Dewasa ini
ketika perjalanan syari'at islam yang identik dengan nuansa fiqhnya mulai
mendapatkan porsi yang strategis dalam dunia pendidikan, beragam diskusi dalam
forum-forum ilmiyah dengan mengusung isu-isu kontemporer, semakin menyita
perhatian kaum intelektual islam, namun juga sesekali muncul wawasan berfikir
yang bernuansa analisa, wacana yang kadang ada kesan kelewat bersemangat
sehingga cenderung mengarah pada "Anarkis Pemikiran", fenomena ini
difahami sebagai letupan-letupan atas proses interaksi yang logis terhadap
realitas zaman yang berkembang cepat dan kompleks yang terkadang bisa
diposisikan sebagai stimulan (rangsangan) yang cukup memberikan spirit para pengenyam
fiqh untuk selalu mengkontemporerkan wawasan fiqhnya, sehingga tidak larut
bahkan pincang ditelan zaman. Dinamika pemikiran islam sudah mulai menampakkan
pergolakannya ditengah para intelektual muda yang saling beragumentasi dan
berebut hujjah dengan landasan mainstreim pemikirannya masing-masing, seolah
menandai akan kebangkitan khazanah islam yang pernah mencapai masa keemasannya
ratusan tahun yang silam. Setidaknya peta kebangkitan itu dapat diidentifiikasi
dari dua kutub pemikiran yang semakin mewarnai pola berfiqh para kaum
intelektual islam saat ini yang cenderung saling berhadap-hadapan (konfrontatif):
Pertama : Pola berfiqh yang
memusatkan perhatiannya hanya dalam masalah furu'iyah (cabangan) yang
cukup mengedepankan produk-produk hukum lama. Akibatnya landasan sistem
berfikir yang digunakan cenderung tekstual, bersifat statis dan berhenti hanya
seputar teks-teks yang terbaca saja, pola berfiqh semacam ini untuk, proses
penyerapan berfikir bagus dalam fase permulaan, namun untuk meningkat pada fase
selanjutnya, pola ini akan mengalami hambatan ketika harus menjawab dinamika
kehidupan yang terus berkembang dan
melahirkan masalah-masalah baru yang belum pernah disinggung oleh fiqh
klasik secara tekstual, pada akhirnya dunia pemikiran islam hanya akan didominasi
generasi taqlid saja. Pada realitanya corak berfikir seperti ini sering
dialamatkan pada kaum intelektual dari kalangan pesantren.
Kedua : Pola berfiqh yang
memfokuskan wawasan berfikirnya hanya pada teori umum dan prinsip-prinsip
universal syar'i. Akibatnya cakrawala pemikiran yang dipakai cenderung bebas,
liar, platfrom pemikirannya beraliran esensialis, substansialis, rasionalis,
bahkan kelewat berani memunculkan terobosan yang kontroversial semacam pendapat
yang menerjang konsensus (Ijma'). Pola berfikir semacam ini terlalu
tergesa-gesa dalam mengarahkan energi berfikirnya, sementara landasan awalnya
tidak dikuasai, pada akhirnya lahirlah generasi yang beraliran liberal, non
taqlidi, non Madzhabi. Pada realitinya pola berfiqh ini banyak didominasi kaum
intelektual dari luar pesantren.
Dalam khazanah sejarah perkembangan syari'at islam,
keduanya bukanlah pilihan yang ideal dan tepat untuk mampu membawa pada
kebangkitan fiqh islam sebagaimana masa-masa dimana khazanah keilmuan islam
mencapai puncak kejayaannya, lalu bagaimanakah sesungguhnya metodologi berfiqh
yang sistematis dan sinergis untuk menumbuhkan kembali khazanah islam kita ?.
Untuk mencapainya tentu kita harus memiliki prosedur yang sistematis dan
realistis dengan melalui cara bertahap sebagaimana yang telah digambarkan para
pendahulu kita yang terbukti telah sukses membawa kebangkitan fiqh islam,
komentar Imam Malik :
لاَ يَصْلُحُ أَمْرُ
هذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهَا أَوَائِلُهَا
"Tiada
akan Jaya Urusan Ummat ini kecuali dengan konsep lama yang telah membawa islam
pada masa kejayaannya".
Bukankah
pepatah lama mengatakan "Kalau ingin sukses tirulah orang-orang
sukses", namun siapakah orang sukses itu ?, tiada lain kecuali para Ulama
yang telah sukses dan berhasil memperkenalkan dunia dengan predikat
"Mujtahid" nya, untuk itu sangat penting kita mengenal pola
berpikirnya dan bagaimana cara merumuskan fiqh, mungkinkah ?, sedangkan beliau
telah meninggal ribuan tahun yang lalu ?, memang betul beliau telah
meninggalkan kita, namun beliau meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi
kita yaitu karya-karyanya yang banyak, tinggal kita bagaimana menjaga dan memanfaatkannya
!...
Eksistensi fiqh klasik
di tengah realitas
Berbicara tentang fiqh sesungguhnya berbicara tentang
hukum, berbicara tentang hukum sesungguhnya berbicara tentang realita,
berbicara tentang realita sesungguhnya berbicara tentang aktifitas manusia dalam segala sektor
kehidupan yang melingkupinya, maka cakupan dan luar lingkup fiqh akan selalu
berbicara tentang realitas dan renik-renik kehidupan, sehingga wajar bila topik
pembahasan fiqh klasik yang kita telaah selama ini berbicara tentang manusia
dalam aktifitas beribadah (Ubudiyah), aktifitas berbisnis (Mu'amalah),
aktifitas berpolitik (Siyasiyah), aktifitas pengadilan dalam hukum
perdata (Jinayat), tentang Amar Ma'ruf (Jihad), Pernikahan (Munakahat),
bahkan sendi-sendi kehidupan manusia sekecil apapun tak luput dari sorotan
fiqh, begitu luasnya fiqh sampai bergerak diamnya manusia selalu menjadi topik
yang dikaji oleh fiqh.
Berbicara
tentang fiqh klasik artinya berbicara tentang kitab kuning yang telah
diwariskan ratusan bahkan ribuan tahun yang silam oleh para ulama-ulama salaf
terkemuka yang tidak hanya teruji kapasitas dan kapabilitas intelektualnya,
tapi juga dikenal dengan dengan kejujuran dan keshalehannya, sehingga apa yang
ditulis dan dipaparkan dalam karyanya merupakan ekspresi dari panggilan nurani
intelektualnya yang bersih untuk dapat mengembangkan ajaran islam secara lebih
merata, dan sekali-kali bukan karena ada motif-motif tertentu yang
terkontaminasi dan terpolusi oleh hawa nafsu kepopuleran atau emosi primordial,
maka sangatlah bijaksana apabila karya mereka mendapat posisi sebagai "al-Kutub
al-mu'tabaroh" yang senatiasa menjadi bahan referensi
insititusi-institusi pesantren salaf dengan mengadopsinya sebagai kurikulum
tetap, bukan hanya sebagai mainstraim pendidikan tapi juga untuk bisa mewarisi
berkah keteladanan para mushannifnya sekaligus. Aspek inilah yang menjadi ciri
khas pendidikan pesantren salaf yang tidak dimiliki lembaga-lembaga pendidikan
lainnya.
Dengan
demikian dapat dikompromistiskan hubungan antara fiqh dan kitab kuning, antara
fiqh dan realita, fiqh klasik merupakan produk-produk lama yang berhasil
diformulasikan oleh para Ulama Salaf, sementara realita merupakan aktifitas
manusia yang bersifat dinamis, berkembang seiring dengan kebutuhan manusia yang
semakin kompleks, lalu dimanakah letak titik sinergis fiqh klasik dalam
menjawab realitas modern saat ini ?, bukankah fiqh klasik adalah produk zaman
dahulu yang bersifat statis (diam), bagaimana mungkin mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan kontemporer yang dinamis (selalu berubah) dan belum pernah
terjadi dizaman dimana rumusan itu dibentuk ? apakah sudah saatnya kita
memerlukan pembaruan dalam berfiqh ? atau justru kita sendiri sebenarnya yang
kurang memahami dan mendalami apa itu fiqh klasik ? apa itu kitab kuning ?,
untuk itu kita perlu melakukan evaluasi dalam pola berfiqh kita selama ini,
sehingga kita tidak buru-buru membuat kesimpulan atau bahkan termakan jargon
"masih relevankah fiqh klasik ?, masih layakkah kitab kuning ?.
Dalam
perspekstif syari'at, typologi hukum terklasifikasi menjadi dua bagian, hukum
Qoth'i dan hukum Dzonni, hukum Qoth'i adalah hukum yang tidak bisa berubah
dengan perubahan situasi dan kondisi, ketetapannya bersifat absholut, tidak
bisa diganggu gugat, seperti hukum shalat, puasa. Hukum Dzonni adalah hukum
yang bersifat kodisional yang masih mempertimbangkan situasi dan kondisi dengan
melihat aspek yang lebih maslahat dizamannya, contoh : Pada zaman Rosulullah
pernah ditanya tentang hukumnya berciuman diwaktu puasa, beliau menjawab boleh,
namun satu waktu shahabat lain bertanya serupa beliau menjawab haram, mengapa
dibedakan ?, ternyata sahabat pertama adalah seorang yang sudah tua, sementara
sahabat yang kedua seorang yang masih muda yang tentunya kedua-duanya memiliki
perbedaan dalam kondisi gairah libidonya, Pada zaman kolonial Belanda banyak
para kiyai berfatwa haram memakai dasi, celana karena menyerupai dengan
orang-orang kafir, namun sekarang apa masih haram ?.
Dalam
metodologi hukum fiqh juga dikenal dengan hukum Ta'abuddi dan hukum Ta'aqulli,
hukum ta'aqulli adalah hukum yang tidak dapat
dicerna oleh akal, bersifat inrasional seperti konsep dasar dalam masalah
'Ubudiyah tata cara bersuci, shalat, puasa termasuk Haji, eksistensinya
disyari'atkan tidak berdasarkan aspek esensial (illat), sehingga tidak
bisa disimpulkan shalat cukup ingat kepada Allah, puasa cukup menahan nafsu,
haji bisa dilakukan kapan saja. Hukum ta'aqulli adalah hukum yang dapat dicerna
oleh akal yang dapat digali aspek yang menjadi elemen esensial disyari'atkannya
contoh : Dalam al-Qur-an disebutkan
khomer diharamkan karena didalam nya
terdapat unsur memabukkan, maka dapat dikontekstualisasikan pada setiap minuman
yang memabukkan adalah haram, Dalam al-qur-an pula disebutkan memandang aurat
wanita adalah haram karena bisa mengundang syahwat maka dapat kembangkan pada
setiap perbuatan yang berpotensi menimbulkan syahwat adalah haram.
Uraian
termaktub merupakan salah satu dari sekian potret kerangka hukum Syari'ah,
untuk itu dalam mengkaji fiqh klasik diperlukan penguasaan dan pendalaman
terhadap kitab yang disampaikan oleh para Mushannifnya, sebab kita mengkaji
kitab berarti kita bertanya pada mushannifnya sebagaimana membaca surat tentu
yang kita ambil adalah maksud isinya bukan teksnya, dengan begitu pola berfiqh
kita tidak beku, mampu mencapai taraf yang tidak hanya tekstual tapi juga
kontekstual, namun juga tidak liar, mampu memilah dan memilih mana hukum yang
Qoth'i dan mana hukum yang Dzonni, mana hukum yang Ta'abbudi dan mana hukum
yang Ta'aqulli. Pada tataran ini kita perlu membenahi dan menata kembali pola
berfiqh kita, agar tercipta pemahaman yang sinergis, prosedural dan
professional.
Dalam
menelaah dan memahami fiqh klasik terdapat tiga fase yang harus dilalui oleh
pengenyam fiqh secara bertahap :
@ Fase pertama : Memahami dan menguasai prinsip-prinsip
normatif fiqh, meliputi devinisi, syarat, rukun, batasan-batasan serta
konsekwensinya.
Contoh
sederhana memahami devinisi :
1.
Devinisi air mutlak adalah air yang tidak terikat dengan nama tertentu, maka
dapat disimpulkan bahwa air comberan atau air kopi yang mengalami proses
penyulingan lalu air berubah menjadi jernih sehingga disebut air mutlak
termasuki air yang suci mensucikan, dari sini kita harus faham batasan bisa
disebut air mutlak. 2. Devinisi syahid yang tidak wajib dimandikan dan
dishalati adalah orang yang gugur dimedan peperangan ketika melawan orang
kafir, maka dapat disimpulkan mati karena tawuran, demo, memberontak tidak
dikategorikan mati syahid. 3. Salah satu bangkai hayawan yang dima'fu ketika
jatuh dalam air ialah jenis hayawan yang tidak memiliki darah yang mengalir
seperti nyamuk, maka dapat disimpulkan andaikan ada nyamuk memilki darah yang
mengalir tetap dihukumi ma'fu. 4. Devinisi shalat ialah perbuatan dan ucapan
tertentu yang dimulai dengan takbirotul ihrom dan diakhiri dengan salam, maka
dapat disimpulkan shalat jenazah, sujud sahwi, sujud syukur termasuk kategori
shalat.
Contoh
memahami rukun, syarat dan batasannya :
1.
Transaksi jual beli merupakan penukaran harta dengan harta lain dengan aturan
tertentu yang meliputi syarat dan rukunnya, salah satunya harus melibatkan
penjual dan pembeli, maka dapat diifahami bila jual beli diwakili dengan
memakai robot hukumnya tidak sah?, kemudian kita perlu mengkaji batasan
keduanya, bagaimana kalau dilakukan shobi yang masih kecil, apakah termasuk
jual beli yang sah ?. Dalam jual beli juga harus ada Mabi' (barang yang
dijual), salah satu syaratnya ialah harus bermanfaat, maka kita perlu mengkaji
sejauh mana barang bisa dikategorikan manfaat, sebab barang yang dulunya
diklaim tidak bermanfaat sebut saja keroto, cacing sekarang justru menjadi
komoditi bisnis yang sangat berguna untuk makanan ternak burung, ikan, dan
perlu dikaji pula manfaat yang dimaksud apakah menurut individu atau umum, sebab
seperti kalajengking, ular bagi dokter sangat berguna sekali untuk ramuan
pengobatan, hal ini jelas berbeda bagi khalayak umum, sehinggga jual beli
semacam itu termasuk sah atau tidak ?. 2. Dalam akad ijaroh adanya upah
disyaratkan tidak diambil dari hasil pekerjaan orang yang disewa, maka dapat
disimpulkan ijarah dengan sistim buwuh hukumnya tidak sah. 3. Yang membatalkan
puasa adalah masuknya 'ain (benda) kedalam organ yang terbuka sampai
kelambung, maka perlu kita kaji asap rokok apakah bisa membatalkan puasa ?,
dari sini kita harus faham batasan 'ain itu sendiri.
Contoh
memahami konsekwensinya :
1.
Pengaruh dari setiap transakai baik dalam akad yang sah ataupun fasid memiliki
kosekwensi masing-masing, dan juga istilah aqdun lazim dalam akad ijaroh,
istilah aqdun jaiz, mengapa harus dibedakan ?, juga istilah yadun
amanah dalam akad wadi'ah, yadun dhaman dalam akad 'ariyah, apa
bedanya ? bagaimana ciri-cirinya ?, semua itu harus kita fahami, sehingga
mengerti perbedaannya dalam setiap transaksi yang berlaku.
Dalam fase
pemahaman ini bisa diperoleh dengan menelaah kitab-kitab seperti Fathul-qorib
karya Syekh Muhammad ibn al-Qosim al-Ghozi, kitab Fahul Mu'in karya
Syekh Zainuddin abd al-Azizi al-Malibari juga didukung dengan syarahnya.
@ Fase kedua : Mengkaji dan meneliti faktor-faktor yang
menjadi elemen esensial ('illat), terbentuknya sebuah rumusan atau
produk hukum.
Penguasaan
fase ini sangat diperlukan dalam membuat kesimpulan prinsip-prinsip normatif
syar'i, berikut faktor yang menjadi titik tengkar terjadinya khilafiyah
sehingga mampu mengkontekstualisasikan dalam realitas yang dihadapi. Contoh :
1. Telah
dirumuskan suami haram melakukan istimta' didaerah antara lutut dan
pusar pada saat istri sedang haid, dengan alasan khawatir terjadi jima', dengan
alasan ini, maka bagaimana bila suami sangat bernafsu dengan hanya memandang
atau tidur seranjang dengan istrinya, apakah juga menjadi haram hukumnya
memandang istrinya ?, untuk merumuskan kita perlu kaji sebatas mana tingkat
kekhawatiran tersebut ?
2.. Telah
dirumuskan memandang aurat wanita haram karena dikhawatirkan menimbulkan
syahwat. Lalu bagaimana bila sekarang wanita menutup auratnya dengan pakaian
yang ketat, menutup rambutnya dengan wig, apakah boleh memandanganya ? padahal
kalau dilihat tampak semakin seksi dari pada aslinya. Atau andaikata yang
melihat aurat wanita adalah orang yang
tidak punya syahwat seperti orang impoten, apakah hukumnya menjadi boleh ?
3. Telah
dirumuskan bila musafir bepergian dalam jarak dua marhalah, boleh melakukan
jama' shalat, karena ada unsur masyaqoh (kesulitan), lalu bagaimana dengan
realita sekarang ini, alat transportasi sudah semakin mudah seperti mobil,
pesawat, sehingga jarak tersebut bisa ditempuh dalam waktu singkat tanpa ada
kesulitan apapun apakah masih boleh melakukan jama'?, atau orang tidak musafir
namun karena sakit atau ada kesibukan padat sehingga timbul masyaqoh, apakah
boleh dia melakukan jama' ?
4. Telah
dirumuskan orang yang sakit boleh tidak berpuasa karena berat /masyaqoh, lalu
apakah bisa disamakan dengan orang yang setiap siangnya bekerja berat seperti
kuli, tukang becak karena harus menahkahi dirinya dan keluarganya ?
5. Telah
dirumuskan hadiyah kepada hakim haram apabila datang dari orang yang sedang
terdakwa dipengadilan, karena bisa menimbulkan kecurigaan (tuhmah),
termasuk mempengaruhi terhadap keputusan hakim, lalu bagaimana dengan sumbangan
kaos partai dan para caleg yang hanya marak menjelang pemilu saja apakah
diperbolehkan menerimanya ?, bukankah juga bisa menimbulkan kecurigaan yang sama
?.
6. Telah dirumuskan dalam akad wakalah yang
mutlak, wakil tidak boleh boleh menjual kecuali dengan tiga syarat, harus
dengan harga standart umum (tsaman al-amitsli), harus kontan dan harus
dengan mata uang yang terlaku, namun realita sekarang banyak bos-bos warung
yang terkadang tidak mematrekkan syarat tersebut apakah menjadi kharam?
sebegitu radikalkah hukum islam ?
7. Telah
dirumuskan kewajiban suami adalah menafkahi istri, mengasuh anak, namun
diindonesia banyak istri yang justru memberi nahkah, mengasuh anak, memasak
apakah suami terkena hukum haram ?
Pada fase ini, seorang pengenyam fiqh deperlukan
perbendaharaan yang sangat banyak dalam masalah-masalah Furu'iyah,
dengan begitu Madrok (kejelian analisis) bisa tajam, akan lebih sinergis
bila didukung penguasaan fiqh pada fase ketiga, untuk bisa mengkaji
esensi-esensi setiap hasil rumusan ini dapat ditelaah pada kitab-kitab yang
menjelaskan illat-illatnya sekaligus seperti al-Mahalli karya Syekh
Jalaluddin al-Mahalli, kitab al-Syarwani karya Syekh Abd al-Hamid
al-Syarwani.'Ujalatul muhtaj karya Syekh Sirojuddin Abi Hafs Dll
@
Fase ketiga : Menguasai sumber-sumber hukum sekaligus
teori-teori Manhaji nya.
Sumber hukum meliputi al-Qur'an, Hadits,
Ijma' sangat diperlukan untuk memastikan apakah ada ketentuan hukum dalam nash
nya, sedangkan teori Manhaji meliputi Qiyas, istihsan, maslahah
mursalah, istihabul asli, termasuk kaidah-kaidah fiqhiyah, perlu dikuasai,
untuk bisa lebih memahami bagaimana para Ulama memainkan pisau analisisnya
terhadap sumber-sumber hukum, dengan begitu kekuatan pemahaman kita lebih
optimal dalam mengkontekstualisasikan Illat-illat yang disampaikan para
Ulama tidak menerjang al-Qur'an, hadits, Ijma'. Contoh :
1. Teori umum : ”Setiap perkara yang tidak
ada standart dalam syara' dan lughot maka harus dikembalikan pada standart umum
('Urf)". Dalam bab Ghosob hukumnya haram karena ada unsur istila'
(penguasaan), maka perlu kita kaji adakah standart istila' dalam Nash
al-Qur-an dan Haditsnya ?, sehingga bisa mengetahui apakah Cuma
menginjakkan kaki ditanah milik orang lain sudah dikatakan ghasab ?, atau duduk
dibecaknya saja sudah ghasab?, atau memindah buku ketempat lain itu sudah
ghasab ?. Dalam bab zakat termasuk yang menyebabkan terhalangnya hak waris
adalah membunuh, maka perlu dikaji adakah standart membunuh dalam al-Qur'an,
Hadits, sehingga bisa menjawab apakah membunuh dengan cara menyuruh orang lain
atau dengan membuat jebakan atau dengam do'a hizib, atau disihir termasuk
menghalangi hak waris ?. Dalam zakat juga disebutkan Mustahiqquz zakat ialah
'Amil, Fisabilillah, maka kita kaji apakah dalam Nash diatas adakah
standartnya ? sehingga bisa menghukumi panitia zakat, masjid, kiyai, santri,
termasuk Mustahiqquzzakat ? Dll.
2..Teori Umum ”Masyaqqoh mendatangkan
kemudahan". Maka harus kita kaji dalam Nash nya, tentang minimal
masyaqqoh yang bisa mendatangkan dispensasi pada setiab babnya, sebab setiab
bab memiliki Nash sendiri-sendiri, dengan demikian kita bisa
mensejajarkan masyaqqoh yang tidak disebutkan dalam Nash, seperti masyaqqohnya
sakit, masyaqqohnya bekerja apakah sejajar dengan masyaqqoh puasa diwaktu safar
yang telah dinash dalam al-Qur'an boleh tidak puasa ? begitu pila
masyaqqoh dalam bab tayammum dalam bab hajji perlu kita kaji karena memiliki
batasan yang tidak sama dalam Nash nya.
3. Beraneka ragam bank baik yang memakai
sistem bank konvensional atau bank syari'ah menawarkan keuntungan menggiurkan,
bagaimanakah prinsip ekonomi yang diatur oleh Nash sebenarnya ?
4. Mata uang zaman dulu nominalnya
disesuaikan dengan dengan bobot emas atau perak, sehingga termasuk Maluzzakawi,
berbeda dengan sekarang mata uang dengan memakai kertas, apakah kedudukannya
juga Maluzzakawi yang wajib dizakati ? maka kita perlu mengkaji
dalil Nash nya, berikut teori isthinbathnya ?
5. Dizaman modern suksesi kepimpinan dalam
tingkat apapun dilakukan dengan pilihan secara langsung, apakah ada aturan
dalam Nash ? lalu bagimana penyelesaiannya ?
Pada
fase ini, bisa dikaji dalam kitab-kitab fiqh yang sekaligus menyebutkan Nash
al-Qur-an dan hadits, sekaligus petunjuk perumusannya namun dalam
memahaminya diperlukan penguasaan kitab Usul fiqh seperti Lubul Ushul
karya Syekh Zakaria al-Anshori, diantara kitab yang menjelaskan keduanya
seperti kitab Bidatyatul Mujtahid karya Ibn al-Rusydi al-Qurthubi, kitab
al-Majmu' karya Syekh al-Nawawi, kitab al-Hawi al-Kabir karya
Syekh al-mawardi, kitab Ihkam al-ahkam, lebih optimal bila didukung
dengan ktab-kitab tafsir ahkam al-Qur'an, Tafsir Hadist.
Dengan
penguasaan ketiga fase pola berfiqh diatas, para pengenyam fiqh tidak akan
pernah kehilangan eksistensinya dalam merespon setiap perkembangan zaman yang
terus bergulir, saat ini bisa dicontoh forum Bahtsul Masail yang senantiasa
masih menjadi solusi pemecah dalam menghadapi problematika Ummat, kebutuhannya
akan ketiga-tiga fase diatas sangat bervariatif sesuai dengan bobot persolan
yang diusung.
Kesimpulan
Ulasan
yang termaktub diatas pada dasarnya masih segilintir dari isi kandungan
khazanah pengetahuan dalam kitab-kitab yang diwariskan para Ulama pendahulu
kita, namun setidaknya cukup representatif untuk dapat menyimpulkan pada diri
kita bahwa eksistensi fiqh klasik yang identik dengan kitab kuningnya merupakan
sarana berfiqih yang tidak terelakkan, begitu luas dan kayanya khazanah ilmu
yang diwariskan para pendahulu kita yang harus kita syukuri, kita jaga dan kita
lestarikan, bukankah faktor kemunduran islam terbesar dikarenakan ummatnya
sendiri yang kurang peduli dan meneladani terhadap khazanah yang ditinggalkan
para pendahulunya ?, sejarah telah membuktikan bagaimana hegemoni budaya barat
mulai mempengaruhi sendi-sendi kehidupan ummat islam setelah pembakaran
besar-besaran hasil karya-karya putra terbaik intelektual islam pada perang
salib, bagaimana dengan indonesia tempat kita mengemban amanat ini ? apakah
kita rela akan bernasib yang sama ? atau sebenarnya kita telah dibuat ragu oleh
isu-isu "Masih relefankah fiqh klasik ?", "Masih relevankah
kitab kuning ?" yang sengaja dihembuskan untuk menjauhkan masyarakat dari
Pesantren dan Ulama'nya yang juga merupakan salah satu penyebab kemunduran
islam di Andalusia (Spanyol), berikut penuturan dan pengakuan jujur pengamat
dari luar Dr. Max Mayerhot :
"Pembendaharaan
ilmu islam, baru saja dibuka, banyak isinya belum disentuh. Di Istambul saja
terdapat lebih 80 buah perpustakaan masjid, semuanya berisi berpuluh ribu
naskah belum kita pelajari. Disamping ada berpuluh ribu lagi di Kairo,
Damaskus, Mossul, Baghdad
dan Teheran. Begitu pula dikota-kota India , buku-buku islam dimusium
Estcorial Spanyol, belum cukup disusun dalam kata-kata logus." (Dikutib oleh Oemar Amin Hoesin dalm bukunya "kultur
islam" pustaka jakarta: Cet. Bulan Pustaka 1964, hlm,21)
Namun
demikian mensyukuri bukan berarti kita cukup bangga menelaah dan puas dengan
hasil warisan lama, akan tetapi bagaimana kita mampu mengarahkan kesuksesan
fiqh islam yang ditinggalkan para Ulama' untuk meraih kesuksesan baru dalam
menyongsong kebangkitan fiqh islam di abad modern saat ini. Seiring putaran
roda zaman yang mengglobal semakin banyak pulalah tuntutan–tuntutan prasana
dalam segala sektor yang selalu melahirkan persoalan-persoalan baru, sementara
khazanah pemikiran islam telah lama ditinggalkan para pakarnya, maka kita kaum
Muslimin yang peduli terhadap eksistensi syari'ah islam bertanggung jawab
menegakkan kembali kebangkitan fiqh islam yang bisa menyentuh realitas ummat
saat ini, Untuk itu formulasi yang sinergis sebagai strategi yang perlu kita
sosialisasikan ditengah pergolakan pemikiran kaum intelektual islam saat ini
adalah mengoptimalkan tiga fase pola berfiqh yang telah dipaparkan diatas, yang
mungkin bisa kita simpulkan dalam sebuah slogan:
Kitab Kuning Yes!.....Tekstual No!.....
Sebagai hasil dari implementasi prinsip dalam
melangkah :
اَلْمُحَافَظَةُ
عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ اْلأَصْلَحِ
"Menjaga kosep lama yang maslahat dan mengadopsi konsep
baru yang lebih maslahat."
Menjaga komsep lama berarti kita
harus menjaga warisan para Ulama Salaf, menjaga bukan dalam arti menyimpannya
dengan rapi atau sebagai benda langka yang harus kita musiumkan, namun menjaga
dalam arti memanfaatkan dan mengfungsikan bukan hanya sebagai bahan bacaan,
lebih dari itu sebagai wawasan berfikir kita dalam mengembangkan keillmuan fiqh
islam yang kontekstual, selaras dengan perkembangan zaman yang kompleks
sehingga mampu membangkitkan dan menghidupkan kembali masa kejayaan islam.
Tulisan ini bukan ijtihad namun baru ajakan menuju kesana ! Wallhu A'lam
No comments:
Post a Comment