Tuesday 17 April 2018

Terjemah Al_fiyyah Bab Kalam


الْكَلاَمُ وَمَا يَتَأَلَّفُ مِنْهُ

 KALAM
DAN   YANG DIGUNAKAN MENYUSUN KALAM

  كَلامُنَا لَفْظٌ مُفِيدٌ كاسْتَقِمْ  وَاسْمٌ وَفِعْلٌ ثُمَّ حَرْفٌ الْكَلِمْ
وَاحِدُهُ كَلِمَةٌ والقَوْلُ عَمّْ    وَكِلْمَةٌ بِهَا كَلاَمٌ قَدْ يُؤَمّْ

v Kalam menurut ulama Nahwu adalah lafadz yang berfaidah dan yang tersusun seperti lafadz اِسْتَقِمْ , sedang kalim itu ada tiga macam yaitu, isim, fiil dan huruf.
v Satu persatu dari kalim itu dinamakan kalimah. Sedang Qoul itu mencakup semuanya (mencakup kalam, kalim dan kalimah). Kalimah itu terkadang disengaja diucapkan dari kalam.

KETERANGAN BAIT NADZAM

1.   PENGERTIAN KALAM

      Kalam sacara bahasa adalah lafadz yang dicetak untuk memberikan sebuah makna , baik berfaidah ataupun tidak. Sedangkan secara istilah adalah :
هُوَ لَفْظٌ مُفِيْدٌ مُرَكَّبُ
Yaitu lafadz yang berfaidah dan tersusun.
Contoh :
زَيْدٌ قَائِمٌ   Zaid berdiri
اِسْتَقِمْ      Berdirilah. Lafadz ini tersusun karena menyimpan dlomir  tersimpan.
      Armuradie berkata : Dalam syarah tashilnya disebutkan bahwa didalam kalam juga disyaratkan haruslah diungkapkan oleh satu orang. Oleh karenanya  . syarat tersebut mengecualikan jika ada dua orang lelaki yang satu mengungkapkan lafadz yang menjadi mubtada’ dan yang satunya khabar , maka yang semacam ini tidaklah disebut kalam.[1]
     Kalam menurut ahli nahwu harus memenuhi  tiga item sebagai berikut  :
1) Lafadz
هُوَ الصَّوْتُ الْمُشْتَمِلُ عَلَى بَعْضِ الْحُرُوْفِ
Yaitu yang mengandung sebagian huruf hijaiyah.
Ada kalanya yang hakikat seperti lafadz زَيْدٌ dan ada yang taqdir seperti dlomir mustatir.
Perkara yang tidak mengandung huruf hijaiyah seperti tulisan isyarah dan lain-lain yang menurut istilah bahasa dinamakan kalam, tidak bisa dinamakan lafadz menurut ulama Nahwu.[2]

·      Pembagian Lafadz[3]
a.    Lafadz Muhmal (مُهْمَلٌ)
Yaitu lafadz yang yang oleh Wadli’ul Lughot (peletak bahasa) tidak digunakan untuk menunjukkan makna.
Seperti : lafadz دَيْزٌ kebalikannya lafadz  زَيْدٌ
b.    Lafadz Musta’mal
Yaitu lafadz yang oleh Wadli’ul lughot digunakan untuk menunjukkan makna.
Seperti : lafadz زَيْدٌ
·       Pembagian Lafadz Musta’mal[4]
a.     Lafadz Mufrod
Yaitu lafadz yang juz (bagian) dari lafadznya tidak bisa menunjukkan juz maknanya.
Seperti : lafadz زَيْدٌ
b.    Lafadz Murokkab[5]
Yaitu lafadz yang juz dari lafadz itu tidak bisa menunjukkan makna, sedang jika melihat dari sisi yang lain bisa menunjukkan makna.
Seperti : lafadz عَبْدُ اللهِ (nama orang)
Lafadz ini jika ditinjau dari segi Alamiah (sebagai nama) maka juz lafadznya, seperti lafadz  عَبْدٌ tidak bisa menunjukkan juz maknanya (seperti tangan dan lain-lain). Namun jika dilihat dari sisi idhofah maka masing-masing dari lafadz عَبْدٌ dan lafadz اللهُ  menunjukkan makna.
c.     Lafadz Muallaf
     Yaitu lafadz yang juz-juz dari lafadz bisa menunjukkan Madlul lain dari semua sudut pandang.

Tabel Pembagian Lafadz

No
Jenis
Devinisi
Contoh
1.
Muhmal
setiap lafadz  yang dibentuk oleh  wadhi' al lughot  (pembuat bahasa; masyarakat)  tidak untuk menunjukkan sebuah makna
دَيْزٌ     yang merupakan kebalikan dari lafadz  زَيْدٌ  
2.
Musta’mal
lafadz  yang yang dibentuk oleh  wadhi' al lughot  (pembuat bahasa; masyarakat)  dalam rangka untuk menunjukkan sebuah makna







زَيْدٌ   menunjukkan  orang  yang bernama zaid   مَسْجِدٌ   Menunjukkan  suatu bangunan  tertentu  yang khusus  digunakan  untuk  beribadah.

1.Lafadz  mufrod
Sebuah lafadz dimana juz  (bagian)dari keseluruhan lafadznya tidak dapat menunjukkan  bagian dari keseluruhan maknanya
زَيْدٌ  dimana bagian dari  totalitas lafadznya misalnya  huruf  Za’ maka  tidak dapat menunjukan  terhadap bagian dari keseluruhan maknanya misalnya  tangan zaid .
2.lafadz murokkab
Sebuah lafadz dimana juz  (bagian)dari keseluruhan lafadznya dapat menunjukkan  bagian dari keseluruhan maknanya
  عَبْدُ اللّهِ (nama orang) Meskipun lafadz  ini  ditinjau  dari sisi alam  (dijadikan nama) maka bagian dari totalitas lafadznya (  lafadz  (عَبْدٌ   tidak dapat menunjukkan  bagian dari keseluruhan maknanya (seperti tangan , kaki  dan lain –lain) namun jika dilihat  dari sisi mudhof dan mudhof ilaih   maka menunjukkan makna
3.Lafadz Muallaf
lafadz  yang setiap bagianya dapat menunjukkan  madlul  (perkara yang terkandung oleh dilalah lafadz)
 زَيْدٌ قَائِمٌ    zaid  adalah orang yang berdiri, dimana masing-masing dari lafadz زَيْد dan   قَائِمdapat menunjukan bagian dari arti keselurahan (berdirinya zaid)

2) Al Mufid ( الْمُفِيْدُ )
هُوَالْمُفْهِمُ مَعْنًى يَحْسُنُ السُّكُوْتُ عَلَيْهِ بِحَيْثُ لاَيَبْقَى لِلسَّامِعِ انْتِظَارُ مُقَيَّدٌ بِهِ
Yaitu memberi kefahaman pada makna yang diamnya mutakallim (pembicara) dan sami’ (pendengar) dianggap bagus, sekira sami’ sudah tidak menunggu yang diqoyyidi (ditentukan dengan menunggu yang sempurna)[6]

Contoh :  قَامَ زَيْدٌ       Zaid berdiri.
          Dari definisi diatas, maka fi’il muta’adi yang sudah menyebutkan failnya, tapi belum ada maf’ul bihnya bisa dinamakan mufid dan kalam, karena hanya menunggu sebentar kelanjutannya ucapan mutakallim, tidak seperti lama (sempurna) nya menunggu ketika fiil belum menyebut fail, mubtada’ belum  menyebutkan khobar dan jumlah syartiyah belum menyebutkan jawabnya.
Menurut qoul rajih faidah dalam kalam tidak disyaratkan Tajaddudul faidah (berupa faidah yang baru).
Seperti :          النَّارُ حَارَّ               Api itu panas
                        السَّمَاءُ فَوْقُنَا           Langit itu diatas kita
       Walaupun sami’ sudah memahami maknanya, kedua contoh tersebut dinamakan Kalam, karena bila tajaddul faidah disyaratkan, maka akan menimbulkan suatu susunan kalimah dinamakan kalam jika sami’nya belum mengerti dan tidak dinamakan kalam bila sami’nya sudah mengerti, sedang yang dilihat adalah dzatiahnya lafadz sudah bisa memberi faidah, bukan melihat sami’nya.[7]

3) Al-Murokkab (الْمُرَكَّبُ  )
هُوَ مَاتَرَكَّبَ مِنْ كَلِمَتَيْنِ فَأَكْثَرَ تَرْكِيْبًا إِسْنَادِيًّا
Yaitu lafadz yang tersusun dari dua kalilmah atau lebih dengan susunan isnadi (penisbatan/penyandaran hukum yang menjadi kesempurnaan faidah)[8]

Contoh :     قَامَ زَيْدٌ     Zaid telah berdiri
                   هَذَا زَيْدٌ    Ini Zaid
                   اِسْتَقِمْ      Berdirilah (kamu seorang lelaki)
         Murokkab yang menjadi persyaratan kalam harus berupa susunan isnadi, maka mengecualikan tarkib idhofi, tarkib mazji, tarkib taushifi dan tarkib taqyidi.
         Tiga syarat diatas yaitu lafadz, mufid dan murokkab harus kumpul didalam kalam. Ucapan Imam Ibnu Malik  اِسْتَقِمْ memberikan isyarah bahwa ilmu tidak akan berhasil kecuali dengan istiqomah dan taqwa.

TANBIH !!!

      Masih ada satu syarat lagi yang tidak disebutkan  kyai nadhim   dari  kitab asalnya ,  yaitu  syarat keempat   yang berupa  wadha’   . maksud dari wadla’ adalah :
جَعْلُ اللَّفْظِ دَلِيْلاً عَلَى الْمَعْنَى
Yaitu  menjadikan lafadz  agar menunjukkan suatu  makna ( pengertian )
       Dan pembicaraannya disengaja  serta dengan  mengunakan  bahasa  Arab , jadi ucapan orang mengigau , ucapan  berbahasa selain arab  , tidak  termasuk  wadho’  menurut ahli nahwu.

2.   PENGERTIAN KALIM (الْكَلِمْ)
     Kalim adalam jama’ dari kalimah. Maksudnya kalim sendiri adalah kalam manusia . Pengertian kalim secara istilah nahwu adalah :
مَاتَرَكَّبَ مِنْ ثَلاَثِ كَلِمَاتٍ فَأَكْثَرَ
Yaitu lafadz yang tersusun dari 3 kalimah atau lebih

Contoh :          إِنْ قَامَ زَيْدٌ                         (kalimah huruf, fiil dan isim)
                        هَذَا رَجَلٌ قَائِمٌ         (berkumpul tiga isim)
                        فَعَلَ، ضَرَبَ، نَصَرَ    (berkumpul tiga fiil)
                        فِى، قَدْ، لَنْ            (berkumpul tiga huruf)

      Kumpulnya tiga kalimah atau lebih, baik semuanya berupa isim atau fiil atau huruf atau campuran, berfaidah atau tidak dinamakan Kalim, karena kalim adalah jama’ mufrod kalimah.
      Orang yang pertama kali membagi komponen kalim seperti diatas  dan menamakannya kalim adalah sahabat Ali R.A .[9]

3.   PENGERTIAN KALIMAH
    Pengertian dari kalimat adalah :[10]

هِيَ اللَّفْظُ الْمَوْضُوْعُ لِمَعْنًى مُفْرَدٍ

Yaitu lafadz yang  dicetak untuk menunjukkan pada makna mufrod

       Dari definisi tersebut, mengecualikan lafadz yang tidak punya makna seperti lafadz yang muhmal ( contoh lafadz( ديز dan mengecualikan lafadz yang murokkab dan lafadz yang menunjukkan makna tidak secara wadlo’, tapi secara thobi’i (kewatakan) seperti suara اخ dari orang yang tidur, yang menunjukkan makna tidur sangat terlelap dan orang batuk yang bersuara اخ yang menunjukkan makna sakit pada dada.[11]

4.   PEMBAGIAN KALIMAH

     Kalimah terbagi menjadi tiga ; kalimah isim. fi’il dan huruf . Berikut keterangan masing-masing dari pembagian kalimah  :

a)  Kalimah Isim
هُوَ كَلِمَةٌ دّلَّتْ عَلَى مَعْنَى فِى نَفْسِهَا وَلَمْ تَقْتَرِنْ بِزَمَانٍ وَضْعًا
Yaitu kalimah yang menunjukkan makna dengan sendirinya (tanpa membutuhkan lafadz lain) dan tidak disertai zaman secara wadlo’

       Dari devinisi tersebut memasukkan  dalam pengertian isim  lafadz –lafadz  dibawah ini : [12]
·                    أَمْسِ    (maknanya kemarin)
     karena lafadz  ini  menunjukkan  makna yang berupa  zaman  bukan zamannya yang menyertai  makna  aslinya.
·                     أَلصًّبُوْح   ( minum di pagi hari) 
·                      أَلْغَبُوْقُ   ( minum di akhir hari )
·                      أَلْقِيْلُ      ( minum disiang hari )
      Tiga lafadz   ini tetap  isim  , karena walaupun menunjukkan  makna  disertai  zaman , namun  zaman  yang menyertainya bersifat  mutlaq  , tidak  diketahui  apakah  itu zaman  madhi ,   hal  atau  istiqbal.
·                      Isim  fail  dan isim  Maf’ul
      Dua  isim  ini disertai  dengan zaman  tapi  tidak  secara wadho’  ( sejak asal cetaknya )  melainkan  dengan cara yang  luzum  ( bahwa makna  pekerjaan yang ada  padanya , tentu  harus  ada zamannya ).

b) Kalimah Fiil
هُوَ كَلِمَةٌ دَلَّتْ عَلَى مَعْنَى فِى نَفْسِهَا مُقْتَرِنَةٌ بأَحَدِ الْأَزْمِنَةِ الثَّلاَثَةِ وَضْعًا
Yaitu kalimah yang menunjukkan dengan sendirinya dengan disertai salah satu dari tiga zaman (zaman madli, hal atau istiqbal) secara wadlo’.
Contoh    :
·           كَتَبَ     : Sudah menulis
Lafadz ini menunjukkan makna pekerjaan dan disertai zaman madli, maka dinamakan fiil madli
·             يَكْتُبُ  :   Sedang / akan menulis
Lafadz ini menunjukkan makna pekerjaan dan disertai zaman hal atau zaman itiqbal, maka dinamakan fiil mudlori’
·         أَكْتُبْ      :    Menulislah
Lafadz ini menunjukkan arti pekerjaan yang disertai zaman hal dengan memandang insya’nya (perintah) dan zaman istiqbal dengan melihat wujudnya pekerjaan, dan dinamakan fiil amar.

c)  Kalimah Huruf
هُوَ كَلِمَةٌ دَلَّتْ عَلَى مَعْنَى فِى غَيْرِ هَا وَلَمْ تَقْتَرِنْ بِزَمَانٍ
Yaitu makna yang menunjukkan makna dengan membutuhkan lafadz lain yang tidak disertai zaman.

Semisal huruf  مِنْ  ,  lafadz  ini  bisa menunjukkan  makna  ibtida’
( memulai )  bila digabungkan  dengan lafadz lain . Contoh  
 
سِرْتُ مِنَ الْحُجْرَةِ إِلَى الْمَسْجِدِ
Saya berjalan mulai dari kamar sampai masjid

5.   PENGERTIAN QOUL
           Pengertian dari Qoul adalah :
هُوَ لَفْظٌ قَدْ أَفَادَ مُطْلَقًا
Qoul yaitu  lafadz  yang berfaidah  ( mengandung makna )  secara mutlaq  ( baik tersusun ataupun tidak  , memberikan  pengertian  dengan sempurna atau belum )

Dari definisi tersebut,qoul lebih umum dibanding kalam, kalim, dan kalimah, karena bisa mencangkup ketiganyaز
Contoh dari qoul adalah lafadz :
o   قُمْ          ( Berdirilah)
o   قَدْ      ( Terkadang )
o   إِنَّ زَيْدًا  إِرْتَقَى   ( Zaid naik pada derajat luhur )
Bahkan bisa mencakup selain ketiganya. Seperti lafadz: غُلاَمُ زَيْدٌ
Lafadz ini bukan kalimah karena tersusun, juga bukan kalam karena belum memberikan faidah, juga bukan kalim karena hanya kumpulnya kalimah.[13]

6.   PENGUCAPAN KALIMAH UNTUK KALAM
 Dalam gramatika Arabiyyah banyak sekali pengucapan kalimah untuk Kalam (jumlah yang berfaidah).
Contoh: لاَ اِ لهَ اِلاَّ الله  diucapkan kalimah ikhlas akan tetapi dalam istilah Nahwu tetap dinamakan kalam.

بِالْجَرِّ والتَّنْوِينِ وَالنِّدَا وَأَلْ وَمُسْنَدٍ لِلاسْمِ تَمْيِيزٌ حَصَلْ
بِتَا فَعَلْتَ وَأَتَتْ وَيَا افْعَلِى  وَنُونِ أَقْبِلَنَّ فِعْلٌ يَنْجَلِي

v Kalimah isim itu ditandai dan bisa di bedakan kalimah yang lain dengan lima perkara yaitu : 1. I’rob jar,  2.Tanwin, 3. Nida, 4. Masuknya            5. Isnad.
v Kalimah fiil itu bisa dibedakan dari kalimah yang lain dengan beberapa tanda yaitu : 1. Ta’ Fa’il, seperti  فَعَلْتَ , 2. Ta’ Ta’nis As sakinah, seperti اَنْتَ, 3. Ya’ Fa’il (Ya’ Muannasah Muhotobah), seperti اِفْعِلِيْ , 4. Nun Taukid, seperti اَقْبِلَنَّ

KETERANGAN BAIT NADZAM

1.   TANDA-TANDA KALIMAH ISIM
 Kalimah isim itu memiliki  5 (empat) tanda , yaitu :
1. I’rob jar,
2.Tanwin,
3. Nida,
4. Masuknya          
5. Isnad. 

       Berikut kejelasan setiap tanda-tanda dari kalimat isim : 
a)  Tanwin
التَّنْوِيْنُ هُوَ نُوْنٌ سَاكِنَةٌ تَتْبَعُ أخِرَ الإِسْمِ لَفْظًا  وَتُفَا رِقُهُ حَظَّ لِغَيْرِ تَوْكِيْدٍ
Tanwin yaitu nun mati yang bertemu dengan akhirnya kalimah isim, yang wujud dalam pengucapan, namun tidak wujud dalam tulisan yang tidak untuk taukid.[14]
Contoh : زَيْدٌ قَائِمٌ
·           Pembagian Tanwin
a.   Tanwin Tamkin
        Disebut  juga  tanwin shorfi’  dan tanwin amkaniyah  , yaitu  tanwin  yang  bertemu  isim mu’rob  yang munshorif , yang berfaidah  menunjukkan  pada ringannya  isim dan menunjukkan bahwa  isim tersebut  menetapi  pada keisimannya  ( karena tidak  serupa huruf  sehingga  di mabnikan  dan  tidak  serupa fiil  sehingga  dicegah  dari tanwin ) Contoh :    زَيْدٌ   ,    رَجُلٌ  .[15]
b.   Tanwin Tankir
      Yaitu tanwin yang bertemu dengan isim-isim yang mabni, yang berfaidah untuk membedakan antara ma’rifat dan nakirohnya lafadz. Contoh : جَاَءَ سِيْبَوَ يهٍ
Jika ha’ nya lafadz سِيْبَوَ يهٍ tidak ditanwin maka termasuk isim ma’rifat dan yang dimaksud Sibaweh yang tertentu, seperti Imam Sibaleh ulama’ Nahwu, jika ha’ nya ditanwin maka termasuk isim nakiroh dan yang dimaksud setiap orang yang bernama Sibaweh.
c.    Tanwin ‘Iwad
Yaitu tanwin yang mengganti perkara lain. Tanwin ‘iwad dibagi tiga yaitu:
1.   ‘Iwad Anil Jumlah
Yaitu tanwin  lafadz   إذْ , untuk mengganti jumlah setelahnya.
Contoh : وَأَنْتُمْ حِيْنَئِذٍ تَنْظُرُوْنَ
(kamu semua ketika sampainya ruh ditenggorokan itu sama memandang).
Tanwin pada lafadz إِذْ itu mengganti jumlah إذْ بَلَغْتِ الرُّوْحُ الْقُوْمَ yang dibuang untuk meringkas (ihtishor) dan untuk memperindah (tahsin)
2.   ‘Iwad Anil Ismi
Yaitu tanwin yang bertemu lafadz كُلّ dan sesama sebagai ganti dari mudhof ilaih.
Contoh :            كُلِّ قَائِمٌ                Asalnya             كُلُّ النَّاسِ قَائِمٌ
                            بَعْضٌ قَائِمٌ             Asalnya           بَعْضُ النَّاسِ قَائِمٌ      
Kemudian lafadz النَّاسِ dibuang dan diganti dengan tanwin.
3.   ‘Iwad Anil Harfi
Yaitu tanwin yang bertemu sesama lafadz جَوَارٍ dan غَوَاشٍ dalam tingkah rofa’ dan jar.

TANBIH !!!

Proses pengi’lalan  Lafadz جَوَارٍ dan غَوَاشٍ ada dua yaitu[16]
ü   Mengikuti qoul rojih yang mendahulukan i’lal dari tercegah  tanwin (man’u shorfi). Kedua lafadz itu asalnya جَوَارِيٌ dan غَوَاشِيٌ       (dengan memakai ya’ dan tanwin), huruf ya’ dimatikan  karena berat menyandang harokat dhomah, kemudian ya’ dibuang karena terjadi bertemunya dua huruf mati, yaitu ya’ dan tanwin, maka menjadi جَوَارٌ (dengan masih adanya tanwin setelah ro’), dan sudah maklum bahwa tanwin ini adalah tanwin tamkin / tanwin shorfi, sedang huruf ya’ yang dibuang karena ada sebab itu  hukumnya seperti huruf yang masih tetap, selanjutnya karena wujudnya sighot muntahal jumu’ yang tidak memperbolehkan berkumpul dengan tanwin shorfi, maka tanwinnya  dibuang, maka menjadi جَوَارِ (tanpa tanwin), selanjutnya terjadi kekhawatiran jika kasrohnya ro’ dibaca isba’ (panjang) akan menimbulkan huruf ya’ setelah di buang, yang hal itu  akan  menimbulkan berat, maka ditambahkanlah tanwin sebagai ganti dari ya’ yang dibuang dan tanwin yang wujud setelah pembuangan tanwin ini adalah tanwin iwad maka menjadi  جَوَارٍ
ü   Mengikuti qoul marjuh
Yang  berpendapat bahwa tercegahnya tanwin itu didahulukan dari i’lal. Kedua lafadz itu asalnya جَوَارِيْ dan غَوَاشِيْ (tanpa tanwin), ya’ di sukun karena berat menyandang  harokat dhomah, kemudian didatangkan tanwin sebagai ganti dari dhomah, maka menjadi جَوَارِي, kemudian ya’ dibuang karena bertemunya dua huruf yang mati, menjadi جَوَارِ, jika mengikuti qoul ini maka tanwinnya adalah iwad dari harokat dhomah yang didatangkan sebagai perantaraan membuang ya’, bukan tanwin Iwad Anil Harfi.

4.   Tanwin Muqobalah
Yaitu tanwin yang bertemu jama’ muannas salim sebagai perbandingan dari nun yang ada pada jama’ mudzakar salim.[17]
Contoh : مُسْلِمَاتٌ
Tanwin pada lafadz ini sebagai bandingan dari nun yang ada pada lafadz مُسْلِمُوْنَ
5.   Tanwin Dhoruroh
Yaitu tanwin yang bertemu munada (lafadz yang dipanggil) yang mabni, baik yang rofa’ atau nashab.[18]
Contoh :
Mabni Rofa’      : سَلاَمُ اللهِ يَامَطَرٌ عَلَيْهَا (  )  وَلَيْسَ عَلَيْكَ يَامَطَرُ السَّلاَمُ
Mabni Nashab  :  يَاعَدِّيًّا لَقَدْ وَقَتْكَ الْأوَاقِيْ
6.   Tanwin Ziyadah
Dinamakan juga tanwin munasabah, yaitu tanwin yang bertemu isim ghoiru munshorif dengan tujuan untuk penyerasian.[19]
Contoh :
Bacaan Imam Nafi’ سَلاَسِلاً وأغْلاَلاً, dengan membaca tanwin pada lafadz سَلاَسِلاً, padahal berupa sighot muntahal jumu’ yang tidak bisa menerima tanwin, hal ini untuk menyerasikan dengan lafadz setelahnya.
7.   Tanwin Taksir
Dinamakan juga tanwin Hamzi yaitu tanwin yang bertemu sebagian isim yang mabni yang berfaidah menunjukkan makna banyak.[20]
Contoh : هَؤُلاَءٍ قَوْمُكَ  Mereka (banyak orang) kaummu.
8.   Tanwin Hikayah
Yaitu tanwin yang bertemu isim ghoiru munhsorif untuk menceritakan / hikayat aslinya.[21]
Contoh : ضَارِبَةٌ وَزْنُ فَاعِلةٌ ، مِضْرَابٌ وَزْنُ مِفْعَالٌ
 Lafadz مِفْعَالٌ dan فَاعِلةٌ adalah isim ghoiru munshorif karena wujudnya dua ilat yaitu alamih  dan ta’nis, kemudian diberi tanwin untuk menghikayahkan mauzunnya lafadz مِضْرَابٌ dan  ضَارِبَةٌ.
9.   Tanwin Taronnum
Yaitu tanwin yang bertemu qofiyah (akhir bait) yang diucapkan karena bertemu huruf ilat.[22]
Contoh :
أَقِلِّى اللَّوْمَ عَادِلْ والْعِتَابَنْ  ( )  وَقُوْلِي إِنْ أَصَبَتُ لَقَدْ أَصَابَنْ
Wahai wanita pencela, tinggalkanlah perbuatan mencela (karena aku tidak akan mendengarkan pada sesuatu yang kau inginkan) yang terbaik bagimu adalah mengakui kebenaran sesuatu yang aku lakukan.

Lafadz الْعِتَاتَنِ dan أَصَابَنْ asalnya الْعِتَابَا , أَصَابَا, kemudian alif diganti tanwin untuk meninggalkan taronnum (membaguskan dan meliuk-liuknya suara)
10.   Tanwin Gholi
Yaitu tanwin yang bertemu Qofiyah Al Muqoyyad (akhir bait yang huruf akhirnya berupa huruf shohih yang mati.[23]
Contoh :
وَقَائِمِ الأَعْمَاقِ خَاوِي الْمُحْتَرِقَنْ  ( )  مُشْتَبِهِ الأَعْلَامِ لَمَّاعٍ الْخَفْقَنْ
Banyak sekali tempat yang tak seorang pun bisa menempuhnya karena banyak keserupaan dan tidak jelasnya. Namun untaku mampu menempuh dan menemukannya. (Ru’bah bin Ujaj)
(maksudnya ia seorang pemberani atau ia orang yang sangat mengerti dan faham gurun pasir)
الْمُحْتَرِقَنْ asalnya الْمُحْتَرِقْ , kemudian dimasuki nun lil wazni (untuk menyesuaikan wazan), lalu membutuhkan mengharokati qof supaya selamat dari bertemunya dua huruf yang mati.

TANBIH !!!

Tidak semua tanwin bisa masuk kalimah isim, ulama sepakat ada empat tanwin yang khusus masuk pada kalimah yaitu : tanwin  tamkin , muqobalah, I’wadl,  dan tanwin tankir,  dan ada empat tanwin lagi yang kekhususannya masuk pada isim dipertentangkan oleh para ulama. Yaitu tanwin dhoruroh, ziyadah, taksir dan hikayah. Namun mengikuti qoul yang rojih, empat tanwin tersebut masuk khusus pada kalimah isim, sedang tanwin taronnum dan gholi menurut qoul rojih bisa masuk pada kalimah isim, fiil dan huruf.[24]

b) Tanda Isim Berupa Jar
Tanda kalimah isim yang kedua adalah Al-khafhu. Istilah Khofadh merupakan istilah Ulama’ Kufah ,  sedang Ulama’ Basroh mengistilahkan  dengan Jar . Menurut Istilah Nahwu  Khofadh  adalah :
تَغْيِيْرُ  مَخْصُوْصٍ عَلاَمَتُهُ  الْكَسْرَةُ  وَمَا نَابَ عَنْهَا
Yaitu perubahan  tertentu  yang ditandai dengan kasroh  dan perkara ynag mengantinya .
Contoh    بِسْمِ اللَّهِ  الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ  
       Dalam contoh ini  mengisyarohkan  bahwa  khofadz  / jar  itu  disebabkan oleh tiga hal , yaitu :
a)     karena masuknya huruf jar  بِا سْمٍ
b)     Idhofah  , seperti lafadz   بٍسْمِ اللّهِ
c)      Tabi’  ( mengikuti  lafadz lain  , seperti sifat  ) seperti   lafadz أَلرَّحْمَنِ

TANBIH  !!!  [25]

I’rob  Khofadh hanya tertentu masuk pada kalimah isim , tidak bisa masuk pada kalimah Fiil  dan huruf ,  karena khofadh adalah tandanya Mudhof Ilaih , sedang Mudhof ilaih  hanya berupa kalimah Isim atau asal dalam I’rob adalah kalimah Isim , sedang Fiil Mudhori’ di I’robi karena ada keserupaan/ kesamaan dengan kalimah Isim , kemudian ulama ingin membedakan yang asal  yaitu Isim  dengan mengunakan I’rob Khofadh  supaya tidak ada keserupaan antara yang asal dengan  yang cabangan .

c)  Tanda Isim Berupa Nida’
     Nida’ yaitu memanggil dengan menggunakan huruf ya’ atau salah satu dari saudaranya.
Contoh : يَا زَيْدُ
Nida’ menjadi tanda kekhususannya kalimah isim, karena hakikatnya munada (lafadz yang dipanggil) adalah maf’ul bih dan maf’ul bih hanya bisa terjadi dari isim.[26]

d) Tanda Isim Alif dan Lam ( اَلْ )
Menerima masuknya Al merupakan alamat isim baik yang berupa Al Ma’rifat, ziyadah dan maushulah.
Contoh :
Al Ma’rifat : الرَّجُلُ
Al Ziyadah : الْعَبَّا سُ
Al Maushul            : الضَّارِبُ

CATATAN !!!

·         Ulama terjadi khilaf didalam Al Maushul.[27]
a.    Menurut Imam Al-Fakihi berpendapat al Maushulah hanya masuk pada kalimah isim tidak masuk pada kalimah fiil, kecuali dhorurot syiir.
b.    Menurut Imam Ibnu Malik berpendapat Al Maushulah bisa masuk pada fiil mudhori’ dalam tingkah ihtiar.
Contoh : مَااَنْتَ بِالْحَكَمِ التُّرْضَى حُكُوْمَتُهُ
·         Al Istifhamiyah hanya masuk pada fiil madhi.[28]
Contoh : اَلْ فَعَلْتَ  bermakna هَلْ فَعَلْتَ
·         Para ulama menentukan Al hanya masuk pada kalimah isim, karena Al berfaidah menta’yin mahkum alaih (menentukan perkara yang dihukumi), sedang mahkum alaih hanya berupa kalimah isim.[29]

e)  Tanda Isim Berupa Isnad Ilaih (disandari hukum)
Isnad yaitu sifat yang menunjukkan bahwa musnad ilaih (perkara yang disandari hukum) adalah isim.
Contoh : زَيْدٌ قَائِمٌ  Zaid berdiri.
(hukum berdiri disandarkan pada Zaid)

TANBIH !!!

Kalimah fiil dan huruf tidak bisa diisnadi hukum, hal itu karena fiil adalah kabar (hukum) dan ketika kabar disandarkan pada sesamanya, maka Mukhatab tidak bisa mengambil faidah, begitu pula kalimah huruf tidak boleh diisnadi hukum (kabar), karena kalimah huruf tidak memiliki makna tanpa dibantu lafadz lain oleh karena itu mengisnadkan sesuatu pada huruf tidak akan memberi faidah, begitu pula kalimah huruf diisnadkan pada kalimah yang lain juga tidak berfaidah.[30]

2.    TANDA-TANDA KALIMAH FIIL
          Kemudian mushanif menjelaskan bahwa fi’il akan berbeda dengan isim dengan tanda-tanda sebagai berikut :
1.   Ta’ Fa’il[31]
Kalimah fi’il bisa ditandai dengan masuknya ta’ fa’il secara mutlak.
Jika di baca dlomah menunjukan arti mutakalim.
Seperti : فَعَلْتُ saya (telah) bekerja.
jika di baca fathah menunjukan arti mukhotob.
Seperti : فَعَلْتَ kamu (telah) bekerja.
Jika di baca kasroh menunjukan arti mukhotobah.
Seperti : فَعَلْتِ kamu perempuan (telah) bekerja.
2.   Ta’ ta’nis as-sakinah[32]
Bisa kemasukan ta’ ta’nis yang mati (As-sakinah) termasuk tanda kalimah fiil.
Contoh :  بِئسَتْ , نِعْمَتْ , أَتَتْ
Sedang ta’ ta’nis yang berharokat bukan termasuk tanda fiil, karena bisa masuk pada kalimah isim dan huruf.
Contoh :
Yang isim : مُسْلِمَةٌ
Yang huruf :ثُمَّتَ , رُبَّتَ , لاَتَ
Membaca sukun pada ta’ ta’nis yang ada lafadz رُبَّ diucapkan
 :ثُمَّتْ , رُبَّتْ
     Penyukunan yang ada  pada ta’   ta’nist bersifat  asal  , dengan tujuan  untuk  menyeimbangkan  ringannya sukun dengan  beratnya fiil  , karena fiil   menunjukkan  dua makna , yaitu  hadast / pekerjaaan   dan zaman . Ta’ ta’nist  terkadang diharokati dikarenakan  ada alasan  yang bersifat  baru (  tidak asal )
Contoh :
a) Di kasroh  قَا لَتِ اْلأَعْرَبُ  أَمَنَّا   
(Diharokati kasroh untuk menolak bertemunya dua huruf mati )
b) Di fathah قَا لَتَا  أَتَيْنَا  طَا ئِعِيْنَ   
 ( Diharokati  fathah  untuk munasabah  dengan alif tasniyah )
c) Di dhommah  وَقَالَتُ اخْرُجْ   
 ( Diharokaati  dhommah  karena  mengikuti  Qiro’ah  yang dibaca dhommah .

3.   Ya’ fail
Bisa kemasukan ya’ fail termasuk tanda kalimah fiil, ya’ fail ini bisa bertemu fiil amar dan fiil mudhori’.
Contoh :
a)   Fiil amar : افْعَلِي bekerjalah kamu (seorang perempuan)
b)  Fiil mudhori’ : تَضْرِبِيْنَ kamu (seorang perempuan) sedang bekerja.
4.   Nun taukid
Bisa kemasukan nun taukid, baik tasqilah atau khofifah. Termasuk tanda kalimat fiil.
Contoh :
·         Nun taukid tsaqilah اَقْبِلَنَّ ( sungguh ) menghadaplah
·         Nun taukid khofifah اَقْبِلَنْ ( sungguh ) menghadaplah

سِوَاهُمَا الْحَرْفُ كَهَـــلْ وَفِى وَلَمْ      فِعْلٌ مُضَارِعٌ يَلِي لَمْ كَيَشَمْ
وَمَـــــــــاضِيَ الأَفْعَالِ بالتَّا مِزْ وَسِمْ        بِالنُّونِ فِعْلَ الأَمْرِ إِنْ أَمْرٌ فُهِمْ

v  Selainnya kalimah ( yang menerima tandanya ) isim dan fiil adalah kalimah huruf, seperti lafadz هَلْ , قِي,  dan  لَمْ . fiil mudhori’ (memiliki tanda yang khusus) yaitu bisa kemasukan لَمْ , seperti lafadz لَمْ يَشَمْ
v  Fiil madli dibedakan ( dari fiil amar dan fiil mudhori’) dengan bisa kemasukan Ta’  baik ta’ fail atau ta’ ta’nis As-sakinah. Fiil amar (memiliki tanda yang khusus yaitu) bisa menerima nun taukid besertaan menunjukkan ma’na perintah dengan sighotnya.

KETERANGAN BAIT NADZAM

1.   TANDA KALIMAH HURUF
Tanda kalimah huruf[33] itu sifatnya ‘Adamiyah (tidak wujud), yaitu tidak pantas menerima tandanya kalimah isim dan fiil. Kalimah huruf dibagi menjadi dua,yaitu:
ü Kalimat huruf yang tidak tertentu (Ghoiru muhtash)
Yaitu kalimah huruf yang bisa masuk pada kalimah isim dan fiil, seperti هَلْ
Contoh:      yang isim        هَلْ زَيدٌ قَائِمٌ    Apakah Zaid berdiri?
yang fiil           هَلْ قاَمَ زَيْدٌ     Apakah Zaid (sudah) berdiri?
ü Kalimah huruf yang muhtash
Yaitu kalimah huruf yang masuknya ditentukan pada satu kalimah.     Huruf yang muhtash ada dua, yaitu :
a)  Tertentu masuk pada kalimah isim, seperti : قِي
Contoh:    زَ يْدٌ فِي الدَّارِ       Zaid di dalam rumah.                                                             
b) Tertentu masuk pada kalimah fiil, seperti : لَمْ
Contoh :     لَمْ يَقُمْ زَيْدٌ        Zaid tidak berdiri.

2.   TANDA KHUSUS FI’IL MUDHORI’
Di awal telah disebutkan tanda-tanda kalimah fiil secara global, kemudian Nadzim memperincinya, bahwa tanda fiil mudhori’ yang khusus  (sehingga berbeda dari fiil madli dan amar) yaitu bisa kemasukan huruf  لَمْ
Contoh : لَمْ يَشَمْ      dia tidak membau (mencium).
                 لَمْ يَضْرِبْ  dia tidak memukul.

3.   TANDA KHUSUS FI’IL MADLI
Yaitu bisa kemasukan ta’ secara mutlaq, baik ta’ fiil atau ta’ ta’nis As-sakinah.
Contoh :
a)     تَبَارَكْتَ                 Semoga kamu bertambah kebaikan.
b)     فَعَلَتْ                  Dia (seorang perempuan) telah bekerja.

4.   TANDA KHUSUS FI’IL AMAR
Yaitu bisa kemasukan nun taukid besertaan menunjukkan arti perintah dengan sighotnya “tidak melalui lam amar” (amar bish-shighot)
Contoh : اِضْرِبَنْ             (sungguh) memukullah.
                اُخْرُجَنَّ             (sungguh) keluarlah.

TANBIH !!!

Lafadz yang menunjukan arti perintah, tetapi dengan perantaraan lam amar, menurut istilah Nahwu tidak dinamakan fiil amar, tetapi tetap dinamakan fiil mudhori’, walaupun menurut istilah shorof dinamakan amar ghoib.
Seperti : لِيَضْرِبْ      Hendaknya dia memukul
Kalimah yang tidak menunjukan arti perintah, tetapi bisa kemasukan nun taukid , maka ada kalanya fiil mudhori’ atau fiil taajjub.
Contoh :  يَضْرِ بَنَّ                (sungguh) Dia sedang memukul.
اَ حْسِنْ بِزَيْدِ           (sungguh) mengagumkan kebaikan Zaid.


وَالأَمْرُ إِنْ لَمْ يَكُ لِلنُّونِ مَحَلْ           فِيْهِ هُوَ اسْمٌ نَحْوُ صَهْ وَحَيَّهَلْ

Lafadz yang menunjukan arti perintah, apabila tidak pantas kemasukan nun taukid, maka dinamakan isim fiil, seperti lafadz صَهْ  dan حَيَّهَلْ

KETERANGAN BAIT NADZAM

1.   ISIM FIIL
Yaitu kalimah yang menujukan arti fiil, tetapi tidak bisa menerima tanda kalimah fiil.
Isim fiil dibagi menjadi tiga, yaitu :
a)       Isim fiil madli
Yaitu kalimah yang menunjukkan arti hadats yang terjadi pada zaman madli, tetapi tidak bisa kemasukan ta’ (baik ta’ fail atau ta’ ta’nis as-sakinah)[34]
Contoh:
a)        Lafadz  شَتَّانَ  bermakna  اِفْتَرَقَ  (berpisah)
b)       Lafadz  هَيْهَاتَ  bermakna  بَعُدَ  (jauh)
b)       Isim Fiil Mudhori’
Yaitu kalimah yang menunjukan arti hadast yang terjadi pada zaman madli, tetapi tidak bisa kemasukan huruf  لَمْ [35]           contoh :
a)        Lafadz أوَّاهْ  bermakna  أتَوَجَّعُ  (saya merintih kesakitan)
b)       Lafadz أُفٍّ  bermakna  أتَضَجَّرُ  (saya mencegah)
c)        Lafadz   وَيْbermakna  أعْجَبُ  (saya kagum)
c)        Isim Fiil Amar [36]                                                                        
Yaitu lafadz yang menunjukan arti perintah, tetapi tidak bisa kemasukan nun taukid.
Contoh :
a)        Lafadz  صَهْ bermakna  اُسْكُتْ  (diamlah)
b)       Lafadz حَيَّهَلْ bermakna اَقْبِلْ  )menghadaplah(

2.   MACAM-MACAM ISIM FI’IL [37]

·           Lafadz yang wajib dinakirohkan         
Seperti : lafadz وَيْهًا  dan  وَاهًا
·           Lafadz yang wajib dima’rifatkan
Seperti :   - Lafadz نَزَالِ bermakna اِنْزِلْ (turunlah)
                 - Lafadz تَرَكِ bermakna اُتْرُكْ (tinggallah)
                 - Dan bab dari keduanya.
·           Lafadz yang boleh dinakirohkan atau dima’rifatkan.
Seperti :   - Lafadz صَهْ (diamlah)
                 - Lafadz مَهْ (cegahlah)

TANBIH !!!

Lafadz yang wajib ditanwini (seperti وَيْهًا ), dan lafadz yang ditanwini secara jawaz (seperti صَهْ ) hukumnya nakiroh, sedang lafadz yang tidak ditanwini hukumnya ma’rifat.[38]

3.   PERSAMAAN ISIM FIIL DAN FIIL[39]
ü  Sama-sama menunjukkan makna yaitu berupa hadats.
ü  Isim fiil pada umumnya sesuai dengan fiil yang menjadi maknanya di dalam muta’adi dan lazimnya.
Yang keluar dari keghalibannya (keumumannya) seperti :
a.         Lafadz آمِيْن
Dalam kalam Arab tidak pernah terdengar lafadz mutaadi pada maf’ul, pada lafadz ini bermakna اِسْتَجِبْ yang mutaadi.
b.         Lafadz اَيْهٍ
Lafadz ini lazim, padahal lafadz ini bermakna زِدْنِي yang mutaadi.
c.          Isim fiil sesuai dengan fiil yang menjadi maknanya di dalam menampakkan fiil dan menyimpannya.

4.   PERBEDAAN ISIM FIIL DAN FIIL
ü  Isim fiil tidak boleh menampakkan dhomirnya.
Seperti kita mengucapkan lafadz صَهْ (diamlah).
Untuk menunjukkan mufrod, tasniyah, jama’, mudzakkar atau muannas, hal ini berbeda dengan lafadz اُسْكُتْ yang boleh diucapkan اُسْكُتَا, اُسْكُتُوْا, اُسْكُتِي
ü  Isim fiil tidak boleh mendahului ma’mulnya.
Maka tidak boleh mengucapkan زَيْدًا عَلَيْكَ , berbeda dengan fiil boleh diucapkan زَيْدًا الْزَمْ
ü  Boleh mentaukidi fiil yang taukid lafdzi dengan isim fiil.
Seperti :     نَزَالِ, اِنْزِلْ             Turunlah, turunlah
                   اُسْكُتْ , صَهْ          Diamlah, diamlah
Tetapi tidak boleh mentaukidi isim fiil dengan fiil.
ü  Fiil jika menunjukkan makna tholab, maka boleh membaca nashab pada fiil mudhori’ yang menjadi jawabnya.
Seperti : اِنْزِلْ فَاُحَدِّثَكَ (berhentilah, maka saya akan bercerita padamu)
Tetapi tidak boleh membaca nashab pada fiil mudhori’ yang menjadi jawabnya isim fiil.
ü  Isim fiil itu hukumnya ghoiru munshorif (tidak bisa ditasrif), maka bentuk lafadznya tidak berbeda karena berbedanya zaman, hal ini berbeda dengan fiil.
ü  Isim fiil tidak bisa menerima alamat fiil.
Seperti : amil nashab, amil jazm, nun taukid, ya’ mukhotobah dan ta’ fail.


[1] Taudlihul Maqashid juz 1 hal. 184
[2] Syarah Asymuni I hal. 20
[3] Syarah Mufashol I hal. 19
[4] Tasywiqul Hillan hal. 10
[5] Syarah Mufashol I hal. 19
[6] Kawakib Ad-Duririyah I hal. 6
[7] ‘Ubadah hal. 44
[8] Tasywiqul Khilan hal. 10
[9] Taudlihul Maqoshid Wa Masalik juz 1 hal 271
[10] Ibnu ‘Aqil juz 1 hal. 25
[11] Syarah Mufashol I hal. 19
[12]   Tasywiq Al-Kholan  Hal  . 16 
[13] Ibnu Hamdun I hal. 20
[14] Asymawi hal. 5
[15] Tasywiqul Khilan hal. 22
[16] Azhariyah hal. 23
[17] Kawakib Ad-Duriyah I hal. 8
[18] Kawakib Ad-Duriyah I hal. 8
[19] Kawakib Ad-Duriyah I hal. 8
[20] Kawakib Ad-Duriyah I hal. 8
[21] Hasyiyah Hudlori I hal. 20
[22] Hasyiyah Hudlori I hal. 20
[23] Hasyiyah Hudlori I hal. 20
[24] Kawakib Ad-Durriyyah I hal. 8
[25]  Kawakib Ad –duriyah  I hal  18
[26] Hasyiyah Hudlori I hal. 21
[27] Hasyiyah Hudlori I hal. 20
[28] Hasyiyah Hudlori I hal. 21
[29] Kawakib Ad-Durriyyah I hal. 9
[30] Syyrah Mufashol I hal. 34
[31] Ibnu Aqil hal. 23
[32] Ibnu Aqil hal.23
[33] Ibnu Aqil hal.23
[34] Taqrirot Al-Fiyyah
[35] Taqrirot Al-Fiyyah hal.4
[36] Taqrirot Al-Fiyyah hal.4
[37] Qadlil Qudlot I hal. 26
[38] Taqrirot Al-Fiyyah hal.4
[39] Ibnu Aqil hal. 26

No comments: