Friday, 22 January 2016

PROBLEMATIKA SHOLAT TARAWIH

Sejarah Tarawih .

Pada malam tanggal 23 Ramadlan tahun kedua hijriyah, Rasulullah pergi ke masjid untuk melakukan shalat (tarawih). Pada malam berikutnya, shahabat yang mengikuti shalat semakin bertambah banyak. Pada malam ketiga atau keempat para sahhabat telah berkumpul menunggu kedatangan Rasul. Ternyata Beliau malam itu tidak datang ke Masjid. Pagi harinya setelah shalat Shubuh, Rasulullah SAW bersabda, “Aku mengetahui apa yang telah kalian lakukan. Tidak ada yang mencegahku untuk hadir ke Masjid selain aku khawatir apabila shalat ini diwajibkan bagi kalian.” Demikian dijelaskan Siti ‘Aisyah dalam riwayat Imam Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.[1]

Roka’at Tarawih      
Tiga madzhab selain Maliki ( Syafi’I, Hanbali, dan Hanafi) sepakat bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih adalah 20 rakaat. Dalil yang menjadi dasar pendapat ini adalah :
1.      Perbuatan Sayyidina Umar mengumpulkan tarawih dengan dua puluh rakaat dan satu imam ternyata tidak ditentang oleh shahabat yang lain bahkan termasuk Siti ‘Aisyah. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma’) shahabat bahwa rakaat tarawih berjumlah dua puluh. Sebagaimana keterangan dalam hadits-hadits di bawah ini :

عن السائب بن يزيد t قال كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب t في شهر رمضان بعشرين ركعة ( رواه البيهقي يإسناد صحيح )

Para shahabat melakukan shalat tarâwih di masa Umar ibn al-Khathab ra. di bulan Ramadlan sebanyak dua pulh rakaat.

عن يزيد بن رومان قال كان الناس يقومون في زمن عمر t بثلاث وعشرين ركعة (رواه مالك في الموطأ)

Dari Yazid ibn Ruman ia berkata: Manusia senantiasa menghidupkan malam (shalat tarawih) di masa Umar ra. sebanyak 
dua puluh rakaat

Ibn Hammâm, tokoh madzhab Hanafy mengatakan, shalat Tarawih dua puluh adalah sunnah (yang dikerjakan) oleh khulafa’ ar-Rasyidîn.[2]

2.  Persoalan jumlah rakaat termasuk hal-hal yang tidak dapat dinalar (ta’abbudy). Tentunya para shahabat melakukan tarawih dua puluh rakaat berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW. Karena tidak mungkin para shahabat berani membuat ketentuan sendiri dalam masalah jumlah rakaat shalat yang jelas-jelas tidak dapat dinalar (bukan ruang ijtihad). Dengan demikian, jumlah dua puluh rakaat termasuk ketentuan dari Nabi sendiri.

Bila ada yang mengatakan : Mengapa para shahabat tarawih dua puluh rakaat padahal yang dilakukan Rasulullah adalah delapan rakaat sebagaimana dalam hadits :

عن جابر صلى بنا رسول الله r في رمضان ثمان ركعات ثم أوتر فلما كانت القابلة اجتمعنا في المسجد ورجونا أن يخرج إلينا حتى أصبحنا ثم دخلنا فقلنا يا رسول الله ...الحديث (رواه ابن حبان)

Hadits Jabir di atas ternyata tidak dapat digunakan sebagai dalil karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut para ahli kritik hadits seperti Imam Ibn Ma’in dan Imam Nasa’i, Isa bin Jariyah sangat lemah haditsnya. Bahkan Imam Nasa’i pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk ( Haditsnya kategori matruk karena ia seorang pendusta ). Dengan demikian, hadits tersebut tidak dapat digunakan sebagai dalil tarawih delapan rakaat karena tergolong hadits dla’ifah syadidah ( hadits yang sangat dla’if/parah kedla’ifannya). Padahal syarat mengamalkan hadits dla’if adalah kedla’ifannya tidak terlalu parah.[3]

Disamping itu, umpama kualitas hadits ini tidak dla’ifah syadidahpun juga tidak dapat dipakai sebagai dalil karena mengandung beberapa kemungkinan :
1.      Kemungkinan Jabir hanya datang pada malam kedua. Terbukti dalam hadits tersebut ia hanya menceritakan kisah dua malam, tidak tiga atau empat sebagaimana dalam hadits yang lain. Demikian menurut az-Zarqany.
2.      Kemungkinan Jabir terlambat datang ke Masjid dan hanya mendapati delapan rakaat sehingga ia mengisahkan sesuai dengan yang ia ketahui. Meski demikian, bukan berarti Jabir menafikan rakaat tambahan lebih dari delapan. Bahkan seandainya Jabir menafikanpun juga tidak berpengaruh apa-apa Karena kemungkinan ia hanya mengisahkan yang ia ketahui sebagaimana sahabat Anas menafikan Nabi mengangkat tangan ketika berdoa di selain shalat istisqa’. Padahal sahabat-sahabat yang lain meriwayatkan bahwa Nabi SAW juga mengangkat tangan dalam doa di selain shalat istisqa’.
3.      Umpama Jabir tidak terlambat dan benar bahwa Nabi hanya berjamaah delapan rakaat, ini juga tidak dapat digunakan sebagai dalil tarawih hanya delapan rakaat karena ternyata para shahabat menyempurnakan tarawih di rumah masing-masing. Terbukti dari rumah mereka terdengar suara berisik (aziz ad-dabâbir). Padahal sebagaimana dijelaskan di atas, tidak mungkin para shahabat berani menambah sendiri jumlah rakaat shalat kalau mereka tidak mendapat petunjuk dari Rasulullah. Sedang tindakan Rasulullah SAW yang hanya berjamaah delapan rakaat adalah bentuk kasih sayang dan welas asih Beliau kepada shahabat agar tidak terlalu berat.
4.      Kemungkinan lain, Nabi telah melaksanakan dua belas rakaat sebelum beliau berangkat ke Masjid. [4]

Sehingga sebagaimana kaidah fiqh :

وقائع الأحوال إذا تطرق عليه الاحتمال كساها ثوب الإجمال وسقط به الاستدلال

Kisah (nash) tentang suatu peristiwa apabila mengandung beberapa kemungkinan maka termasuk kategori mujmal (global) dan tidak dapat digunakan sebagai dalil.

Sedang mengenai hadits riwayat ‘Aisyah :

عن عائشة رضي الله عنها أن أبي سَلَمَةَ بن عبد الرحمن سأل عائشة رضي الله عنها كيف كانت صلاة رسول الله r قالت مَا كَانَ يَزِيْدُ في رَمَضَانَ وغيرِهِ على إحْدَى عَشْرَةَ ركعةً (رواه البخاري)

Juga tidak dapat digunakan sebagai dalil tarawih delapan rakaat karena hadits tersebut selengkapnya berbunyi :

عن عائشة رضي الله عنها أن أبي سَلَمَةَ بن عبد الرحمن سأل عائشة رضي الله عنها كيف كانت صلاة رسول الله r قالت ما كان يزيد في رمضان وغيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا قالت عائشة t فقلت يا رسول الله أتنام قبل أن أوتر ؟ قال يا عائشة إن عيني تنامان ولا ينام قلبي (رواه البخاري)

Dari ‘Aisyah ra. sesungguhnya Abi Salamahbin Abdirrahman bertanya kepadanya :”Bagaimana shalat Rasulullah SAW?” Ia menjawab :” Rasulullah SAW tidak pernah menambahi, baik di bulan Ramadlan maupun selain bulan ramadlan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudioan Beliau SAW shalat empata rakaat, dan jangan kamu tanyakan tentang baik dan panjangnya. Kemudian Beliau SAW shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian bertanya : “Ya Rasulallah, Apakah Anda tidur sebelum shalat witir ?Beliau menjwab : “ Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.” (HR Bukhâri, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’I, Malik).

Jadi apabila kita baca hadits di atas secara utuh, maka konteks hadits tersebut adalah membicarakan shalaty witir, bukan shalat tarawih, karena di akhir hadits itu, Aisyah bertanya Kepada Nabi SAW tentang shalat witir.
Di samping itu, ada dalil-dalil yang memperkuat bahwa hadits tersebut memang untuk shalat witir diantaranya :
1.      Keterangan yang terdapat dalam hadits Bukhâri :

عن عروة عن عائشة رضي الله عنهماأنها أخبرته أن رسول الله r يصلي إحدى عشرة ركعة كانت تلك صلاته يسجد السجدة من ذلك قدر ما يقرأ أحدكم خمسين آية قبل أن يرفع رأسه ويركع ركعتين قبل صلاة الفجر ثم يضطجع على شقه الأيمن حتى يأتيه المنادي للصلاة (رواه البخاري)

2.        Frase (rangkaian kata)  ما كان يزيد في رمضان وغيره  menunjukkan bahwa yang Beliau SAW lakukan adalah shalat witir karena shalat tarawih tidak dikerjakan di selain bulan Ramadlan.
3.        Keterangan yang terdapat dalam hadits riwayat Imam Malik :

عن عروة عن عائشة زوج النبي r أن رسول الله r يصلي من الليل إحدى عشرة ركعة يوتر منها بواحدة فإذا فرغ اضطجع على شقه الأيمن (رواه مالك وأبو داود)


Membaca Taradli di Sela Shalat Tarawih
Membaca tradli di sela shalat tarawih sebenarnya tidak dikenal di masa awal Islam. Yang terjadi di Makkah, orang-orang melakukan thawaf mengelilingi ka'bah setiap habis empat rakaat. Namun dengan pendekatan konsepbid'ah dapat disimpulkan bahwa membaca taradli di sela shalat tarawih diperbolehkan agama karena termasuk melaksanakan dua perintah Allah :

َعَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ t أَنَّ مُعَاوِيَةَ رضي الله عنه قَالَ لَهُ : { إذَا صَلَّيْت الْجُمُعَةَ فَلَا تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ , حَتَّى تَتَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ , فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ r أَمَرَنَا بِذَلِكَ : أَنْ لَا نَصِلَ صَلَاةً بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Sâ`ib bin Yazîd sesungguhnya Muawiyah ra. berkata kepadanya,”Apabila kamu shalat JUm’at maka janganlah kamu menyambungnya dengan shalat yang lain seninmgga engkau berbicara atau keluar, karena Rasulullah SAW memerintahkan kami dengan hal tersebut; agar jangan menyambung shalat dengan shalat yang lain sehingga berbicara atau keluar (HR Muslim).

Sebagaimana yang sudah dimaklumi, dua perintah di atas berbentuk umum, tidak ada ketentuan khusus kapan harus membaca taradli dan bagaimana ucapan apa yang harus di baca dalam meisah di antara dua shalat. Ini menunjukkan, membaca taradli dapat dilakukan kapan saja selama tidak ada ketentuan khusus. Begitu pula, memisah di antara dua shalat dapat dilakukan dengan bacaan apa saja. Dengan demikian membaca taradli di sela shalat tarawih diperbolehkan dan bahkan bisa mendapatkan pahala karena mengikuti dua perintah di atas asalkan tidak meyakini membaca taradli adalah satu-satunya cara dalam memisah di antara rangkaian shalat Tarawih. Sayyid Muhammad 'Alawy al-Maliki mengatakan, "Sesuatu yang tersusun dari hal-hal yang disyariatkan berari juga disyariatkan.



[1] Abi al-Fadhl ibn ‘Abdus Syakûr, Kasyf at-Tabârih, ( Surabaya : Maktabah Salim bin Nabhan ), tt., hal.3.
[2] Ibid, hal. 14.
[3] KH. Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Bermasalah, (Jakarta : Pustaka Firdaus ), cet.ke-1, Mei 2003, hal.139-140.
[4] Sulaiman ibn Muhammad al-Bujairimy, Hâsyiyah al-Bujairimy ‘alâ al-Khathîb, ( Beirut : Dâr al-Fikr), vol. ke-1, hal.422., Abi al-Fadhl ibn ‘Abdus Syakûr, Op.Cit., hal.10-11, KH. Ali Makshum, I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. Abdul Hamid as-Syarwany, Hasyiyah Syarwani Ala Tuhfah, vol 2 hal 286
[5] Syihab ad-Din Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hjar al-'Asqalany, Fath al-Bari`, (Mesir:Dar Ihya` at-Turats al-'Araby ),tt., vol.II, hal.394., Muhammad az-Zarqany,Syarh az-Zarqany 'Ala al-Muwatha`, (Beirut:al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra ), 1936, vol.I, hal.322.
[6]  Muhamad Nawawi bin Umar at-Tanary al-Bantany, Qut al-Habib al-Gharib (Tausyih 'ala ibn Qasim), (Beirut:Dar al-Fikr), cet.ke-1, 1996, hal.62
[7] KHM. Hanif Muslih, Kesahihan dalil Qunut, Santri, cet.ke-2, Januari 1997, hal.9
[8] Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim al-Mubarakfury, Tuhfah al-Ahwadzy Syarh Sunan at-Tirmidzy, ( Beirut:Dâr al-Fikr), cet.ke-2, 1979, vol.II, hal.432.
[9] Syarafuddin an-Nawâwi, al-Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhadzab, Maktabah al-Muniriyah, vol.III, hal.475-476.
[10] Akhtha`a dalam bahasa Arab berarti berbuat salah tanpa sengaja. Sedang berbuat salah dengan sengaja menggunakan shighat mujarrad.
[11] Syihab ad-Din Muhammad bin ‘Ali, Op.Cit.,vol.II, hal.393.