A.PROLOG
Terdapat dua hal yang secara dominan
mempengaruhi dinamika dan struktur sosial masyarakat, khususnya Jawa, yaitu
agama dan budaya lokal. Dalam masyarakat Jawa, dua hal tersebut memiliki
peranan penting dalam membentuk karakter khusus perilaku sosial yang kemudian
sering disebut sebagai “jati diri” orang Jawa. Karakter khusus dimaksud
mewarnai hampir di semua aspek sosial masyarakat Jawa baik secara politik,
ekonomi maupun sosial budaya.
Struktur sosial masyarakat Indonesia (Jawa
khususnya) bisa kita klasifikasikan ke dalam tiga golongan, yakni santri,
priyayi dan abangan. Klasifikasi ini membuktikan adanya dominasi agama dan
budaya lokal dalam membentuk struktur sosial. Masyarakat santri merupakan
representasi dari dominasi agama, sementara masyarakat priyayai dan abangan
adalah representasi dari kuatnya pengaruh budaya lokal. Elaborasi agama dan
budaya lokal pada akhirnya menampilkan corak sosial masyarakat Jawa yang agamis
akan tetapi masih berpegang teguh pada budaya leluhur dalam interaksi sosial.
Permasalahan yang sebenarnya bukan terletak
pada pilihan seseorang terhadap salah satu diantara konsep agama dan budaya
atau menerapkan keduanya, akan tetapi kesadaran terhadap perbedaan nilai-nilai
substantif yang dikandung oleh agama dan budaya. Agama diyakini memiliki
nilai-nilai transenden sehingga sering dipahami sebagai suatu dogma yang kaku.
Sementara nilai-nilai budaya relatif dipandang lebih fleksibel sesuai
kesepakatan-kesepakatan komunitas untuk dijadikan sebagai standar normatif.
Karena adanya perbedaan karakter agama dan
budaya itulah maka seringkali nilai-nilai agama dipertentangkan dengan
nilai-nilai budaya lokal yang sebenarnya telah sama-sama mempengaruhi perilaku
sosial seseorang.
Oleh karenanya, diperlukan sebuah kearifan
serta pandangan kritis terhadap konsep-konsep agama dan budaya lokal yang
membentuk perilaku normatif masyarakat Jawa agar tidak terjadi kesalahan dalam
memandang nilai-nilai luhur budaya lokal serta tidak terjebak dalam penerapan
ajaran agama yang statis, dogmatis dan kaku yang tercerabut dari nilai-nilai
Islam yang rahmatan lil 'alamin.
B.
Perilaku Normatif Budaya
Lokal
Penciptaan manusia yang dibekali akal pikiran menjadikan ia sebagai
makhluk yang mampu berkreasi membentuk perilaku-perilaku normatif dan
melepaskan mereka dari perilaku-perilaku binatangisme. Kreatifitas akal pikiran
ini pada tahapan berikutnya menjadikan manusia sebagai suatu komunitas yang
memiliki adat istiadat, tradisi, budaya dan peradaban, yaitu gagasan-gagasan
tertentu atau sudut pandang tertentu yang berkaitan dengan apa yang umumnya
dianggap baik (maslahah) oleh akal dan pikiran. Suatu tingkah laku yang secara
naluri akal pikiran dianggap baik dan diyakini memberikan kemaslahatan serta
mendapatkan kesepakatan secara kolektif, maka tingkah laku tersebut akan mejadi
perilaku normatif masyarakat yang disebut adat istiadat, tradisi, budaya atau
peradaban.
Pada gilirannya, perilaku normatif ini (adat budaya) akan menjadi
sudut pandang (pedoman) tersendiri yang diadopsi manusia dalam mengarahkan
tingkah laku kehidupan dan interaksi sosialnya. Dengan kata lain, perilaku
seseorang akan selalu diarahkan dan dibimbing oleh pengaruh sudut pandang-sudut
pandang adat atau budaya yang mengitari lingkungan sekitarnya, baik dalam
konteks hubungan horizontal yang berkaitan dengan interaksi kemasyarakan
seperti konsep politik, ekonomi, moral dll. maupun hubungan vertikal yang
berkaitan dengan akidah, keyakinan dan ritual ibadah.
Pengaruh adat istiadat atau budaya terhadap kehidupan politik bisa
kita saksikan misalnya (di Indonesia) dengan kemunculan partai-partai politik
yang memiliki idiologi nasionalis, dalam ranah ekonomi dapat kita lihat dari
pertarungan sistem ekonomi kapitalis yang hanya memberikan peluang kepada kaum
pemodal dan cendrung menindas wong cilik, dengan sistem ekonomi lokal
yang peduli dan ramah dengan pelaku ekonomi tingkat bawah. Fakta ini
membuktikan adanya titik singgung antara sistem asing dengan sistem yang
merupakan budaya lokal. Dalam ranah moralitas bisa kita amati betapa orang Jawa
begitu mengedepankan nilai-nilai kesopanan, gotong-royong dan tepo-sliro
(toleran) dalam kehidupan bermasyarakat dan jauh dari sikap individualis,
hedonis dan liberalis.
Demikian juga pengaruh adat istiadat atau budaya terhadap kehidupan
keagamaan bisa kita jumpai dari beragam ritual di masyarakat. Lebih-lebih di
masyarakat Jawa, fenomena ini sangat kental sekali mewarnai kehidupan mereka.
Seperti dalam masa kehamilan ada acara telon-telon ketika kandungan
usia 3 bulan, tingkepan ketika kandungan usia 6 bulan dll. Dalam
kelahiran bayi ada acara sepasaran, selapanan, piton-piton,
tiron-tiron dll. Dalam pernikahan ada istilah acara ngunggahke beras,
temu manten dengan berbagai ritual dan seremonialnya, seperti kedua
mempelai diminumi, disiram air bunga, menginjak telor, dibuatkan bermacam-macam
asesoris dari janur kuning berupa kembar mayang dll. Dalam kematian ada acara telung dinonan, pitung dinonan, patang puluh
dinonan, satus dinonan, sewu dinonan dengan membuat kue berupa apem,
menyebar beras kuning dan lain seterusnya.
Adat istiadat tersebut juga bisa kita jumpai
dalam momen-momen tertentu, seperti ritual selamatan ketika hendak membangun
rumah, ketika akan menggarap sawah atau kebun, ketika panen, membuat bubur
ketika bulan As-Syuro, membuat ketupat ketika lebaran dan lain sebagainya. Lebih dari itu, dalam kehidupan masyarakat
Jawa juga kita jumpai adat tradisi yang dikenal dengan istilah hitungan
primbon. Yaitu suatu metode hitungan yang mengacu pada weton (kelahiran)
untuk menentukan hari baik yang biasanya digunakan pertimbangan dalam memilih
jodoh, karir atau pekerjaan dan lain sebagainya.
Demikianlah diantara aneka ragam ritula-ritual
yang dapat kita jumpai dalam kehidupan masyarakat Jawa, yang kesemuanya telah
menjadi adat tradisi yang diwarisi secara turun-menurun dari para leluhur dan
diyakini sebagai perilaku yang baik dan memberikan kemaslahatan. Bahkan dalam
tataran tertentu, orang yang tidak mengindahkan adat tradisi tersebut akan
dianggap gak ilok (tabu) oleh masyarakat.
C.
Tinjauan Hukum Syar'i
Apabila ditinjau
melalui konteks legal-formal (baca: fiqh), secara umum nuansa ritual-ritual
seperti di atas pada dasarnya merupakan praktek ibadah yang memiliki motif tawasul
atau tafa'ul, yang melibatkan faktor keyakinan dan tasaruf.
1. Tawasul
Dalam kacamata Islam
(Ahli Sunnah wal Jama'ah), ritual tawasul dianggap legal apabila
disertai keyakinan yang lurus dan terbebas dari unsur-unsur syirik. Dalam arti,
tawasul hanya diposisikan sebagai sarana ikhtiar (wasilah) untuk memohon
kepada Allah dan tetap meyakini hakikatnya hanya Allah semata yang mutlak
memiliki qudrah dalam segalanya, dan bukan pihak yang dijadikan obyek tawasul.
Allah berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
|
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya". (QS. Al-Ma'idah : 35)
|
Keyakinan bahwa makhluk
memiliki kekuatan tersendiri yang telah diciptakan olah Allah dalam diri
makhluk (sebagaimana paham Mu'tazilah), menurut akidah Ahli Sunnah dianggap
fasik dan bid'ah, bahkan menurut sebagian ulama divonis kafir. Demikian juga
tidak dibenarkan (jâhil) keyakinan bahwa hakikat segalanya berasal dari
Allah tetapi masih meyakini dalam sunnatullah ada hubungan kausalitas
(sebab-akibat) yang lazim secara akal.
Menurut paham Ahli
Sunnah, hubungan kausalitas bisa dibenarkan apabila diyakini kelaziman
sebab-akibat terjadi hanya secara âdah rabbâniyyah (kebiasaan iradah
Allah). Dalam arti, ketika ada sebab, maka musabab "biasanya" pasti
ada, dan boleh jadi "kebiasaan" tersebut tidak terjadi. Dalam akidah
Ahli Sunnah, hukum kausalitas hanya bersifat kebiasaan, yang dalam suatu waktu
boleh tidak berlaku.[1]
2. Tafa'ul
Adapun ritual tafa'ul
(menaruh harapan baik pada sesuatu) dalam Islam dianggap legal, lantaran tafa'ul
secara substansial memiliki esensi positif yang bisa mengantarkan pada
kewajiban husnudhan kepada Allah.
Dengan demikian,
apabila dalam tafa'ul masih terbersit kekhawatiran atau ketakutan akan
terjadinya hal-hal negatif jika tidak melakukan ritual, dan kekhawatiran
tersebut tanpa alasan yang mendasar secara adat, maka ritual tersebut sudah di
luar konsep tafa'ul yang diperbolehkan. Sebab, ritual yang demikian
sudah termasuk praktek mengundi nasib yang diharamkan dalam Islam karena
tergolong sikap su'udhan kepada Allah.[2]
Dalam sebuah hadits Qudsi, Rasulullah saw. bersabda:
أناَ عِندَ
ظَنِّ عَبْدِي بِي فَليَظُنّ بِي خَيْرًا
|
"Aku (Allah), sesuai dengan prasangka hamba-Ku terahadap-Ku,
maka berprasangka baiklah kepada-Ku".
|
Kekhawatiran atau
ketakutan (khauf) akan terjadinya hal-hal negatif yang menimpa, dalam
Islam disebut sikap tathayyur atau tasyâ'um. Kekhawatiran atau
ketakutan seperti ini termasuk sikap su'udhan kepada Allah yang tidak
diperbolehkan kecuali memang didasari oleh kebiasaan (âdah) yang mutharridah
(pasti) atau aktsariyyah (umum).[3]
Dengan demikian, segala
bentuk ritual tafa'ul karena ada motif kekhawatiran atau ketakutan
hukumnya haram sepanjang kekhawatiran atau ketakutan tersebut tidak dilatari
adanya kebiasaan (âdah) yang mutharridah (pasti) atau aktsariyyah
(umum). Di samping itu, legalitas tawasul atau tafa'ul di
dalamnya juga harus terhindar dari unsur idlâ'atul mâl. Yaitu
menasarufkan materi tanpa ada nilai kemanfaatan yang kembali secara langsung
maupun tidak langsung, seperti sesaji yang dibiarkan tanpa dimanfaatkan.[4]
D. Akulturasi Ajaran Agama dan Tradisi Budaya
Islam, dengan segenap universalitas syariat
yang dibawanya adalah agama yang sempurna dan paripurna sebagai pedoman segala
dimensi kehidupan manusia. Allah swt. berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
|
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu". (QS. Al-Maidah : 3)
|
Kesempurnaan dan keparipurnaan Islam sebagai pedoman kehidupan
bersifat integral-universal yang melampaui batas-batas geografis dan zaman.
Nilai-nilai ajaran Islam bersifat absolut, abadi dan berlaku untuk semesta
sepanjang masa, berlaku untuk seluruh budaya dan peradaban serta berlaku untuk
segala suku bangsa manapun. Allah swt. berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
|
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam". (QS. Al-Anbiya' : 107)
|
Tidak ada satu pun
dimensi kehidupan manusia yang luput dan tak tersentuh oleh hukum Islam,
termasuk adat-istiadat maupun tradisi budaya dan peradaban. Islam memiliki
aturan formal yang baku dan tegas mengenai legalitas ritual-ritual yang
dipengaruhi tradisi atau budaya lokal seperti yang telah diuraikan di sub
sebelumnya.
Kendati demikian, kehadiran
Islam sebagai agama sebenarnya bukanlah untuk menolak segala adat atau budaya
yang telah berlaku di tengah masyarakat. Tradisi dan budaya yang telah mapan
dan memperoleh kesepakatan kolektif sebagai perilaku normatif, maka Islam tidak
akan merubah atau menolaknya melainkan mengadopsinya sebagai bagian dari budaya
Islam itu sendiri dengan membenahi dan menyempurnakannya berdasarkan
nilai-nilai budi pakerti luhur yang sesuai dengan ajaran-ajaran syariat.
Rasulullah saw. bersabda:
إنمَا
بُعٍثتُ لِأُُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ
|
"Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan keluhuran budi
pakerti."
|
Sekedar untuk menyebut
contoh bahwa kehadiran Islam bukan untuk menolak segala tradisi yang telah
berlaku adalah disyariatkannya ritual Sa'i di bukit Shafa dan Marwa, di mana
pada pra-Islam ritual Sa'i sudah menjadi adat orang-orang Jahiliah.[5]
Hal ini seperti tergambar jelas dalam asbâbun nuzûl
surat Al-Baqarah : 158
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ
مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا
|
|
"Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari
syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau
ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara
keduanya". (QS. Al-Baqarah : 158)
|
Dalam ranah hukum
Islam, kita juga bisa jumpai beberapa contoh lain yang diadopsi dari adat
budaya Jahiliyah dan dilestarikan ke dalam Islam seperti diyâh, qasâmah,
qirâdl, memasang qiswah (selambu) Ka'bah dan lain sebagainya dari
perilaku-perilaku normatif sosial yang bisa diterima kebenarannya oleh aqlus
salim. Sepanjang adat tradisi dan budaya lokal secara
subtansial tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka Islam akan menerimanya
menjadi bagian dari tradisi dan budaya Islam itu sendiri. Rasulullah saw.
bersabda:
مَا رَآهُ المُسْلِمُونَ
حَسَنًا فَهُوَ عِندَ اللهِ حَسَنٌ
|
"Apa yang dilihat baik oleh orang Islam, maka hal itu baik
pula di sisi Allah".
|
Apabila ditilik dari
latar belakang historisnya, sebenarnya tidak diragukan bahwa ritual-ritual
masyarakat Jawa seperti diuraikan di atas bukan berasal dari ajaran Islam
melainkan dari peninggalan adat tradisi budaya lokal yang diwarisi dari
masyarakat Hindu-Buda sebelum kehadiran Islam di Jawa, yang kemudian
dilestarikan dalam amaliah keagamaan masyarakat Islam Jawa setelah ada usaha
akulturasi antara ajaran agama dengan budaya lokal yang dipelopori oleh Sunan
Kali Jaga sebagai strategi dakwahnya. Yaitu mengadopsi budaya-budaya lokal
kemudian memasukkan ruh-ruh keislaman ke dalamnya. Seperti tetap melestarikan
adat tingkepan, selapanan, telon-telon, piton-piton, telung
dinonan, pitung dinonan, dll. namun mengisinya dengan amaliah-amaliah Islam
seperti membaca Al-Qur'an, shalawat, tahlil, mengirim doa untuk leluhur,
sedekah dan ibadah-ibadah lain yang dianjurkan dalam Islam.
Strategi dakwah dengan
akulturasi ajaran agama dan budaya ini terbukti lebih efektif dalam
keberhasilan penyebaran Islam di Jawa dibanding penerapan ajaran agama yang
terlalu dipaksakan yang tak jarang justru mengundang penolakan dan menimbulkan problem-problem
sosial yang mengganggu stabilitas politik, keamanan, sosial dan ekonomi secara
umum dan justru bisa menghilangkan akar budaya masyarakat Jawa yang dikenal
ramah, toleran dan permisif.
Dalam firman-Nya, Allah
swt. telah mengajarkan bagaimana etika dalam mengajak umat menuju jalan Allah,
yaitu dengan cara-cara yang lemah lembut, tidak arogan dan dengan bahasa serta
sikap yang penuh hikmah. Allah swt. berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ
اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا
مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
|
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka". (QS. Ali Imran : 159)
|
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
|
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik." (QS. Al-Anbiya' : 107)
|
Lebih dari itu, adalah
fakta bahwa penerimaan terhadap Islam di Jawa tidak terlepas dari strategi
dakwah yang secara elegan mau menerima bahkan mengadopsi nilai-nilai budaya
lokal yang secara substansial tidak bertentangan dengan Islam. Dalam konteks
seperti ini, akulturasi bisa dipahami sebagai penengah antara ketaatan beragama
yang bersifat dogmatis dengan penghargaan terhadap nilai-nilai tradisi budaya
lokal yang bersifat fleksibel dan berakar pada kolektifitas.
E.
Sebuah Refleksi
Dalam konteks dakwah
penyebaran Islam, seharusnya kita mampu memposisikan diri sebagai orang yang
bisa menerima kehadiran agama dan nilai-nilai luhur suatu budaya secara
proporsional, dan jangan sampai memposisikan diri sebagai orang yang hanya
mengakui nilai-nilai agama sebagai satu-satunya konsep yang mengarahkan
perilakunya tanpa peduli pada nilai-nilai budaya lingkungan sekitar. Demikian
juga sebaliknya, jangan sampai kita tampil di masyarakat sebagai orang yang
hanya berpakem pada budaya dan tradisi tanpa pertimbangan-pertimbangan yang
bersumber dari agama. Sebab, bagaimanapun perilaku normatif dan budaya Jawa dengan
kekhasan yang dimilikinya, telah turut menentukan model pengamalan ajaran agama
Islam masyarakat Jawa.
Oleh karenanya,
diperlukan sikap yang bijak dalam memahami dan mengaktualisasikan ajaran Islam
dalam perilaku dan interaksi sosial. Dengan pemahaman
seperti ini, ide gerakan pribumisasi ajaran Islam di Jawa ataupun Indonesia,
diharapkan akan bisa dicapai. Karena, membumikan ajaran-ajaran keislaman ke
dalam tradisi dan budaya lokal yang secara substansial tidak bertentangan
dengan Islam kiranya jauh lebih penting dari pada usaha arabisasi seperti yang
digalakkan oleh sementara kalangan yang cenderung hanya mementingkan sisi
platform dan performa Islam daripada nilai-nilai dan ruh keislaman yang lebih
luhur dan mendalam. |KD| WaAllahu A'lam.
No comments:
Post a Comment