"Manusia
adalah hewan yang sanggup berbicara dan berpikir", mungkin itulah istilah
yang paling tepat untuk mengukur diri kita serta membandingkan dengan
makhluk-makhluk Allah di muka bumi.
Kualitas kita
selaku manusia tidak mungkin diukur dengan hanya bermodalkan rasio, karena
selain dimensi akal memiliki jangkauan terbatas, manusia dalam keadaan sadarnya
akan terus merasakan kekuatannya hanyalah nisbi.
Kenistaan Iblis
menjadi tragedi abadi dan bukti rapuhnya rasionalitas ketika harus dipaksakan
menjangkau semua alam dan jagat raya. Ilmu yang menjadi nilai dari sosok Adam,
hanya dipandang sebelah mata, karena Iblis merasa dialah yang patut menyandang
"makhluk terpandai" di alam raya.
Dua sosok
dengan kelebihannya masing-masing, akhirnya harus berjalan dalam dua dimensi
yang bertolak belakang, menjadi yang termulia dan yang ternistakan.
Itulah ilmu
pengetahuan, meskipun berangkat prinsip yang sama, terkadang sebuah pengetahuan
harus tertambat dalam perhentian yang jauh berbeda.
Nuansa
inilah yang coba diangkat oleh Az-Zarnujî dalam memaparkan kajian dasar-dasar
pendidikan agama dalam Islam.
Bab
Pertama : Esensi Ilmu, Kepahaman Syariat,
Dan Keutamaannya
Kata Nabi,
"Menuntut ilmu adalah sangat wajib bagi laki-laki dan perempuan". Az-Zarnujî
mengungkapkan, kewajiban ini berlaku dalam semua aspek kehidupan, mulai dari
persoalan Ibadah hingga dalam masalah sosial kemasyarakatan. Dan batas
kewajiban tersebut menurut beliau adalah mempelajari ilmu hâl, yakni
pengetahuan tantang setiap perilaku manusia, sehingga ketika mereka hendak
berperilaku, saat itu pula ia harus menuntut ilmu.
Ilmu
pengetahuan dalam Islam menjadi perangkat mulia, karena hanya dengan ilmu
itulah nilai seorang hamba (ketakwaan) akan dapat terangkat. Dan menurut
pengarang, ilmu fiqhlah yang harus menjadi prioritas, karena dengan ilmu ini
manusia akan tahu mana yang benar dan mana yang salah, juga dengan ilmu inilah
kebahagiaan dunia akhirat akan dapat diraih.
Abu Hanifah
memaparkan, fiqh di sini bermakna "mengetahuinya manusia akan kebaikan dan
keburukan bagi dirinya". Lebih lanjut, beliau memberikan catatan penting
tentang makna dan arti pengetahuan, yakni hakikat pengetahuan tidak lain hanyalah
untuk diamalkan. Dan hakikat amal adalah menanggalkan kepentingan duniawi demi kesejahteraan
nanti di akhirat.
Bab Kedua : Niat Ketika Belajar
Hal ini
merupakan persoalan urgen dalam belajar, karena dengan sebuah keteguhan hati,
nilai dari sebuah persoalan akan menjadi lebih bermakna. Seorang pelajar dianjurkan
memulai belajarnya dengan sebuah orientasi jelas. Disebutkan disana, dia harus
bertujuan mencari ridha Allah, menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang
lain, serta berniat mengagungkan serta melestarikan agama Islam. Dengan
orientasi ini, minimal dapat diharapkan sebuah nilai konsistensi yang akan
berlanjut hingga sampai masa-masa perjuangan.
Bab Ketiga : Memilih Bidang Ilmu, Guru, Teman
Dan Konsisten Dalam Menuntut Ilmu
Setiap
individu mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam ilmu pengetahuan. Hanya saja
prioritas utama seorang muslim adalah membenahi nilai keimanannya terlebih
dahulu dengan ilmu tauhid, baru kemudian beralih pada bidang-bidang yang lain. Sedangkan
untuk memilih seorang guru hendaknya seorang pelajar memperhatikan beberapa
faktor, di antaranya, tingkat intelektualitas seorang guru (Al-A'lam),
kualitas kepribadian (Al-Aura') dan senioritas (Al-Asan).
Dalam
belajar, seseorang harus mampu mempertahankan ketekunan (Ats-Tsabât)
dalam bidang pilihannya sebelum beralih mempelajari bidang yang lain. Selain
itu, konsisten terhadap guru yang telah menjadi pilihannya juga menjadi kunci
keberhasilan.
Kecenderungan
untuk berpindah dari bidang satu ke bidang lain dan dari guru satu ke guru yang
lain sebelum tuntas akan mengakibatkan hilangnya konsentrasi hingga akhirnya
mempersempit akses pengetahuan dalam bidang-bidang lainnya. Kata ulama,
"Barangsiapa mumpuni dalam satu bidang pengetahuan, maka ia juga akan
mumpuni dalam bidang-bidang yang lain".
Bab Keempat : Memuliakan Ilmu Dan Ahlinya
"Barangsiapa
mengajarkan satu huruf dari ilmu yang kamu butuhkan, maka ia akan menjadi bapak
dalam agamamu". Dalam kaitan ini, seorang pelajar harus menghargai dan
menghormati setiap hal yang berkaitan dengan ilmu. Mulai dari guru hingga
kitab-kitab atau buku pelajaran yang dikaji.
Menghormati
guru artinya berusaha melegakan hatinya, menghindari kemarahannya serta
melaksanakan setiap perintah selain atas kemaksiatan. Selain itu semua
keluarganya juga harus kita hormati, sebagai bagian dari penghormatan pada guru.
Menghargai
kitab atau buku pelajaran dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya, mengambil
dengan keadaan suci, menata kitab sesuai derajatnya, tidak menaruh barang lain
di atasnya, tidak menjulurkan kaki ke arah kitab atau buku, memperbaiki tulisan
dengan tulisan yang jelas, serta menghindari warna atau tanda merah di dalamnya
(karena termasuk tradisi kaum filsafat).
Termasuk
dari penghormatan yang dianjurkan adalah menyayangi dan menjaga solidaritas
teman belajar, mendengarkan pelajaran dengan seksama dan penuh penghargaan,
hingga pada saat pelajaran itu didengarkan untuk ke seribu kalinya, kualitas
konsentrasi dan penghargaannya tetap sama dengan ketika ia mendengar pada kali
pertama.
Bab Kelima, Keenam Dan Ketujuh : Ketekunan, Cita-cita Dan Waktu Belajar
"Dengan
kadar usahamu, kamu akan meraih masa depanmu. Dan barangsiapa ingin meraih
keutamaan, maka bangunlah pada malam-malammu".
Menurut
sebagian ulama, dalam belajar sangat membutuhkan kesungguhan dari tiga unsur,
pelajar, guru dan orang tua.
Kesungguhan
seorang pelajar, digambarkan oleh Az-Zarnuji, adalah dengan memanfaatkan waktu
sebaik mungkin. Di contohkan di sana, selain waktu siang, waktu di awal dan
akhir malam sebagai waktu yang paling baik dimanfaatkan untuk belajar. Yang
dianjurkan lagi adalah membatasi jam tidur dalam batas tertentu yang
diperlukan, namun tidak diperbolehkan sampai mengabaikan kesehatan diri kita.
Persoalan
urgen berikutnya adalah usaha memantapkan cita-cita (Himmah) yang tinggi
sebagai orientasi yang jelas dan terfokus. Siapapun yang belajar dengan tekun
tanpa cita-cita tinggi, atau bercita-cita tinggi namun tanpa ketekunan, maka
niscaya hanya sedikit ilmu yang dihasilkannya.
Selain itu
usaha lain juga banyak dianjurkan, seperti mengurangi makanan, memulai belajar
di masa muda dan memilih hari Rabo sebagai permulaannya serta lain sebagainya.
Dan yang
tidak kalah penting adalah melakukan diskusi-diskusi (munadharah wa
al-mudzakarah) namun dengan satu tujuan, yakni menghasilkan sebuah
kebenaran bukan sekedar mencari kemenangan.
Bab Kedelapan Dan Kesembilan : Tawakal, Tulus, Saling
Memberi Nasehat.
Hendaknya
seorang pelajar tidak terlalu memprihatinkan keadaan ekonominya serta tidak
perlu susah kehilangan hal-hal duniawinya. Karena hal tersebut berdampak serius
dalam keteguhan hati dan konsentrasi belajar.
Kasih sayang
dan saling menasehati dalam proses belajar mengajar merupakan faktor penting
untuk diperhatikan. Syekh Burhanudin menyampaikan, anak seorang pengajar
menjadi alim sebab dia menginginkan murid-muridnya menjadi orang alim. Artinya,
anaknya menjadi alim dengan sebab berkah keyakinan dan kasih sayangnya.
Bab Kesepuluh : Menggapai Ilmu Dan Menghindari
Larangan (wira'i)
Cara yang
diajarkan Az-Zarnuji untuk memperoleh tambahan ilmu sebanyak-banyaknya adalah
dengan selalu menyediakan alat tulis dan mencatat segala tentang ilmu yang
didengarnya. Dikatakan di sana, "Barang siapa menghapal, maka akan lupa
dan barangsiapa mencatat maka akan tetap".
Wira'i
maksudnya menghindari hal-hal yang kurang layak dilakukan. Termasuk di dalamnya
adalah menghindari kekenyangan, banyak tidur, banyak bicara yang tidak perlu,
menghindari makanan pasar karena selain kurang terjaga kebersihannya, juga
dianggap kurang berkah dan lain sebagainya.
Bab Kesebelas : Hal-hal Yang Memperkuat Hapalan
Dan Yang Menghilangkannya.
Hal-hal yang
paling berpengaruh dalam usaha memperkuat daya hapal di antaranya adalah
ketekunan, kontinuitas, mengurangi makanan, menggosok gigi, shalat malam,
memperbanyak shalwat dan membaca Al-Qur'an serta lain sebagainya.
Namun yang
paling harus dihindari sebagai faktor utama adalah meninggalkan segala bentuk
kemaksiatan. Seperti As-Syafi'i pernah mengatakan, "Aku mengadukan
jeleknya hapalanku kepada guru Waki'. Dan beliau memberi petunjuk padaku untuk
meninggalkan kemaksiatan".
Kemudian
hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi pelupa atau menghilangkan hapalan
sebagaimana memakan apel masam, memandang orang yang disalib, membaca tulisan
nisan di pemakaman, menjatuhkan kutu yang masih hidup ke tanah, dan lain
sebagainya.
Bab Kedua belas : Hal-hal Yang Memudahkan Rejeki
Dan Memanjangkan Umur
Segala
bentuk dosa akan menghalangi manusia mendapatkan kemudahan dalam memperoleh
rejeki, terlebih ketika sering melakukan kebohongan. Terlalu banyak tidur
terlebih tidur ketika waktu shubuh, tidur atau kencing telanjang, menyapu rumah
saat malam hari, berjalan di depan orang tua, memanggil orang tua dengan
namanya, mencuci tangan dengan lumpur atau debu dan sebagainya tergolong dapat
mempersulit rejeki dan bukan termasuk yang bisa menambah umur dan kesehatan.
Salah satu
hal yang dapat menambah rejeki adalah pada setiap hari mulai ketika
tersingkapnya fajar hingga waktu shalat, membaca "Subhanallahil Adzim
Subhanallah wabi hamdihi Astaghfirullah wa Atubu ilaih" seratus kali.
Dan juga membaca "La Ilaha Illa Allah Al Malikul Haqqul Mubiin"
setiap hari pagi dan sore.
Kesimpulan
dari pemaparan di atas, bahwa konsep ini merupakan hasil telaah matang dengan
disertai bukti-bukti lapangan yang valid.
Dan dari
beberapa kajian ini perlu kiranya kita tegaskan sekali lagi, dimensi ini
merupakan konsep utuh dalam pendidikan Islam yang berorientasi bukan hanya
sekedar mentransfer ilmu pengetahuan secara efektif, akan tetapi konsep ini
memiliki orientasi pembentukan nilai sempurna pada seorang pelajar. Karena ilmu
pengetahuan dalam Islam bukan hanya berstandarkan kualitas intelektualitas,
akan tetapi juga diukur dari tolak ukur pengejawantahan dalam berbagai bidang.
Artinya, ilmu itu sendiri akan bernilai tanpa didukung nilai amaliah yang
memadai.
No comments:
Post a Comment