banyak keserupaan
dan tidak jelasnya. Namun untaku mampu menempuh dan menemukannya. (Ru’bah bin
Ujaj)
(maksudnya
ia seorang pemberani atau ia orang yang sangat mengerti dan faham gurun pasir)
الْمُحْتَرِقَنْ asalnya الْمُحْتَرِقْ , kemudian dimasuki nun lil wazni (untuk
menyesuaikan wazan), lalu membutuhkan mengharokati qof supaya selamat dari
bertemunya dua huruf yang mati.
TANBIH
!!!
Tidak
semua tanwin bisa masuk kalimah isim, ulama sepakat ada empat tanwin yang
khusus masuk pada kalimah yaitu : tanwin tamkin , muqobalah, I’wadl, dan tanwin tankir, dan ada empat tanwin lagi yang kekhususannya
masuk pada isim dipertentangkan oleh para ulama. Yaitu tanwin dhoruroh,
ziyadah, taksir dan hikayah. Namun mengikuti qoul yang rojih, empat tanwin
tersebut masuk khusus pada kalimah isim, sedang tanwin taronnum dan gholi
menurut qoul rojih bisa masuk pada kalimah isim, fiil dan huruf.[24]
b) Tanda Isim Berupa Jar
Tanda
kalimah isim yang kedua adalah Al-khafhu.
Istilah Khofadh merupakan istilah Ulama’ Kufah , sedang Ulama’ Basroh mengistilahkan dengan Jar . Menurut Istilah Nahwu Khofadh
adalah :
تَغْيِيْرُ مَخْصُوْصٍ
عَلاَمَتُهُ الْكَسْرَةُ وَمَا نَابَ عَنْهَا
Yaitu perubahan tertentu
yang ditandai dengan kasroh dan
perkara ynag mengantinya .
Contoh بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Dalam contoh ini mengisyarohkan bahwa
khofadz / jar itu
disebabkan oleh tiga hal , yaitu :
a) karena
masuknya huruf jar بِا سْمٍ
b) Idhofah , seperti lafadz بٍسْمِ اللّهِ
c) Tabi’ ( mengikuti
lafadz lain , seperti sifat ) seperti
lafadz أَلرَّحْمَنِ
I’rob Khofadh hanya tertentu masuk pada kalimah
isim , tidak bisa masuk pada kalimah Fiil
dan huruf , karena khofadh adalah
tandanya Mudhof Ilaih , sedang Mudhof ilaih
hanya berupa kalimah Isim atau asal dalam I’rob adalah kalimah Isim ,
sedang Fiil Mudhori’ di I’robi karena ada keserupaan/ kesamaan dengan kalimah
Isim , kemudian ulama ingin membedakan yang asal yaitu Isim
dengan mengunakan I’rob Khofadh
supaya tidak ada keserupaan antara yang asal dengan yang cabangan .
c) Tanda Isim Berupa Nida’
Nida’
yaitu memanggil dengan menggunakan huruf ya’ atau salah satu dari saudaranya.
Contoh : يَا زَيْدُ
Nida’ menjadi tanda
kekhususannya kalimah isim, karena hakikatnya munada (lafadz yang dipanggil)
adalah maf’ul bih dan maf’ul bih hanya bisa terjadi dari isim.[26]
d) Tanda Isim Alif dan Lam
( اَلْ )
Menerima
masuknya Al merupakan alamat isim baik yang berupa Al Ma’rifat, ziyadah dan
maushulah.
Contoh
:
Al
Ma’rifat : الرَّجُلُ
Al
Ziyadah : الْعَبَّا سُ
Al
Maushul : الضَّارِبُ
CATATAN
!!!
·
Ulama terjadi khilaf didalam Al Maushul.[27]
a. Menurut Imam Al-Fakihi
berpendapat al Maushulah hanya masuk pada kalimah isim tidak masuk pada kalimah
fiil, kecuali dhorurot syiir.
b. Menurut Imam Ibnu Malik
berpendapat Al Maushulah bisa masuk pada fiil mudhori’ dalam tingkah ihtiar.
Contoh
: مَااَنْتَ بِالْحَكَمِ التُّرْضَى حُكُوْمَتُهُ
·
Al Istifhamiyah hanya masuk pada fiil madhi.[28]
Contoh
: اَلْ فَعَلْتَ
bermakna هَلْ فَعَلْتَ
·
Para ulama menentukan Al hanya masuk pada kalimah isim,
karena Al berfaidah menta’yin mahkum alaih (menentukan perkara yang dihukumi),
sedang mahkum alaih hanya berupa kalimah isim.[29]
e) Tanda Isim Berupa Isnad
Ilaih (disandari hukum)
Isnad
yaitu sifat yang menunjukkan bahwa musnad ilaih (perkara yang disandari hukum)
adalah isim.
Contoh
: زَيْدٌ قَائِمٌ
Zaid berdiri.
(hukum
berdiri disandarkan pada Zaid)
TANBIH
!!!
Kalimah
fiil dan huruf tidak bisa diisnadi hukum, hal itu karena fiil adalah kabar
(hukum) dan ketika kabar disandarkan pada sesamanya, maka Mukhatab tidak bisa
mengambil faidah, begitu pula kalimah huruf tidak boleh diisnadi hukum (kabar),
karena kalimah huruf tidak memiliki makna tanpa dibantu lafadz lain oleh karena
itu mengisnadkan sesuatu pada huruf tidak akan memberi faidah, begitu pula
kalimah huruf diisnadkan pada kalimah yang lain juga tidak berfaidah.[30]
2.
TANDA-TANDA
KALIMAH FIIL
Kemudian
mushanif menjelaskan bahwa fi’il akan berbeda dengan isim dengan tanda-tanda
sebagai berikut :
1. Ta’ Fa’il[31]
Kalimah
fi’il bisa ditandai dengan masuknya ta’ fa’il secara mutlak.
Jika
di baca dlomah menunjukan arti mutakalim.
Seperti
: فَعَلْتُ saya (telah) bekerja.
jika
di baca fathah menunjukan arti mukhotob.
Seperti
: فَعَلْتَ kamu (telah) bekerja.
Jika
di baca kasroh menunjukan arti mukhotobah.
Seperti
: فَعَلْتِ kamu perempuan (telah) bekerja.
2. Ta’ ta’nis as-sakinah[32]
Bisa
kemasukan ta’ ta’nis yang mati (As-sakinah) termasuk tanda kalimah fiil.
Contoh
: بِئسَتْ , نِعْمَتْ , أَتَتْ
Sedang
ta’ ta’nis yang berharokat bukan termasuk tanda fiil, karena bisa masuk pada
kalimah isim dan huruf.
Contoh
:
Yang
isim : مُسْلِمَةٌ
Yang
huruf :ثُمَّتَ , رُبَّتَ , لاَتَ
Membaca
sukun pada ta’ ta’nis yang ada lafadz رُبَّ diucapkan
:ثُمَّتْ , رُبَّتْ
Penyukunan
yang ada pada ta’ ta’nist bersifat asal ,
dengan tujuan untuk menyeimbangkan ringannya sukun dengan beratnya fiil
, karena fiil menunjukkan dua makna , yaitu hadast / pekerjaaan dan zaman . Ta’ ta’nist
terkadang diharokati dikarenakan ada alasan yang
bersifat baru ( tidak asal )
Contoh :
a) Di kasroh قَا لَتِ اْلأَعْرَبُ
أَمَنَّا
(Diharokati kasroh untuk
menolak bertemunya dua huruf mati )
b) Di fathah قَا لَتَا أَتَيْنَا طَا ئِعِيْنَ
( Diharokati
fathah untuk munasabah dengan alif tasniyah )
c) Di dhommah وَقَالَتُ اخْرُجْ
( Diharokaati
dhommah karena mengikuti
Qiro’ah yang dibaca dhommah .
3. Ya’ fail
Bisa
kemasukan ya’ fail termasuk tanda kalimah fiil, ya’ fail ini bisa bertemu fiil
amar dan fiil mudhori’.
Contoh
:
a) Fiil amar : افْعَلِي bekerjalah kamu (seorang perempuan)
b) Fiil mudhori’ : تَضْرِبِيْنَ kamu (seorang perempuan) sedang bekerja.
4. Nun taukid
Bisa
kemasukan nun taukid, baik tasqilah atau khofifah. Termasuk tanda kalimat fiil.
Contoh
:
·
Nun taukid tsaqilah اَقْبِلَنَّ ( sungguh ) menghadaplah
·
Nun taukid khofifah اَقْبِلَنْ ( sungguh ) menghadaplah
سِوَاهُمَا الْحَرْفُ
كَهَـــلْ وَفِى وَلَمْ فِعْلٌ
مُضَارِعٌ يَلِي لَمْ كَيَشَمْ
وَمَـــــــــاضِيَ
الأَفْعَالِ بالتَّا مِزْ وَسِمْ بِالنُّونِ فِعْلَ
الأَمْرِ إِنْ أَمْرٌ فُهِمْ
v
Selainnya kalimah ( yang menerima tandanya ) isim dan
fiil adalah kalimah huruf, seperti lafadz هَلْ , قِي, dan لَمْ . fiil mudhori’ (memiliki tanda yang
khusus) yaitu bisa kemasukan لَمْ , seperti lafadz لَمْ يَشَمْ
v
Fiil madli dibedakan ( dari fiil amar dan fiil mudhori’)
dengan bisa kemasukan Ta’ baik ta’ fail atau ta’ ta’nis As-sakinah. Fiil amar (memiliki tanda yang khusus yaitu) bisa menerima nun taukid besertaan menunjukkan ma’na
perintah dengan sighotnya.
KETERANGAN BAIT NADZAM
1.
TANDA KALIMAH HURUF
Tanda kalimah huruf[33]
itu sifatnya ‘Adamiyah (tidak wujud), yaitu tidak pantas menerima tandanya kalimah
isim dan fiil. Kalimah huruf dibagi menjadi dua,yaitu:
ü Kalimat huruf yang tidak
tertentu (Ghoiru muhtash)
Yaitu
kalimah huruf yang bisa masuk pada kalimah isim dan fiil, seperti هَلْ
Contoh: yang
isim هَلْ زَيدٌ قَائِمٌ Apakah Zaid berdiri?
yang
fiil هَلْ قاَمَ زَيْدٌ Apakah Zaid (sudah) berdiri?
ü Kalimah huruf yang
muhtash
Yaitu
kalimah huruf yang masuknya ditentukan pada satu kalimah. Huruf yang muhtash ada dua, yaitu :
a) Tertentu masuk pada
kalimah isim, seperti : قِي
Contoh: زَ يْدٌ فِي الدَّارِ Zaid di dalam rumah.
b) Tertentu masuk pada
kalimah fiil, seperti : لَمْ
Contoh
: لَمْ يَقُمْ زَيْدٌ Zaid tidak berdiri.
2. TANDA KHUSUS FI’IL MUDHORI’
Di awal telah disebutkan tanda-tanda kalimah fiil secara
global, kemudian Nadzim memperincinya, bahwa tanda fiil mudhori’ yang
khusus (sehingga berbeda dari fiil madli
dan amar) yaitu bisa kemasukan huruf لَمْ
Contoh : لَمْ يَشَمْ
dia tidak membau (mencium).
لَمْ يَضْرِبْ dia tidak memukul.
3. TANDA KHUSUS FI’IL MADLI
Yaitu
bisa kemasukan ta’ secara mutlaq, baik ta’ fiil atau ta’ ta’nis As-sakinah.
Contoh
:
a)
تَبَارَكْتَ Semoga
kamu bertambah kebaikan.
b)
فَعَلَتْ Dia
(seorang perempuan) telah bekerja.
4. TANDA KHUSUS FI’IL AMAR
Yaitu bisa kemasukan nun taukid besertaan menunjukkan
arti perintah dengan sighotnya “tidak melalui lam amar” (amar bish-shighot)
Contoh
: اِضْرِبَنْ (sungguh) memukullah.
اُخْرُجَنَّ (sungguh)
keluarlah.
TANBIH !!!
Lafadz yang menunjukan arti perintah, tetapi dengan
perantaraan lam amar, menurut istilah Nahwu tidak dinamakan fiil amar, tetapi
tetap dinamakan fiil mudhori’, walaupun menurut istilah shorof dinamakan amar
ghoib.
Seperti : لِيَضْرِبْ Hendaknya dia
memukul
Kalimah yang tidak menunjukan arti perintah, tetapi bisa
kemasukan nun taukid , maka ada kalanya fiil mudhori’ atau fiil taajjub.
Contoh : يَضْرِ بَنَّ (sungguh)
Dia sedang memukul.
اَ حْسِنْ بِزَيْدِ (sungguh)
mengagumkan kebaikan Zaid.
وَالأَمْرُ إِنْ لَمْ يَكُ لِلنُّونِ مَحَلْ فِيْهِ
هُوَ اسْمٌ نَحْوُ صَهْ وَحَيَّهَلْ
Lafadz yang menunjukan arti perintah, apabila tidak
pantas kemasukan nun taukid, maka dinamakan isim fiil, seperti lafadz صَهْ dan حَيَّهَلْ
KETERANGAN BAIT NADZAM
1. ISIM FIIL
Yaitu kalimah yang menujukan arti fiil, tetapi tidak bisa
menerima tanda kalimah fiil.
Isim
fiil dibagi menjadi tiga, yaitu :
a) Isim fiil madli
Yaitu
kalimah yang menunjukkan arti hadats yang terjadi pada zaman madli, tetapi
tidak bisa kemasukan ta’ (baik ta’ fail atau ta’ ta’nis as-sakinah)[34]
Contoh:
a)
Lafadz شَتَّانَ
bermakna اِفْتَرَقَ
(berpisah)
b) Lafadz هَيْهَاتَ
bermakna بَعُدَ
(jauh)
b) Isim Fiil Mudhori’
Yaitu
kalimah yang menunjukan arti hadast yang terjadi pada zaman madli, tetapi tidak
bisa kemasukan huruf لَمْ [35] contoh :
a)
Lafadz أوَّاهْ bermakna أتَوَجَّعُ
(saya merintih kesakitan)
b) Lafadz أُفٍّ
bermakna أتَضَجَّرُ
(saya mencegah)
c)
Lafadz وَيْbermakna أعْجَبُ
(saya kagum)
Yaitu
lafadz yang menunjukan arti perintah, tetapi tidak bisa kemasukan nun taukid.
Contoh
:
a)
Lafadz صَهْ bermakna اُسْكُتْ (diamlah)
b) Lafadz حَيَّهَلْ bermakna اَقْبِلْ
)menghadaplah(
·
Lafadz yang wajib dinakirohkan
Seperti
: lafadz وَيْهًا
dan وَاهًا
·
Lafadz yang wajib dima’rifatkan
Seperti
: - Lafadz نَزَالِ bermakna اِنْزِلْ (turunlah)
- Lafadz تَرَكِ bermakna اُتْرُكْ (tinggallah)
- Dan bab dari keduanya.
·
Lafadz yang boleh dinakirohkan atau dima’rifatkan.
Seperti
: - Lafadz صَهْ (diamlah)
- Lafadz مَهْ (cegahlah)
TANBIH
!!!
Lafadz
yang wajib ditanwini (seperti وَيْهًا ), dan lafadz yang ditanwini secara
jawaz (seperti صَهْ ) hukumnya nakiroh, sedang lafadz yang tidak ditanwini hukumnya
ma’rifat.[38]
ü
Sama-sama menunjukkan makna yaitu berupa hadats.
ü
Isim fiil pada umumnya sesuai dengan fiil yang menjadi
maknanya di dalam muta’adi dan lazimnya.
Yang
keluar dari keghalibannya (keumumannya) seperti :
a.
Lafadz آمِيْن
Dalam
kalam Arab tidak pernah terdengar lafadz muta’adi
pada maf’ul, pada lafadz ini bermakna اِسْتَجِبْ yang muta’adi.
b.
Lafadz اَيْهٍ
Lafadz
ini lazim, padahal lafadz ini bermakna زِدْنِي yang muta’adi.
c.
Isim fiil sesuai dengan fiil yang menjadi maknanya di
dalam menampakkan fiil dan menyimpannya.
4.
PERBEDAAN
ISIM FIIL DAN FIIL
ü
Isim fiil tidak boleh menampakkan dhomirnya.
Seperti
kita mengucapkan lafadz صَهْ (diamlah).
Untuk
menunjukkan mufrod, tasniyah, jama’, mudzakkar atau muannas, hal ini berbeda
dengan lafadz اُسْكُتْ yang boleh diucapkan اُسْكُتَا, اُسْكُتُوْا, اُسْكُتِي
ü
Isim fiil tidak boleh mendahului ma’mulnya.
Maka
tidak boleh mengucapkan زَيْدًا عَلَيْكَ , berbeda dengan fiil boleh diucapkan زَيْدًا الْزَمْ
ü
Boleh mentaukidi fiil yang taukid lafdzi dengan isim
fiil.
Seperti
: نَزَالِ, اِنْزِلْ Turunlah,
turunlah
اُسْكُتْ , صَهْ Diamlah,
diamlah
Tetapi
tidak boleh mentaukidi isim fiil dengan fiil.
ü
Fiil jika menunjukkan makna tholab, maka boleh membaca
nashab pada fiil mudhori’ yang menjadi jawabnya.
Seperti
: اِنْزِلْ فَاُحَدِّثَكَ (berhentilah, maka saya akan bercerita padamu)
Tetapi
tidak boleh membaca nashab pada fiil mudhori’ yang menjadi jawabnya isim fiil.
ü
Isim fiil itu hukumnya ghoiru munshorif (tidak bisa
ditasrif), maka bentuk lafadznya tidak berbeda karena berbedanya zaman, hal ini
berbeda dengan fiil.
ü
Isim fiil tidak bisa menerima alamat fiil.
Seperti : amil nashab,
amil jazm, nun taukid, ya’ mukhotobah dan ta’ fail.
[2] Syarah
Asymuni I hal. 20
[3] Syarah
Mufashol I hal. 19
[4] Tasywiqul
Hillan hal. 10
[5] Syarah
Mufashol I hal. 19
[6] Kawakib
Ad-Duririyah I hal. 6
[7] ‘Ubadah
hal. 44
[8] Tasywiqul
Khilan hal. 10
[11] Syarah
Mufashol I hal. 19
[13] Ibnu
Hamdun I hal. 20
[15] Tasywiqul
Khilan hal. 22
[16] Azhariyah
hal. 23
[17] Kawakib
Ad-Duriyah I hal. 8
[18] Kawakib
Ad-Duriyah I hal. 8
[19] Kawakib
Ad-Duriyah I hal. 8
[20] Kawakib
Ad-Duriyah I hal. 8
[21] Hasyiyah
Hudlori I hal. 20
[22] Hasyiyah
Hudlori I hal. 20
[23] Hasyiyah
Hudlori I hal. 20
[24] Kawakib
Ad-Durriyyah I hal. 8
[25]
Kawakib Ad –duriyah I hal 18
[26] Hasyiyah Hudlori I hal. 21
[27] Hasyiyah
Hudlori I hal. 20
[28] Hasyiyah
Hudlori I hal. 21
[29] Kawakib
Ad-Durriyyah I hal. 9
[30] Syyrah
Mufashol I hal. 34
[31] Ibnu Aqil
hal. 23
[32] Ibnu Aqil
hal.23
[33] Ibnu Aqil
hal.23
[34] Taqrirot
Al-Fiyyah
[35] Taqrirot
Al-Fiyyah hal.4
[36] Taqrirot
Al-Fiyyah hal.4
[37] Qadlil
Qudlot I hal. 26
[38] Taqrirot
Al-Fiyyah hal.4
[39] Ibnu Aqil
hal. 26
No comments:
Post a Comment