Sunday, 24 January 2016

RELEVANSI FIQH KLASIK


Dewasa ini ketika perjalanan syari'at islam yang identik dengan nuansa fiqhnya mulai mendapatkan porsi yang strategis dalam dunia pendidikan, beragam diskusi dalam forum-forum ilmiyah dengan mengusung isu-isu kontemporer, semakin menyita perhatian kaum intelektual islam, namun juga sesekali muncul wawasan berfikir yang bernuansa analisa, wacana yang kadang ada kesan kelewat bersemangat sehingga cenderung mengarah pada "Anarkis Pemikiran", fenomena ini difahami sebagai letupan-letupan atas proses interaksi yang logis terhadap realitas zaman yang berkembang cepat dan kompleks yang terkadang bisa diposisikan sebagai stimulan (rangsangan) yang cukup memberikan spirit para pengenyam fiqh untuk selalu mengkontemporerkan wawasan fiqhnya, sehingga tidak larut bahkan pincang ditelan zaman. Dinamika pemikiran islam sudah mulai menampakkan pergolakannya ditengah para intelektual muda yang saling beragumentasi dan berebut hujjah dengan landasan mainstreim pemikirannya masing-masing, seolah menandai akan kebangkitan khazanah islam yang pernah mencapai masa keemasannya ratusan tahun yang silam. Setidaknya peta kebangkitan itu dapat diidentifiikasi dari dua kutub pemikiran yang semakin mewarnai pola berfiqh para kaum intelektual islam saat ini yang cenderung saling berhadap-hadapan (konfrontatif):
Pertama : Pola berfiqh yang memusatkan perhatiannya hanya dalam masalah furu'iyah (cabangan) yang cukup mengedepankan produk-produk hukum lama. Akibatnya landasan sistem berfikir yang digunakan cenderung tekstual, bersifat statis dan berhenti hanya seputar teks-teks yang terbaca saja, pola berfiqh semacam ini untuk, proses penyerapan berfikir bagus dalam fase permulaan, namun untuk meningkat pada fase selanjutnya, pola ini akan mengalami hambatan ketika harus menjawab dinamika kehidupan yang terus berkembang dan  melahirkan masalah-masalah baru yang belum pernah disinggung oleh fiqh klasik secara tekstual, pada akhirnya dunia pemikiran islam hanya akan didominasi generasi taqlid saja. Pada realitanya corak berfikir seperti ini sering dialamatkan pada kaum intelektual dari kalangan pesantren.
Kedua : Pola berfiqh yang memfokuskan wawasan berfikirnya hanya pada teori umum dan prinsip-prinsip universal syar'i. Akibatnya cakrawala pemikiran yang dipakai cenderung bebas, liar, platfrom pemikirannya beraliran esensialis, substansialis, rasionalis, bahkan kelewat berani memunculkan terobosan yang kontroversial semacam pendapat yang menerjang konsensus (Ijma'). Pola berfikir semacam ini terlalu tergesa-gesa dalam mengarahkan energi berfikirnya, sementara landasan awalnya tidak dikuasai, pada akhirnya lahirlah generasi yang beraliran liberal, non taqlidi, non Madzhabi. Pada realitinya pola berfiqh ini banyak didominasi kaum intelektual dari luar pesantren.
           
            Dalam khazanah sejarah perkembangan syari'at islam, keduanya bukanlah pilihan yang ideal dan tepat untuk mampu membawa pada kebangkitan fiqh islam sebagaimana masa-masa dimana khazanah keilmuan islam mencapai puncak kejayaannya, lalu bagaimanakah sesungguhnya metodologi berfiqh yang sistematis dan sinergis untuk menumbuhkan kembali khazanah islam kita ?. Untuk mencapainya tentu kita harus memiliki prosedur yang sistematis dan realistis dengan melalui cara bertahap sebagaimana yang telah digambarkan para pendahulu kita yang terbukti telah sukses membawa kebangkitan fiqh islam, komentar Imam Malik :

لاَ يَصْلُحُ أَمْرُ هذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهَا أَوَائِلُهَا
"Tiada akan Jaya Urusan Ummat ini kecuali dengan konsep lama yang telah membawa islam pada masa kejayaannya".

Bukankah pepatah lama mengatakan "Kalau ingin sukses tirulah orang-orang sukses", namun siapakah orang sukses itu ?, tiada lain kecuali para Ulama yang telah sukses dan berhasil memperkenalkan dunia dengan predikat "Mujtahid" nya, untuk itu sangat penting kita mengenal pola berpikirnya dan bagaimana cara merumuskan fiqh, mungkinkah ?, sedangkan beliau telah meninggal ribuan tahun yang lalu ?, memang betul beliau telah meninggalkan kita, namun beliau meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi kita yaitu karya-karyanya yang banyak, tinggal kita bagaimana menjaga dan memanfaatkannya !...

Eksistensi fiqh klasik di tengah realitas
            Berbicara tentang fiqh sesungguhnya berbicara tentang hukum, berbicara tentang hukum sesungguhnya berbicara tentang realita, berbicara tentang realita sesungguhnya berbicara tentang  aktifitas manusia dalam segala sektor kehidupan yang melingkupinya, maka cakupan dan luar lingkup fiqh akan selalu berbicara tentang realitas dan renik-renik kehidupan, sehingga wajar bila topik pembahasan fiqh klasik yang kita telaah selama ini berbicara tentang manusia dalam aktifitas beribadah (Ubudiyah), aktifitas berbisnis (Mu'amalah), aktifitas berpolitik (Siyasiyah), aktifitas pengadilan dalam hukum perdata (Jinayat), tentang Amar Ma'ruf (Jihad), Pernikahan (Munakahat), bahkan sendi-sendi kehidupan manusia sekecil apapun tak luput dari sorotan fiqh, begitu luasnya fiqh sampai bergerak diamnya manusia selalu menjadi topik yang dikaji oleh fiqh.
Berbicara tentang fiqh klasik artinya berbicara tentang kitab kuning yang telah diwariskan ratusan bahkan ribuan tahun yang silam oleh para ulama-ulama salaf terkemuka yang tidak hanya teruji kapasitas dan kapabilitas intelektualnya, tapi juga dikenal dengan dengan kejujuran dan keshalehannya, sehingga apa yang ditulis dan dipaparkan dalam karyanya merupakan ekspresi dari panggilan nurani intelektualnya yang bersih untuk dapat mengembangkan ajaran islam secara lebih merata, dan sekali-kali bukan karena ada motif-motif tertentu yang terkontaminasi dan terpolusi oleh hawa nafsu kepopuleran atau emosi primordial, maka sangatlah bijaksana apabila karya mereka mendapat posisi sebagai "al-Kutub al-mu'tabaroh" yang senatiasa menjadi bahan referensi insititusi-institusi pesantren salaf dengan mengadopsinya sebagai kurikulum tetap, bukan hanya sebagai mainstraim pendidikan tapi juga untuk bisa mewarisi berkah keteladanan para mushannifnya sekaligus. Aspek inilah yang menjadi ciri khas pendidikan pesantren salaf yang tidak dimiliki lembaga-lembaga pendidikan lainnya. 

Dengan demikian dapat dikompromistiskan hubungan antara fiqh dan kitab kuning, antara fiqh dan realita, fiqh klasik merupakan produk-produk lama yang berhasil diformulasikan oleh para Ulama Salaf, sementara realita merupakan aktifitas manusia yang bersifat dinamis, berkembang seiring dengan kebutuhan manusia yang semakin kompleks, lalu dimanakah letak titik sinergis fiqh klasik dalam menjawab realitas modern saat ini ?, bukankah fiqh klasik adalah produk zaman dahulu yang bersifat statis (diam), bagaimana mungkin mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kontemporer yang dinamis (selalu berubah) dan belum pernah terjadi dizaman dimana rumusan itu dibentuk ? apakah sudah saatnya kita memerlukan pembaruan dalam berfiqh ? atau justru kita sendiri sebenarnya yang kurang memahami dan mendalami apa itu fiqh klasik ? apa itu kitab kuning ?, untuk itu kita perlu melakukan evaluasi dalam pola berfiqh kita selama ini, sehingga kita tidak buru-buru membuat kesimpulan atau bahkan termakan jargon "masih relevankah fiqh klasik ?, masih layakkah kitab kuning ?.
           
Dalam perspekstif syari'at, typologi hukum terklasifikasi menjadi dua bagian, hukum Qoth'i dan hukum Dzonni, hukum Qoth'i adalah hukum yang tidak bisa berubah dengan perubahan situasi dan kondisi, ketetapannya bersifat absholut, tidak bisa diganggu gugat, seperti hukum shalat, puasa. Hukum Dzonni adalah hukum yang bersifat kodisional yang masih mempertimbangkan situasi dan kondisi dengan melihat aspek yang lebih maslahat dizamannya, contoh : Pada zaman Rosulullah pernah ditanya tentang hukumnya berciuman diwaktu puasa, beliau menjawab boleh, namun satu waktu shahabat lain bertanya serupa beliau menjawab haram, mengapa dibedakan ?, ternyata sahabat pertama adalah seorang yang sudah tua, sementara sahabat yang kedua seorang yang masih muda yang tentunya kedua-duanya memiliki perbedaan dalam kondisi gairah libidonya, Pada zaman kolonial Belanda banyak para kiyai berfatwa haram memakai dasi, celana karena menyerupai dengan orang-orang kafir, namun sekarang apa masih haram ?.
Dalam metodologi hukum fiqh juga dikenal dengan hukum Ta'abuddi dan hukum Ta'aqulli, hukum ta'aqulli adalah hukum yang tidak dapat dicerna oleh akal, bersifat inrasional seperti konsep dasar dalam masalah 'Ubudiyah tata cara bersuci, shalat, puasa termasuk Haji, eksistensinya disyari'atkan tidak berdasarkan aspek esensial (illat), sehingga tidak bisa disimpulkan shalat cukup ingat kepada Allah, puasa cukup menahan nafsu, haji bisa dilakukan kapan saja. Hukum ta'aqulli adalah hukum yang dapat dicerna oleh akal yang dapat digali aspek yang menjadi elemen esensial disyari'atkannya contoh :  Dalam al-Qur-an disebutkan khomer diharamkan  karena didalam nya terdapat unsur memabukkan, maka dapat dikontekstualisasikan pada setiap minuman yang memabukkan adalah haram, Dalam al-qur-an pula disebutkan memandang aurat wanita adalah haram karena bisa mengundang syahwat maka dapat kembangkan pada setiap perbuatan yang berpotensi menimbulkan syahwat adalah haram.

Uraian termaktub merupakan salah satu dari sekian potret kerangka hukum Syari'ah, untuk itu dalam mengkaji fiqh klasik diperlukan penguasaan dan pendalaman terhadap kitab yang disampaikan oleh para Mushannifnya, sebab kita mengkaji kitab berarti kita bertanya pada mushannifnya sebagaimana membaca surat tentu yang kita ambil adalah maksud isinya bukan teksnya, dengan begitu pola berfiqh kita tidak beku, mampu mencapai taraf yang tidak hanya tekstual tapi juga kontekstual, namun juga tidak liar, mampu memilah dan memilih mana hukum yang Qoth'i dan mana hukum yang Dzonni, mana hukum yang Ta'abbudi dan mana hukum yang Ta'aqulli. Pada tataran ini kita perlu membenahi dan menata kembali pola berfiqh kita, agar tercipta pemahaman yang sinergis, prosedural dan professional.
Dalam menelaah dan memahami fiqh klasik terdapat tiga fase yang harus dilalui oleh pengenyam fiqh secara bertahap :  

@ Fase pertama : Memahami dan menguasai prinsip-prinsip normatif fiqh, meliputi devinisi, syarat, rukun, batasan-batasan serta konsekwensinya.
Contoh sederhana memahami devinisi :
1. Devinisi air mutlak adalah air yang tidak terikat dengan nama tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa air comberan atau air kopi yang mengalami proses penyulingan lalu air berubah menjadi jernih sehingga disebut air mutlak termasuki air yang suci mensucikan, dari sini kita harus faham batasan bisa disebut air mutlak. 2. Devinisi syahid yang tidak wajib dimandikan dan dishalati adalah orang yang gugur dimedan peperangan ketika melawan orang kafir, maka dapat disimpulkan mati karena tawuran, demo, memberontak tidak dikategorikan mati syahid. 3. Salah satu bangkai hayawan yang dima'fu ketika jatuh dalam air ialah jenis hayawan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti nyamuk, maka dapat disimpulkan andaikan ada nyamuk memilki darah yang mengalir tetap dihukumi ma'fu. 4. Devinisi shalat ialah perbuatan dan ucapan tertentu yang dimulai dengan takbirotul ihrom dan diakhiri dengan salam, maka dapat disimpulkan shalat jenazah, sujud sahwi, sujud syukur termasuk kategori shalat.
Contoh memahami rukun, syarat dan batasannya :
1. Transaksi jual beli merupakan penukaran harta dengan harta lain dengan aturan tertentu yang meliputi syarat dan rukunnya, salah satunya harus melibatkan penjual dan pembeli, maka dapat diifahami bila jual beli diwakili dengan memakai robot hukumnya tidak sah?, kemudian kita perlu mengkaji batasan keduanya, bagaimana kalau dilakukan shobi yang masih kecil, apakah termasuk jual beli yang sah ?. Dalam jual beli juga harus ada Mabi' (barang yang dijual), salah satu syaratnya ialah harus bermanfaat, maka kita perlu mengkaji sejauh mana barang bisa dikategorikan manfaat, sebab barang yang dulunya diklaim tidak bermanfaat sebut saja keroto, cacing sekarang justru menjadi komoditi bisnis yang sangat berguna untuk makanan ternak burung, ikan, dan perlu dikaji pula manfaat yang dimaksud apakah menurut individu atau umum, sebab seperti kalajengking, ular bagi dokter sangat berguna sekali untuk ramuan pengobatan, hal ini jelas berbeda bagi khalayak umum, sehinggga jual beli semacam itu termasuk sah atau tidak ?. 2. Dalam akad ijaroh adanya upah disyaratkan tidak diambil dari hasil pekerjaan orang yang disewa, maka dapat disimpulkan ijarah dengan sistim buwuh hukumnya tidak sah. 3. Yang membatalkan puasa adalah masuknya 'ain (benda) kedalam organ yang terbuka sampai kelambung, maka perlu kita kaji asap rokok apakah bisa membatalkan puasa ?, dari sini kita harus faham batasan 'ain itu sendiri.  
Contoh memahami konsekwensinya :
1. Pengaruh dari setiap transakai baik dalam akad yang sah ataupun fasid memiliki kosekwensi masing-masing, dan juga istilah aqdun lazim dalam akad ijaroh, istilah aqdun jaiz, mengapa harus dibedakan ?, juga istilah yadun amanah dalam akad wadi'ah, yadun dhaman dalam akad 'ariyah, apa bedanya ? bagaimana ciri-cirinya ?, semua itu harus kita fahami, sehingga mengerti perbedaannya dalam setiap transaksi yang berlaku.

Dalam fase pemahaman ini bisa diperoleh dengan menelaah kitab-kitab seperti Fathul-qorib karya Syekh Muhammad ibn al-Qosim al-Ghozi, kitab Fahul Mu'in karya Syekh Zainuddin abd al-Azizi al-Malibari juga didukung dengan syarahnya.

@ Fase kedua : Mengkaji dan meneliti faktor-faktor yang menjadi elemen esensial ('illat), terbentuknya sebuah rumusan atau produk hukum.
Penguasaan fase ini sangat diperlukan dalam membuat kesimpulan prinsip-prinsip normatif syar'i, berikut faktor yang menjadi titik tengkar terjadinya khilafiyah sehingga mampu mengkontekstualisasikan dalam realitas yang dihadapi. Contoh :
1. Telah dirumuskan suami haram melakukan istimta' didaerah antara lutut dan pusar pada saat istri sedang haid, dengan alasan khawatir terjadi jima', dengan alasan ini, maka bagaimana bila suami sangat bernafsu dengan hanya memandang atau tidur seranjang dengan istrinya, apakah juga menjadi haram hukumnya memandang istrinya ?, untuk merumuskan kita perlu kaji sebatas mana tingkat kekhawatiran tersebut ?
2.. Telah dirumuskan memandang aurat wanita haram karena dikhawatirkan menimbulkan syahwat. Lalu bagaimana bila sekarang wanita menutup auratnya dengan pakaian yang ketat, menutup rambutnya dengan wig, apakah boleh memandanganya ? padahal kalau dilihat tampak semakin seksi dari pada aslinya. Atau andaikata yang melihat aurat wanita adalah  orang yang tidak punya syahwat seperti orang impoten, apakah hukumnya menjadi boleh ?
3. Telah dirumuskan bila musafir bepergian dalam jarak dua marhalah, boleh melakukan jama' shalat, karena ada unsur masyaqoh (kesulitan), lalu bagaimana dengan realita sekarang ini, alat transportasi sudah semakin mudah seperti mobil, pesawat, sehingga jarak tersebut bisa ditempuh dalam waktu singkat tanpa ada kesulitan apapun apakah masih boleh melakukan jama'?, atau orang tidak musafir namun karena sakit atau ada kesibukan padat sehingga timbul masyaqoh, apakah boleh dia melakukan jama' ?
4. Telah dirumuskan orang yang sakit boleh tidak berpuasa karena berat /masyaqoh, lalu apakah bisa disamakan dengan orang yang setiap siangnya bekerja berat seperti kuli, tukang becak karena harus menahkahi dirinya dan keluarganya ?
5. Telah dirumuskan hadiyah kepada hakim haram apabila datang dari orang yang sedang terdakwa dipengadilan, karena bisa menimbulkan kecurigaan (tuhmah), termasuk mempengaruhi terhadap keputusan hakim, lalu bagaimana dengan sumbangan kaos partai dan para caleg yang hanya marak menjelang pemilu saja apakah diperbolehkan menerimanya ?, bukankah juga bisa menimbulkan kecurigaan yang sama ?.
 6. Telah dirumuskan dalam akad wakalah yang mutlak, wakil tidak boleh boleh menjual kecuali dengan tiga syarat, harus dengan harga standart umum (tsaman al-amitsli), harus kontan dan harus dengan mata uang yang terlaku, namun realita sekarang banyak bos-bos warung yang terkadang tidak mematrekkan syarat tersebut apakah menjadi kharam? sebegitu radikalkah hukum islam ?
7. Telah dirumuskan kewajiban suami adalah menafkahi istri, mengasuh anak, namun diindonesia banyak istri yang justru memberi nahkah, mengasuh anak, memasak apakah suami terkena hukum haram ?            

            Pada fase ini, seorang pengenyam fiqh deperlukan perbendaharaan yang sangat banyak dalam masalah-masalah Furu'iyah, dengan begitu Madrok (kejelian analisis) bisa tajam, akan lebih sinergis bila didukung penguasaan fiqh pada fase ketiga, untuk bisa mengkaji esensi-esensi setiap hasil rumusan ini dapat ditelaah pada kitab-kitab yang menjelaskan illat-illatnya sekaligus seperti al-Mahalli karya Syekh Jalaluddin al-Mahalli, kitab al-Syarwani karya Syekh Abd al-Hamid al-Syarwani.'Ujalatul muhtaj karya Syekh Sirojuddin Abi Hafs Dll

@ Fase ketiga :  Menguasai sumber-sumber hukum sekaligus teori-teori Manhaji nya.
Sumber hukum meliputi al-Qur'an, Hadits, Ijma' sangat diperlukan untuk memastikan apakah ada ketentuan hukum dalam nash nya, sedangkan teori Manhaji meliputi Qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istihabul asli, termasuk kaidah-kaidah fiqhiyah, perlu dikuasai, untuk bisa lebih memahami bagaimana para Ulama memainkan pisau analisisnya terhadap sumber-sumber hukum, dengan begitu kekuatan pemahaman kita lebih optimal dalam mengkontekstualisasikan Illat-illat yang disampaikan para Ulama tidak menerjang al-Qur'an, hadits, Ijma'. Contoh :
1. Teori umum : ”Setiap perkara yang tidak ada standart dalam syara' dan lughot maka harus dikembalikan pada standart umum ('Urf)". Dalam bab Ghosob hukumnya haram karena ada unsur istila' (penguasaan), maka perlu kita kaji adakah standart istila' dalam Nash al-Qur-an dan Haditsnya ?, sehingga bisa mengetahui apakah Cuma menginjakkan kaki ditanah milik orang lain sudah dikatakan ghasab ?, atau duduk dibecaknya saja sudah ghasab?, atau memindah buku ketempat lain itu sudah ghasab ?. Dalam bab zakat termasuk yang menyebabkan terhalangnya hak waris adalah membunuh, maka perlu dikaji adakah standart membunuh dalam al-Qur'an, Hadits, sehingga bisa menjawab apakah membunuh dengan cara menyuruh orang lain atau dengan membuat jebakan atau dengam do'a hizib, atau disihir termasuk menghalangi hak waris ?. Dalam zakat juga disebutkan Mustahiqquz zakat ialah 'Amil, Fisabilillah, maka kita kaji apakah dalam Nash diatas adakah standartnya ? sehingga bisa menghukumi panitia zakat, masjid, kiyai, santri, termasuk Mustahiqquzzakat ? Dll.
2..Teori Umum ”Masyaqqoh mendatangkan kemudahan". Maka harus kita kaji dalam Nash nya, tentang minimal masyaqqoh yang bisa mendatangkan dispensasi pada setiab babnya, sebab setiab bab memiliki Nash sendiri-sendiri, dengan demikian kita bisa mensejajarkan masyaqqoh yang tidak disebutkan dalam Nash, seperti masyaqqohnya sakit, masyaqqohnya bekerja apakah sejajar dengan masyaqqoh puasa diwaktu safar yang telah dinash dalam al-Qur'an boleh tidak puasa ? begitu pila masyaqqoh dalam bab tayammum dalam bab hajji perlu kita kaji karena memiliki batasan yang tidak sama dalam Nash nya.
3. Beraneka ragam bank baik yang memakai sistem bank konvensional atau bank syari'ah menawarkan keuntungan menggiurkan, bagaimanakah prinsip ekonomi yang diatur oleh Nash sebenarnya ? 
4. Mata uang zaman dulu nominalnya disesuaikan dengan dengan bobot emas atau perak, sehingga termasuk Maluzzakawi, berbeda dengan sekarang mata uang dengan memakai kertas, apakah kedudukannya juga Maluzzakawi yang wajib dizakati ? maka kita perlu mengkaji dalil Nash nya, berikut teori isthinbathnya ?  
5. Dizaman modern suksesi kepimpinan dalam tingkat apapun dilakukan dengan pilihan secara langsung, apakah ada aturan dalam Nash ? lalu bagimana penyelesaiannya ?

             Pada fase ini, bisa dikaji dalam kitab-kitab fiqh yang sekaligus menyebutkan Nash al-Qur-an dan hadits, sekaligus petunjuk perumusannya namun dalam memahaminya diperlukan penguasaan kitab Usul fiqh seperti Lubul Ushul karya Syekh Zakaria al-Anshori, diantara kitab yang menjelaskan keduanya seperti kitab Bidatyatul Mujtahid karya Ibn al-Rusydi al-Qurthubi, kitab al-Majmu' karya Syekh al-Nawawi, kitab al-Hawi al-Kabir karya Syekh al-mawardi, kitab Ihkam al-ahkam, lebih optimal bila didukung dengan ktab-kitab tafsir ahkam al-Qur'an, Tafsir Hadist.
             Dengan penguasaan ketiga fase pola berfiqh diatas, para pengenyam fiqh tidak akan pernah kehilangan eksistensinya dalam merespon setiap perkembangan zaman yang terus bergulir, saat ini bisa dicontoh forum Bahtsul Masail yang senantiasa masih menjadi solusi pemecah dalam menghadapi problematika Ummat, kebutuhannya akan ketiga-tiga fase diatas sangat bervariatif sesuai dengan bobot persolan yang diusung. 

Kesimpulan
             Ulasan yang termaktub diatas pada dasarnya masih segilintir dari isi kandungan khazanah pengetahuan dalam kitab-kitab yang diwariskan para Ulama pendahulu kita, namun setidaknya cukup representatif untuk dapat menyimpulkan pada diri kita bahwa eksistensi fiqh klasik yang identik dengan kitab kuningnya merupakan sarana berfiqih yang tidak terelakkan, begitu luas dan kayanya khazanah ilmu yang diwariskan para pendahulu kita yang harus kita syukuri, kita jaga dan kita lestarikan, bukankah faktor kemunduran islam terbesar dikarenakan ummatnya sendiri yang kurang peduli dan meneladani terhadap khazanah yang ditinggalkan para pendahulunya ?, sejarah telah membuktikan bagaimana hegemoni budaya barat mulai mempengaruhi sendi-sendi kehidupan ummat islam setelah pembakaran besar-besaran hasil karya-karya putra terbaik intelektual islam pada perang salib, bagaimana dengan indonesia tempat kita mengemban amanat ini ? apakah kita rela akan bernasib yang sama ? atau sebenarnya kita telah dibuat ragu oleh isu-isu "Masih relefankah fiqh klasik ?", "Masih relevankah kitab kuning ?" yang sengaja dihembuskan untuk menjauhkan masyarakat dari Pesantren dan Ulama'nya yang juga merupakan salah satu penyebab kemunduran islam di Andalusia (Spanyol), berikut penuturan dan pengakuan jujur pengamat dari luar Dr. Max Mayerhot :
             "Pembendaharaan ilmu islam, baru saja dibuka, banyak isinya belum disentuh. Di Istambul saja terdapat lebih 80 buah perpustakaan masjid, semuanya berisi berpuluh ribu naskah belum kita pelajari. Disamping ada berpuluh ribu lagi di Kairo, Damaskus, Mossul, Baghdad dan Teheran. Begitu pula dikota-kota India, buku-buku islam dimusium Estcorial Spanyol, belum cukup disusun dalam kata-kata logus." (Dikutib oleh Oemar Amin Hoesin dalm bukunya "kultur islam" pustaka jakarta: Cet. Bulan Pustaka 1964, hlm,21)
            
             Namun demikian mensyukuri bukan berarti kita cukup bangga menelaah dan puas dengan hasil warisan lama, akan tetapi bagaimana kita mampu mengarahkan kesuksesan fiqh islam yang ditinggalkan para Ulama' untuk meraih kesuksesan baru dalam menyongsong kebangkitan fiqh islam di abad modern saat ini. Seiring putaran roda zaman yang mengglobal semakin banyak pulalah tuntutan–tuntutan prasana dalam segala sektor yang selalu melahirkan persoalan-persoalan baru, sementara khazanah pemikiran islam telah lama ditinggalkan para pakarnya, maka kita kaum Muslimin yang peduli terhadap eksistensi syari'ah islam bertanggung jawab menegakkan kembali kebangkitan fiqh islam yang bisa menyentuh realitas ummat saat ini, Untuk itu formulasi yang sinergis sebagai strategi yang perlu kita sosialisasikan ditengah pergolakan pemikiran kaum intelektual islam saat ini adalah mengoptimalkan tiga fase pola berfiqh yang telah dipaparkan diatas, yang mungkin bisa kita simpulkan dalam sebuah slogan:

Kitab Kuning Yes!.....Tekstual No!.....

Sebagai hasil dari implementasi prinsip dalam melangkah :

اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ اْلأَصْلَحِ
"Menjaga kosep lama yang maslahat dan mengadopsi konsep baru yang lebih maslahat."

             Menjaga komsep lama berarti kita harus menjaga warisan para Ulama Salaf, menjaga bukan dalam arti menyimpannya dengan rapi atau sebagai benda langka yang harus kita musiumkan, namun menjaga dalam arti memanfaatkan dan mengfungsikan bukan hanya sebagai bahan bacaan, lebih dari itu sebagai wawasan berfikir kita dalam mengembangkan keillmuan fiqh islam yang kontekstual, selaras dengan perkembangan zaman yang kompleks sehingga mampu membangkitkan dan menghidupkan kembali masa kejayaan islam. Tulisan ini bukan ijtihad namun baru ajakan menuju kesana !        Wallhu A'lam



  

           
        

No comments: