Kepada dunia, bahwa sama sekali tidak dapat di tolelir segala bentuk tindakan asusila ataupun asosial yang di lakukan terhadap kaum wanita, sebab telah lama Islam menyuarakan dengan lantang; wanita adalah juga makhluk Tuhan yang harus dihargai dan dihormati. Mereka punya hak aktif dan peran strategis baik di wilayah domestik maupun wilayah publik. Perjuangan Islam akan hak-hak ini didasari oleh betapa komunitas wanita di perlakukan dengan tidak manusiawi. Mereka bukan hanya di marginalkan, bahkan merekapun sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Menyikapi realita diatas Alloh SWT berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ ( البقرة 222 )
Ayat di atas merupakan jawaban reaktif dari Islam terhadap segala perlakuan marginal dan diskriminasi yang telah dilakukan orang-orang Yahudi terhadap istrinya di kala sedang haidl. Bahkan mereka mengusirnya dari rumah.
Kini zaman telah berubah, Islam telah meletakkan dasar-dasar emansipasi yang sampai saat ini masih menjadi isu hangat dalam berbagai diskusi. Ironisnya, keasyikan berdiskusi tentang hak-hak reproduksi wanita ternyata tidak diimbangi dengan pengkajian terhadap kondisi wanita, lebih-lebih dalam masalah haidl. Akibatnya, banyak diantara mereka yang justru mengalami sendiri, tidak mengerti tentang apa yang mesti di lakukan, sehingga problema seputar masalah haidl terkesan menjadi materi yang sulit dan rumit untuk di pelajari.
Haidl
Haidl, atau biasa disebut menstruasi, secara harfiah (lughot) mempunyai arti mengalir. Sedangkan menurut arti syar’i adalah darah yang keluar melalui alat kelamin wanita yang sudah mencapai usia minimal 9 tahun kurang dari 16 hari kurang sedikit (usia 8 tahun 11 bulan 14 hari lebih sedikit), dan keluar secara alami (tabiat perempuan) bukan disebabkan melahirkan atau suatu penyakit dalam rahim.
Dengan demikian darah yang keluar ketika wanita belum berumur 9 tahun kurang 16 hari kurang sedikit, atau disebabkan penyakit ataupun disebabkan melahirkan, tidak dinamakan darah haidl.
Mengingat permasalahan haidl selalu bersentuhan dengan rutinitas ibadah setiap hari, maka seorang wanita dituntut untuk mengetahui hukum-hukum permasalahan yang dialaminya. Sedangkan ketentuan hukum mempelajarinya adalah sebagai berikut:
a. Fardlu ‘Ain bagi wanita yang sudah baligh
b. Fardlu kifayah bagi laki-laki
Batas usia minimal wanita mengalami haidl adalah 9 tahun Qomariah kurang 16 hari kurang sedikit (usia 8 tahun 11 bulan 14 hari lebih sedikit). Sehingga darah yang keluar sebelum usia tersebut tidak dinamakan darah haidl, akan tetapi dinamakan darah istihadhoh. Bila darah yang keluar, sebagian pada usia haidl dan yang sebagian sebelum usia haidl, maka darah yang dihukumi haidl hanyalah darah yang keluar pada usia haidl saja. Semisal ada wanita, usianya 9 tahun kurang 20 hari, mengeluarkan darah selama 10 hari, maka darah yang 4 hari awal lebih sedikit disebut darah istihadloh, sedangkan yang 6 hari akhir kurang sedikit disebut haidl. Sebab darah yang 6 hari kurang sedikit ini, keluar saat wanita tersebut sudah menginjak usia 9 tahun kurang 16 hari kurang sedikit, yakni usia minimal wanita mengeluarkan haidl. Sedangkan umumnya wanita mengalami haidl pada umur 12-14 th. Dan dalam permasalahan usia haidl tidak ada batas maksimalnya. Dan wanita yang sudah tidak mengalami haidl (menopause) umumnya berumur 62 th.
Ketentuan darah haidl
Batas minimal haidl adalah sehari semalam (24 jam), dan paling lamanya haidl adalah 15 hari 15 malam. Sedangkan batas minimal masa suci pemisah antara haidl satu dengan berikutnya adalah 15 hari 15 malam. Kebiasaan masa suci selalu seirama dengan masa haidl yang di alami. Jika seorang wanita menjalani masa haidl hanya sehari semalam, maka kebiasaan masa sucinya 29 hari. Jika masa haidlnya 6 atau 7 hari, maka kebiasaan masa sucinya selama 24 atau 23 hari dan seterusnya. Namun ada pula yang kebiasaan haidlnya satu hari dan masa sucinya 15 hari.
Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa setiap darah yang keluar pada usia haidl, selama minimal 24 jam dan tidak melebihi 15 hari 15 malam, secara mutlaq dihukumi darah haidl, baik baru pertama kali haidl atupun sudah pernah haidl dan suci, baik sama dengan kebiasaan haidl sebelumnya atau tidak, darah yang keluar satu warna atau bermacam-macam warna, keluarnya terus menerus ataupun terputus-putus asalkan masih dalam lingkup 15 hari 15 malam dari permulaan keluarnya darah.
Contoh: Seorang wanita mengeluarkan darah 5 hari hitam, 3 hari merah dan 3 hari kuning, maka seluruh darah dihukumi haidl, sebab keluarnya darah sudah mencapai 24 jam lebih dan tidak melebihi 15 hari 15 malam.
Hal-hal yang harus dilakukan saat datang dan berhentinya haidl.
Apabila wanita yang telah memasuki usia haidl mengeluarkan darah, maka wanita tersebut harus berhenti melakukan aktifitas yang dilarang bagi wanita yang sedang mengalami masa haidl, baik wanita tersebut sudah pernah mengeluarkan darah haidl atau belum, baik darah yang keluar telah mencapai 24 jam atau belum. Ketika darah berhenti dan darah yang keluar tersebut belum mencapai 24 jam, maka cukup wudlu dan melakukan aktifitas yang diwajibkan bagi orang suci. Namun jika masa keluar darahnya mencapai minimal 24 jam, maka untuk bersuci wanita tersebut wajib mandi. Jika belum genap 15 hari (dihitung dari awal mengeluarkan darah dan terputusnya) lalu mengeluarkan darah lagi, maka wanita tersebut harus berhenti melakukan aktifitas yang dilarang bagi orang yang haidl. Dengan kata lain, setiap wanita yang mengeluarkan darah, harus berhenti melakukan segala aktifitas yang dilarang bagi orang yang sedang haidl walupun darah tersebut belum tentu dihukumi haidl. Demikian pula ketika darah berhenti, dia juga harus melakukan aktifitas yang diwajibkan bagi orang yang suci, walaupun masih dimungkinkan mengeluarkan darah lagi sebelum mencapai 15 hari 15 malam dari awal keluarnya darah. Jika darahnya keluar lagi tanpa henti sampai lebih dari 15 hari 15 malam, maka wanita tersebut dihukumi sedang istihadloh yang akan dibahas dalam bab mendatang.
Catatan:
Darah dihukumi berhenti bila seandainya diusap dengan cara mamasukkan semisal kapuk, sudah tidak ada cairan yang sesuai dengan sifat dan warna darah (hanya berupa cairan bening). Namun bila masih ada cairan yang berwarna keruh dan kuning, terjadi perbedaan diantara ulama. Ada yang mengatakan masih dihukumi darah haidl (qoul yang kuat), karena menganggap masih berwarna darah, disamping memandang hukum asal bahwa cairan itu keluar pada masa imkan haidl. Ada yang berpendapat bukan darah haidl, karena menganggap cairan itu tidak berwarna darah.
Istihadloh
Sebelum lebih lanjut kita membicarakan masalah ini, maka yang perlu diperhatikan terlebih dahulu adalah mengetahui sedetail mungkin tentang sifat kuat dan lemahnya darah.
Kuat atau lemahnya darah bisa dipengaruhi oleh:
1. Warna, yang urutan kuatnya dimulai dari hitam, merah, merah kekuning-kuningan, kuning dan yang terakhir keruh.
2. Darah yang kental lebih kuat dibanding dengan yang cair.
3. Darah yang bau lebih kuat dibanding dengan yang tidak berbau.
Jika sebagian darah mempunyai ciri-ciri yang menyebabkan darah tersebut kuat, sementara sebagian yang lain mempunyai ciri-ciri yang menyebabkan kuat pula, maka yang dianggap kuat adalah darah yang lebih banyak memiliki faktor yang dianggap lebih kuat. Apabila kedua darah tersebut mempunyai ciri yang seimbang maka, yang dihukumi darah kuat adalah darah yang pertama kali keluar.
Contoh :
- Darah hitam, kental dan berbau dianggap lebih kuat dibanding dengan darah hitam, kental dan tidak berbau dan juga lebih kuat dibanding dengan darah hitam, cair dan berbau dengan perbandingan 3 dan 2.
- Darah merah, kental dan berbau lebih kuat dibanding dengan darah hitam, cair dan tidak berbau dengan perbandingan 2 dan 1.
Definisi istihadloh menurut para ahli fiqh adalah darah yang keluar dari alat kelamin seorang wanita yang tidak sesuai ketentuan darah haidl dan nifas. Abi Ishaq Al-Syairozi dalam kitab Al-Muhadzab menegasakan, apabila darah yang keluar dari alat kelamin seorang wanita melebihi batas 15 hari, maka haidl wanita tersebut telah bercampur dengan istihadloh dan identitas yang disandang wanita seperti ini tidak lepas dari :
1. Mubtadiah Mumayyizah
Yaitu wanita yang baru pertama kali mengalami haidl dan darah yang keluar melebihi batas maksimal haidl (15 hari 15 malam), serta darah yang keluar dapat dibedakan antara yang kuat dan lemah. Bagi wanita yang demikian ini, darah yang dihukumi haidl adalah yang kuat meskipun darah tersebut keluarnya lebih akhir, dengan syarat:
1. Darah kuat tidak kurang dari sehari semalam (24 jam).
2. Darah kuat tidak melebihi 15 hari 15 malam.
3. Darah lemah tidak kurang dari 15 hari 15 malam dan keluar secara terus-menerus.
Syarat yang ketiga ini diberlakukan jika ada darah kuat yang sama dengan darah pertama keluar lagi dan darah keluar minimal 30 hari, sebab syarat ini hanya untuk menentukan darah kuat yang kedua dihukumi darah haidl (bukan untuk menentukan haidl terhadap darah kuat pertama) dan masa keluar darah lemah dihukumi sebagai pemisah diantara dua haidl.
Sedangkan jika tidak ada darah kuat kedua maka syarat ketiga ini tidak diberlakukan (wanita seperti ini masih dihukumi mumayyizah dengan hanya membutuhkan syarat ke-1 dan 2). Bila 3 syarat di atas tidak terpenuhi, maka ia termasuk dalam katagori Mubtadi’ah Ghoiru Mumayyizah yang akan dijelaskan nanti.
Contoh: Keluar darah kuat 10 hari, darah lemah 10 hari, maka 10 hari darah kuat dihukumi haidl, 10 hari darah lemah dihukumi istihadhoh.
Langkah yang harus dilakukan oleh Mubtadiah Mumayyizah pada bulan pertama adalah tidak mandi (besar) terlebih dahulu sampai 15 hari dan setelah itu dia berkewajiban mengqodlo’ sholat yang ditinggalkan saat mengeluarkan darah lemah. Untuk bulan kedua dan seterusnya dia tidak perlu lagi menunggu sampai 15 hari, namun wajib mandi di saat ia telah melihat perpindahan darah dari kuat ke darah lemah.
2. Mubtadiah Ghoiru Mumayyizah
Yaitu wanita seperti diatas, hanya saja ia mengeluarkan darah dalam satu warna, atau lebih dari satu warna namun darah yang keluar tidak memenuhi kriteria yang ada pada Mubtadiah Mumayyizah. Haidl wanita seperti ini hanyalah sehari semalam dan masa sucinya selama 29 hari untuk tiap bulannya kalau memang dia ingat betul kapan ia mulai mengeluarkan darah. Apabila tidak ingat, maka dia tergolong Mustahadloh Mutahayyiroh.
Contoh :
Seorang wanita mengeluarkan darah yang sifatnya sama satu bulan penuh, maka yang dihukumi haidl adalah 1 hari 1 malam dan 29 hari dihukumi istihadhoh.
Langkah yang harus dilakukan oleh Mubtadiah Ghoiru Mumayyizah pada bulan pertama sama dengan apa yang dilakukan oleh Mubtadiah Mumayyizah, hanya saja dia wajib mengqodlo’ sholat selama 14 hari yang wajib ditinggalkannya untuk bulan pertama, setelah itu pada bulan kedua dan seterusnya dia wajib mandi setelah darah yang keluar mencapai 1 hari 1 malam dan wajib menjalankan segala aktifitas ibadahnya.
3. Mu’tadah Mumayyizah
Yaitu wanita yang sudah pernah haidl dan suci, dan mengeluarkan darah melebihi batas maksimal haidl (15 hari 15 malam). Serta darah yang keluar dapat dibedakan antara yang kuat dan lemah dan memenuhi syarat-syarat mubtadi’ah Mumayyizah .
Mengenai hukumnya adalah sebagaimana Mubtadi’ah mumayyizah. Yaitu darah kuat dihukumi haidl dan darah lemah dihukumi istihadloh, Kecuali jika diantara keluarnya darah yang kuat dan lemah dipisah oleh Aqolluttuhri (masa minimal suci/15 hari), maka darah lemah yang jumlahnya sama dengan kebiasaan haidlnya, serta darah kuat yang keluar setelahnya dihukumi haidl. Dan darah lemah ditengahnya dihukumi istihadloh.
Contoh:
Seorang wanita yang kebiasaan haidlnya 3 hari, mengeluarkan darah selama 21 hari, dengan perincian: Darah lemah 19 hari, darah kuat 2 hari, maka haidlnya adalah 3 hari pertama, sesuai adatnya, dan 2 hari terakhir. Karena darah 2 hari itu, keluar setelah darah lemah melewati masa aqollu thuhri (15 hari 15 malam). sedangkan darah 16 hari ditengah tengah, dihukumi istihadloh.
Langkah yang harus dilakukan oleh Mu’tadah Mumayyizah pada bulan pertama dan bulan-bulan selanjutnya sama dengan Mubtadi’ah Mumayyizah.
4. Mu`tadah Ghoiru Mumayyizah Dzakiroh Li` Adatiha Qodron Wa waktan.
Yaitu wanita yang sudah pernah mengalami haidl, dan darah yang keluar melebihi batas maksimal haidl (15 hari 15 malam) dalam satu warna, atau lebih dari satu warna namun darah yang keluar tidak memenuhi kriteria yang ada pada Mubtadiah Mumayyizah, serta dia masih ingat betul mulai dan sampai kapan kebiasaan haidl yang ia jalani. Untuk wanita semacam ini, yang dijadikan pedoman dalam menentukan haidl dan sucinya adalah kebiasaan haidl dan suci yang telah dialaminya.
Contoh:
Kebiasaan haidl seorang wanita 5 hari diawal bulan dan masa sucinya selama 25 hari. Kemudian dia mengeluarkan darah Istihadloh yang tidak bisa dipilah antara yang kuat dan yang lemah, atau bisa dipilah akan tetapi darah tersebut tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada pada Mubtadiah Mumayyizah, maka untuk wanita seperti ini yang dihukumi haidl adalah darah yang keluar 5 hari pertama (sesuai adatnya).
5. Mu`tadah Ghoiru Mumayyizah Nasiyah Li`Adatiha Qodron Wa Waqtan.
Yaitu wanita yang sudah pernah haidl, darah yang keluar melebihi batas maksimal haidl (15 hari 15 malam) dalam satu warna, atau lebih dari satu warna namun darah yang keluar tidak memenuhi kriteria yang ada pada Mubtadiah Mumayyizah serta ia lupa mulai dan sampai kapan masa haidl yang pernah dialaminya. Mustahadloh ini juga dikenal dengan mutahayyiroh. Maksudnya ia dalam keadaan kebingungan. Sebab hari-hari yang ia lalui mungkin haidl dan mungkin suci. Sehingga ia dihukumi sebagaimana orang haidl dalam masalah-masalah sebagai berikut:
Haram baginya untuk:
1. Bersentuhan kulit dengan suaminya pada anggota yang berada di antara pusar dan lutut.
2. Membaca Al-Qur’an diluar sholat.
3. Menyentuh Al-Qur’an.
4. Membawa Al-Qur’an.
5. Berdiam di dalam masjid selain untuk ibadah yang tidak dapat dikerjakan di luar masjid.
6. Lewat masjid jika khawatir darahnya akan menetes di masjid.
Dan dia dihukumi sebagaimana orang yang suci, dalam masalah:
1. Sholat, baik fardlu atau sunah.
2. Thowaf, baik fardlu atau sunah
3. Berpuasa, baik fardlu atau sunah.
4. I’tikaf.
5. Tholaq (dicerai).
6. Mandi.
Selanjutnya apabila dia tidak ingat sama sekali kapan mulai berhentinya waktu haidl yang pernah dialaminya, maka disaat hendak melakukan sholat dia harus mandi terlebih dahulu. Jika dia masih ingat semisal, waktu berhentinya haidl yang pernah dialaminya tepat disaat matahari terbenam, maka dia hanya berkewajiban mandi pada waktu matahari terbenam saja.
Adapun cara melaksanakan puasa Romadhon adalah: Disamping berkewajiban melakukan puasa satu bulan penuh dibulan romadlon (29/30 hari), dia juga berkewajiban lagi melaksanakan puasa selama satu bulan penuh (30 hari).
Dari tata cara puasa tersebut, puasa yang sah adalah 13 hari bila Romadlon merumur 29 hari dan 14 hari bila berumur 30 hari, sehingga ia masih mempunyai hutang puasa 2 hari, baik usia romadlon 29 ataupun 30 hari.
Sedangkan cara mengqodloi puasa dua hari tersebut adalah dengan melakukan puasa 3 hari berturut-turut kemudian berhenti (tidak puasa) selama 12 hari berturut-turut. Setelah itu puasa lagi 3 hari berturut-turut.
6. Mu`tadah Ghoiru Mumayyizah Dzakiroh Li`Adatiha Qodron La Waqtan.
Yaitu wanita yang sudah pernah mengalami haidl, darah yang keluar melebihi batas maksimal haidl (15 hari 15 malam) dalam satu warna, atau lebih dari satu warna namun darah yang keluar tidak memenuhi kriteria yang ada pada Mubtadiah Mumayyizah serta dia hanya ingat kebiasaan lamanya masa haidl yang dialaminya akan tetapi dia lupa kapan mulainya.
Langkah yang harus dilakukan oleh Mustahadloh semacam ini adalah pada waktu yang diyakini haidl, dia harus menjahui hal-hal yang menjadi larangan untuk wanita yang sedang haidl, dan pada waktu yang diyakini suci dia boleh melakukan hal-hal yang diperbolehkan bagi wanita yang dalam keadan suci. Sedangkan pada waktu yang masih dimungkinkan suci atau haidl dia dihukumi seperti wanita Mutahayyiroh.
Contoh :
Dia ingat bahwa haidl dialaminya selama 5 hari dalam 10 hari pertama. Hanya saja dia sama sekali tidak ingat mulai tanggal berapa dia mengalami haidl. Yang masih diingat adalah pada tanggal satu dia masih dalam keadaan suci. Maka tanggal satu tersebut dihukumi yakin suci, kemudian pada tanggal 2 sampai 5 adalah masa yang dimungkinkan suci dan haidl, selanjutnya pada tanggal 6 diyakini haidl. Untuk tanggal 7 sampai 10 adalah masa yang mungkin haidl dan suci dan pada tanggal 11 sampai akhir bulan dihukumi yakin suci.
7. Mu`tadah Ghoiru Mumayyizah Dzakiroh Li Adatiha Waqtan La Qodron.
Yaitu wanita seperti diatas, dan darah yang keluar dalam satu warna, atau lebih dari satu warna namun darah yang keluar tidak memenuhi kriteria yang ada pada Mubtadiah Mumayyizah serta dia hanya ingat waktu mulai kapan dia mengalami haidl dan tidak ingat sampai kapan kebiasaan haidl yang dialaminya berhenti.
Langkah yang harus dilakukan oleh Mustahadloh semacam ini sama dengan Mu`tadah Ghoiru Mumayyizah Dzakiroh Qodron La Waqtan
Contoh:
Dia ingat bila pada tanggal 1 mulai mengalami haidl, akan tetapi dia tidak ingat sampai kapan haidl tersebut berhenti. Maka yang dihukumi yakin haidl adalah pada tanggal 1 tersebut, dan tanggal 2 sampai 15 adalah masa yang mungkin haidl dan suci. Pada tanggal 1 yang berupa masa yang diyakini haidl, dia harus menjauhi hal-hal yang menjadi larangan bagi wanita haidl. Sedangkan dimasa yang mungkin terjadi haid dan suci (tanggal 2 sampai 15) dia dihukumi sebagaimana wanita Mutahayyiroh yang berarti dia harus berhati-hati sebagaimana diatas. Adapun untuk tanggal 16 sampai akhir bulan dia dihukumi yakin suci.
NifaS
Darah nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan walaupun sedikit dengan syarat antara melahirkan dan mengeluarkan darah tersebut tidak dipisah oleh masa 15 hari 15 malam. Oleh karena itu, jika ada wanita sehabis melahirkan, mengeluarkan darah setelah 15 hari 15 malam dari kelahiran, maka wanita tersebut dihukumi tidak mengalami nifas sama sekali. Adapun darah tersebut bisa dikategorikan darah haidl bila memenuhi ketentuan-ketentuan haidl.
Minimalnya masa nifas adalah sebentar walaupun sekejap, pada umumnya 40 hari 40 malam dan maksimalnya 60 hari 60 malam. Penghitungan maksimal masa nifas (60 hari 60 malam), dihitung mulai dari keluarnya seluruh anggota tubuh bayi dari rahim (sempurnanya melahirkan). Sedangkan hukum-hukum yang berkaitan dengan nifas berlaku mulai dari keluarnya darah, dengan syarat darah tersebut keluar sebelum 15 hari dari kelahiran bayi.
Contoh:
Ada seorang wanita yang setelah melahirkan mengeluarkan darah selama 5 hari, kemudian terputus selama 10 hari, setelah itu mengeluarkan darah lagi selama 5 hari dan terputus lagi selama 10 hari. Demikian seterusnya sampai 60 hari. Maka semua darah yang keluar disebut dengan nifas.
Ada seorang wanita yang setelah melahirkan mengeluarkan darah selama 5 hari dan terputus selama 15 hari. Kemudian mengeluarkan darah lagi selama 10 hari. Maka darah yang keluar selama 5 hari pertama disebut nifas, sedangkan yang keluar selama 10 hari kedua disebut darah haidl, sebab dipisah masa terputus 15 hari.
Apabila ada seorang wanita setelah melahirkan mengeluarkan darah terus menerus sampai lebih dari 60 hari, maka disebut Mustahadloh Nifas yang penjelasan hukumnya sama dengan Mustahadloh dalam bab haidl, hanya saja Mustahadloh dalam bab haidl yang masih baru pertama kali mengeluarkan darah, dan tidak bisa membedakan darah yang kuat dan yang lemah, maka haidlnya adalah sehari semalam, sementara dalam bab nifas hanya sebentar saja. Dan hukumnya Mu’tadah Ghoiru Mumayyizah fin Nifas yang lupa Qodron atau Waktan, sama dengan Mu’tadah Ghoiru Mumayyizah finnifas Nasiyah li ‘Adatiha Qodron wa Waqtan sedangkan dalam bab haidl dibedakan.
Adapun batas minimal masa suci yang memisah antara nifas dan haidl hanya sebentar saja, demikian pula yang memisahkan antara satu nifas dengan nifas yang lainnya. Bahkan dapat terjadi antara haidl dan nifas tidak ada sama sekali masa suci yang memisahkan keduanya.
Contoh:
Seorang Ibu setelah melahirkan, langsung keluar darah selama 59 hari. Kemudian putus selama 2 hari, keluar lagi selama 5 hari. Maka, 59 hari dihukumi nifas dan 5 hari dihukumi haidl. Sedangkan masa terputusnya darah selama 2 hari dihukumi suci yang memisah antara haidl dan nifas.
Catatan:
Darah yang keluar bersamaan dengan melahirkan yang disebut dengan darah Tholqun (darah yang keluar ketika nglarani manak : jawa) dihukumi darah fasad/kotor. Kecuali jika sebelum melahirkan didahului oleh darah haidl sebagaimana contoh diatas, maka hukumya termasuk darah haidl.
Keputihan dan Cairan yang keluar dari Vagina
Keputihan adalah getah atau cairan yang keluar dari vagina, yang ditimbulkan infeksi jamur. Dalam ilmu kedokteran disebut jamur Candida. Kehangatan dan kelembaban vagina, merupakan lingkungan yang ideal untuk tumbuhnya jamur. Getah atau cairan yang ditimbulkan keputihan berwarna putih, kental, keruh dan kekuning-kuningan. Biasanya rasanya gatal, membuat vagina meradang dan luka.
Penyebab timbulnya keputihan di antaranya:
a. Menopause.
Yaitu masa yang sudah tidak keluar haidl. Sebab dengan aktif keluar haidl, ada cairan yang selalu membasahi dinding vagina dan mempertahankan vagina tetap segar dan sehat.
b. Pil penghambat ataupun penyubur kehamilan.
Hal ini disebabkan, pil tersebut mempunyai efek mengurangi ketahanan pelindung vagina dari infeksi jamur.
c. Efek dari Kontrasepsi dalam rahim.
d. Stress.
e. Celana yang terbuat dari Nilon.
f. Celana ketat.
g. Sabun bubuk pembersih.
Cara Pengobatan keputihan di antaranya:
a. Mendatangi dokter atau Klinik khusus.
b. Ramuan-ramuan alami.
Seperti merendam kurang lebih 8 butir bawang putih dalam air cuka selama dua hari sampai minyak bawang terurai. Kemudian ambil satu sendok makan dan campur dengan kurang lebih setengah liter air. Gunakan dua hari sekali dalam satu minggu untuk pembersih vagina.
Atau satu butir bawang putih diiris jadi dua. Lalu dibungkus dalam kain ayakan. Masukkan dalam vagina dan biarkan selama kira kira semalam.
Perlindungan diri dari Keputihan di antaranya:
a. Memelihara kesejukan daerah genital (sekitar vagina).
b. Menjaga kebersihan.
c. Mencuci pakaian dengan air mendidih, tanpa sabun.
d. Menjauhi aktifitas secara berlebihan.
Apakah getah vagina termasuk darah haidl ?
Dalam kitab-kitab fiqih dijelaskan bahwa, haidl adalah darah yang keluar dari urat (otot) yang pintunya terdapat pada penghujung uterus (pangkal rahim/aqso al-rohmi) yang punya warna, sifat dan masa yang khusus. Sedangkan istihadloh adalah darah yang keluar dari urat di bawah uterus (adna al-rohmi) di luar masa haidl.
Dengan demikian getah vagina dan keputihan, bukanlah darah haidl dan istihadloh. Karena keluar dari luar anggota tersebut. Yang dalam istilah fiqih dikatagorikan Ruthubatul Farji (cairan farji), dan hukumnya sebagaimana berikut:
1. Bila keluar dari balik liang farji (anggota farji bagian dalam yang tidak terjangkau penis saat bersenggama), maka hukumnya najis dan menyebabkan batalnya wudlu, sebab keluar dari dalam tubuh.
2. Bila keluar dari liang farji (anggota farji yang tidak wajib dibasuh ketika istinja’ dan masih terjangkau penis saat bersenggama), maka hukumnya suci menurut sebagian ulama.
3. Bila keluar dari luar liang farji (anggota farji yang tampak ketika jongkok), maka hukumnya suci.
Dengan demikian, karena keputihan dan cairan yang keluar dari farji bukan darah haidl, maka tidak mewajibkan mandi. Namun bila cairan tersebut dihukumi najis (keluar dari dalam tubuh), maka harus disucikan saat mau wudlu dan sholat. Dan jika terus menerus keluar, maka hukumnya seperti istihadloh dan tata cara bersuci serta ibadahnya akan dijelaskan dalam fasal berikut ini.
Sholat yang wajib diqodlo’ Semasa haidl atau nifas
Jika haidl datang didalam ruang waktu sholat dan telah melewati waktu yang cukup untuk sholat 2 roka’at bagi wanita yang tidak istihadhoh (daimul hadast), dan ditambah masa bersuci bagi daimul hadast, sementara ia belum sholat, maka sholat tersebut wajib diqodho’i. Jika haidl berhenti pada ruang waktu sholat yang minimal cukup takbirotul ihrom, maka sholat tersebut wajib dikerjakan (baik dengan ‘ada’ atau Qodho’), begitu pula sholat sebelumnya bila bisa dijama’.
Contoh: 1
Waktu untuk sholat maqhrib telah masuk sampai 15 menit. Sebelum melakukan sholat ternyata darah haidl atau nifas keluar, maka yang wajib diqodlo`i setelah suci, hanya sholat maqhrib saja sebab waktu 15 menit itu sudah cukup digunakan melaksanakan sholat.
Contoh: 2
Tepat jam 09.00, darah haid atau nifas keluar, sepekan kemudian darah haidl atau nifas berhenti pada waktu sholat ashar, sementara waktu sholat ashar hanya cukup untuk melakukan takbirotul ihrom, maka yang wajib diqodlo’ adalah sholat ashar dan sholat dzuhur sebelumnya, sebab sholat dhuhur bisa dijama dengan ashar, Demikian pula apabila darah berhenti pada waktu sholat ‘isya’, maka sholat magrib sebelumnya juga wajib diqodlo’.
Tata cara bersuci dan sholat bagi Mustahadloh dan wanita yang mengalami keputihan atau keluar cairan.
Bagi wanita yang mengalami istihadloh, atau selalu hadats (da’imul hadats), seperti selalu keluar cairan atau keputihan dari dalam tubuh, maka ketika mau sholat harus mengikuti aturan berikut:
1. Membersihkan farji dari najis yang keluar.
2. Menyumbat farji dengan semacam kapuk sampai pada anggota farji yang tidak wajib disucikan saat istinja’. Hal ini harus dilakukan ketika ia tidak merasakan sakit saat disumbat. Dan pada waktu puasa, hal ini harus dihindari pada siang hari, karena akan menyebabkan batalnya puasa.
3. Wudlu dengan muwalah (terus-menerus), yaitu dalam membasuh anggota wudlu, anggota yang dibasuh sebelumnya masih basah (belum kering). Dan niatnya adalah:
نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ لاِسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالىَ
4. Segera melaksanakan sholat. Hanya saja boleh menundanya karena untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan sholat. Seperti menutup aurot, menjawab adzan, menanti jama’ah dan lain-lain.
Semua tata cara di atas dilakukan secara berurutan dan setelah masuk waktu sholat. Jika salah satunya tidak terpenuhi atau mengalami hadats yang lain, maka harus diulangi dari awal.
Hal-hal yang diharamkan bagi wanita yang sedang haidl atau nifas
Hal-hal yang diharamkan bagi wanita ketika mengalami haidl atau nifas adalah sebagai berikut:
1. Sholat (fardlu atau sunah)
2. Sujud syukur dan tilawah
3. Puasa (wajib atau sunah)
4. Thowaf (wajib atau sunah)
5. Membaca Al-Qur’an dengan tanpa niat dzikir
6. Menyentuh atau membawa Mushhaf (Al-Quran)
7. Berdiam diri dalam Masjid
8. Lewat dalam Masjid bila hawatir ada darah yang menetes pada masjid
9. Dicerai bagi selain Mutahayyiroh
10. Bersetubuh atau bersentuhan kulit antara lutut dan pusar
Tambahan
Aborsi (pengguguran bayi)
Aborsi yang dilakukan setelah usia kandungan 120 hari (setelah ditiupnya ruh), hukumnya haram. Sedangkan aborsi sebelum kandungan berusia 120 hari, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Menurut Ibnu Hajar (pendapat yang muttajih/kuat) hukumnya haram. Sedangkan menurut Imam Romli hukumnya tidak haram.
Penggunaan alat Kontrasepsi
Menggunakan alat kontrasepsi, baik berupa pil, obat suntik atau spiral hukumnya adalah sebagai berikut:
a. Apabila penggunaan alat itu bisa menyebabkan tidak bisa hamil selamanya, maka haram.
b. Apabila hanya untuk memperpanjang jarak kehamilan dan tidak ada udzur, maka hukumnya makruh.
c. Apabila penggunaan alat itu untuk memperpanjang jarak kehamilan, dan dilatar belakangi oleh adanya udzur, sepertii demi kemaslahatan merawat anak, hawatir terlantarnya anak dan lain-lain, maka hukumnya tidak makruh.
‘Iddah
‘Iddah adalah masa penantian seorang wanita untuk mengetahui keadaan rahimnya atau semata hanya untuk melaksanakan ritual yang bersifat dogmatif (ta’abbudi).
Faktor yang menyebabkan wanita wajib menjalani masa ‘iddah adalah sebagai berikut:
1. Ditinggal mati suaminya, baik pernah disetubuhi oleh suaminya yang telah mati atau belum. Sedangkan masa ‘iddahnya selama empat bulan sepuluh hari, baik wanita tersebut masih dalam usia haidl atau sudah memasuki masa menopause, baik belum baligh atau sudah lanjut usia.
2. Karena diceraikan oleh suaminya. Wanita yang diceraikan oleh suaminya, jika sudah pernah disetubuhi atau dimasuki oleh spermanya, maka wajib melaksanakan ‘iddah. Akan tetapi jika perceraian terjadi, sementara suaminya belum pernah menyetubuhi atau memasukkan spermanya, maka bagi istrinya tidak ada masa ‘iddah.
3. Sebab wathi subhat (hubungan biologis yang tidak disertai dengan kepastian apakah betul pasanganya itu suaminya atau bukan) atau memasukkan sperma orang lain dengan syubhat (tidak mengerti jika sperma tersebut ternyata bukan milik suami). Bagi wanita yang mengalami hal tersebut diatas juga diwajibkan menjalani masa ‘iddah.
Adapun masa ‘iddahnya seorang wanita yang dicerai atau disetubuhi dengan syubhat, adalah selama tiga masa persucian bagi wanita yang masih mengalami haid, dan tiga bulan bagi wanita yang masih belum memasuki usia haidl atau sudah bebas dari masa haidl. Untuk wanita hamil masa ‘iddahnya sampai melahirkan, baik karena cerai, wathi syubhat atau ditinggal mati suami. Wassalam.
No comments:
Post a Comment