Sejenak menyimak tema di atas, bagai menatap jalan panjang tanpa ujung, sebuah pencarian makna dari sebuah obyek yang hidup beriringan dan sama-sama mempunyai rekaman sejarah yang panjang; agama (religion) dan pendidikan (education). Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa agama Islam adalah agama integral (kaffah) yang didalamnya memiliki dimensi-dimensi intelektual, yang secara intens membangun dimensi-dimensi itu dan mengembangkannya dalam berbagai macam ilustrasi yang representatif.
Imam ghozali secara tegas meniscayakan klasifikasi pendidikan hanya dalam dua kerangka dasar fardlu ‘ain (kewajiban indifidu) dan fardlu kifayah (kewajiban kolektif), tidak ada pemilahan antara pendidikan ilmu agama dan umum, yang sekaligus merupakan starting point (titik awal) dari embrio jalar berbagai macam ilmu dalam lapangan-lapangan ilmu pengetahuan.
Meski secara historis belum pernah ditemukan validitas teks tentang kapan munculnya, namun pada paruh awal abad ke-17, telah ditemukan sebuah lembaga pendidikan tafaqquh fiddin yang kemudian dikenal dengan sebutan pesantren di Gresik Jawa Timur, dibawah prakarsa Sunan Malik Ibrahim (1619 H.), disini mulai dilakukan penyetaraan intensitas antara ilmu agama dan ilmu umum, yang akhirnya telah memberi secercah asa bangkitnya peradaban pendidikan di Indonesia, khususnya dalam dunia Islam. Demi melihat perkembangan yang signifikan dalam Islam, maka pada abad ke 19 kolonial belanda mensosialisasikan sistem pendidikan klasikal umum untuk melebarkan sayap pengaruh dan kekuasaannya, juga guna memagari ruang jalar pengaruh pendidikan Islam yang begitu luar biasa.
Sadar akan hambatan yang besar ini, timbul respon positif dari pesantren-pesantren untuk menconter perubahan-perubahan yang timbul disebabkaan oleh politik etis belanda ini. Pada awal abad ke-20 dilakukanlah “Ijtihad baru” dalam dunia pendidikan, dengan diperkenalkan sistem pendidikan formal agama yang disebut madrasah, dimana dalam sistem ini telah dilengkapi dengan ilmu pengetahuan umum (meski dalam porsi yang masih minim), namun hal ini kelak akan menjadi batu loncatan pengembangan pendidikan bagi pesantren, dalam upaya menekankan pendidikan keagamaan yang menyangkut disiplin aqidah, syar'iyah dan akhlaq (etika). Meski begitu tidak berarti bahwa timbul dikotomi dalam kedua standart pendidikan diatas, hanya saja prioritas masih ditekankan pada pendidikan yang pertama (agama) yang merupakan ciri khas pesantren sebagai basic pendidikan agama terutama akhlaq.
Penyetaraan kedua standart ilmu ini dapat juga dilihat dengan pasti kompetensi agama Islam terhadap ilmu pengetahuan dengan perhatiannya yang serius dalam pengembangannya. Pendidikan dalam Islam diposisikan sebagai jalan ikhtiar untuk menguasai banyak ragam ilmu pengetahuan tanpa memilih antara yang ukhrowi dengan yang duniawi. Paradigma semacam ini lebih diperkukuh oleh dorongan untuk mengimplementalisir setiap- sekecil dan dalam bentuk apapun- tingkat ilmu yang telah diperoleh, karena dalam doktrin Islam selain seseorang harus berkapasitas ‘alim (intelek) ia harus pula berstatus ‘amil (operator ilmu) dilapangan ilmu dan peradaban, sehingga status ilmu dan pendidikan dapat berkembang kontinue, ibarat gerak rayap gelombang yang tak mengenal jalan buntu, sinergis tidak statis.
II. SUMBER-SUMBER ANALISA
Rujukan primer bagi pengembangan ilmu pendidikan dengan tanpa ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, diantaranya adalah wahyu Alloh (alquran), Sunnah Nabi, logika dan realitas empiris (pengalaman).
1. Wahyu Alloh (alquran)
Jika kita lacak dalam alquran akan kita temui begitu banyak ayat yang menyatukan antara ilmu agama (syariat) dengan ilmu pengetahuan dalam satu formulasi hukum yang baku, diantaranya dalam surat al-fatir: 28, disana secara implisit ada anjuran untuk menguasai pengetahuan tentang gejala-gejala alam, seperti turunnya hujan, hidupnya tumbuhan, hewan-hewan, gunung, dll. Kemudian diakhir ayat ditutup dengan umgkapan ”mereka yang dikatakan ulama adalah yang takut kepada alloh”, disini secara konklusif dapat ditarik sebuah benang merah bahwa formulasi ulama (status seseorang dengan capaian kapasitas yang tinggi dalam ilmu agama), ialah mereka yang menguasai pengetahuan tentang alam, yang berangkat dari pengetahuan keagamaan dan pengetahuan kitab suci (cendikiawan yang mengerti tentang ayat-ayat kauniyah). Karena untuk memahami ilmu pengetahuan (khususnya ilmu agama) kecuali harus memiliki kecerdasan aqal juga harus mempunyai kesucian hati, agar otentisitas ajaran tidak buram tertaburi oleh proses pencapaian kepentingan duniawi yang anarkhis dan destruktif.
2. Fiqih
Secara leksikal fiqih didefinisikan; mengetahui dan memahami sesuatu, dan secara terminologi didefinisikan sebagai sebuah hukum terapan (operasional) hasil dari perenungan dan pemahaman yang mendalam (al-muktasab) dari sumbernya (hukum yang in abstracto), ia bersifat lokal dan fleksibel oleh tuntutan situasi dan kondisi. Dan di sekitar dekade pembaharuan Islam Indonesia, Hasbi telah mengetengahkan pendapat bahwa fiqh yang benar adalah fiqh yang lentur terhadap segala pembaharuan tanpa harus keluar dari manuskrip hukum aslinya, dan tasyri’ Islam diatur dengan cara yang seintensif dan seefisien mungkin, sehingga ia sanggup menjawab realita zaman. Karena esensi dari ajaran Islam adalah pemenuhan akan tuntutan komplekstifitas hidup di bidang agama (diniyah), kebutuhan primer (Dzaruriyyat), kebutuhan sekunder (hajiyyah), serta tersier (Tahsiniyah) dalam kehidupan dunia yang merupakan dimensi ruang dan waktu bagi pencapaian kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Model pendidikan yang pernah disosialisasikan oleh HOS. Cokroaminoto-lah yang penulis anggap paling relevan untuk terus dikembang dan suburkan, dalam bukunya “Islam dan sosialisme”, ia mengemukakan pendapat bahwa pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang berimbang antara dunia dan akhirat atau dalam idiom lain pendidikan yang selaras antara mencerdaskan kemampuan akal dan melembutkan budi lewat tempaan moral keagamaan. Sebab jika tingkat intelegensinya saja yang diasah, maka akan melahirkan manusia-manusia individualis dan serakah, sebaliknya jika pendidikan agamanya saja yang diprioritaskan, maka hanya akan mencetak generasi yang kehilangan dan jauh dari identitas keagamaannya, eksklusif dan anarkhis. Sebagai contoh, sistem pendidikan sepihak yang pernah dikembangkan di Medrese-medrese (sebutan madrasah di Turki) dan juga di pesantren-pesantren di awal perkembangannya di Indonesia, telah melahirkan komunitas santri sampai elit santri yang menyikapi dunia dengan skeptis dan dengan kacamata pandang yang sempit. Akhirnya bukan saja gelombang keawaman dan apatisme intelektual yang kemudian timbul, tetapi juga akhirnya mereka tidak trampil dan menjadi generasi yang tersisih dari lalu lintas kreativitas, generasi yang tidak secara arif mampu menghadapi setiap perubahan dan pesatnya perkembangan yang terjadi di masyarakat. Namun dalam kondisi Indonesia saat ini - mungkin - tidak harus semua model pesantren yang telah ada harus dirubah, akan tetapi peningkatan mutu dan kualitas jauh lebih penting daripada merobah sistem secara total tanpa mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan masyarakat secara umum.
Belakangan Gus Mus (kyai yang sekaligus budayawan dan pemerhati masalah sosial kemanusiaan), dalam banyak kesempatan mengkritik habis-habisan sistem pendidikan di berbagai macam dan level lembaga pendidikan umum, karena-masih menurut beliau- sistem pendidikan yang sekarang ini ada dan yang sudah kadung menelurkan sekian juta generasi itu merupakan getah peninggalan para kolonialis. Sehingga mulai lembaga pemerintahan sampai peradilan dalam segala levelnya, sampai sekarang ini telah terisi orang-orang yang hanya gemar memerdekakan diri sendiri dan lupa akan fungsi profetisnya sebagai khalifah. Lebih lanjut beliau memaparkan bahwa sudah saatnya diadakan penekanan nilai keagamaan dalam kurikulum sekolah umum yang mencakup sisi aqidah, tujuan ibadah dan akhlak (etika). Yang diharapkan akan melahirkan anak didik yang tidak hanya tulus, jujur, ikhlas, beriman dan bertaqwa, tetapi juga berakhlak mulia, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrat dan berwawasan luas. Sehingga agama pada akhirnya bukanlah aktifitas private semata, tetapi agama juga mampu berbicara tentang kebangsaan, kemanusiaan, keadilan sosial dan perbaikan hidup masyarakat. Selaras dengan paradigma di atas, penulis setuju dengan dua model pendekatan yang diharapkan mampu memicu tumbuhnya prakarsa dan semangat untuk mandiri, agar lembaga pendidikan agama lebih mampu efektif dalam proses penciptaan kader-kader bangsa yang handal. Pertama, sistem pendakatan kualitatif dalam pengajaran ibadah (interaksi vertikal antara makhluk dan sang khalik) sehingga dalam ragam ibadah mahdlah (shalat, puasa, zakat dan haji) yang lebih diprioritaskan adalah pada kualitas dan tujuan yang mendasarinya, bukan melulu mengejar kuantitas belaka. Kedua, sistem pendekatan kontekstual dalam pengajaran mu’amalah (interaksi horisontal antar sesama) yang ditekankan adalah optimalisasi dalam penganalisaan dan pemahaman validitas teks-teks agama dengan melihat hikmah dan tujuannya agar mampu memenuhi kebutuhan dan mencari solusi bagi problematika hidup yang melanda. Kedua sistem ini akhirnya akan mampu memproduk generasi yang berpandangan luas dan mempunyai kemauan tinggi untuk keluar dari belenggu kebekuan pikir, sehingga akhirnya dunia pendidikan kita kaya akan kreator-kreator pelahir ragam kreatifitas dan kreasi.
III. KESIMPULAN
Sebagai epilog penutup dari tulisan ini, mari kita renungkan identitas ulama menurut Imam Al-Ghazali dalam karya besarnya “Ihya’ Ulumuddin”, "Yang bisa disebut ulama adalah orang yang ‘abid (ahli ibadah), zuhud, menguasai ilmu-ilmu akhirat, serta memiliki totalitas pengabdian kepada Allah lewat pengetahuan yang ia miliki, peka, jeli, paham dan mengerti benar akan kemaslahatan umat". Dari kreteria yang terakhir terpapar secara jelas apa yang harus dilakukan oleh para ulama pemimpin pondok-pondok pesantren, yakni universalitas obyek pembinaan umat. Selain di bidang agama, kehidupan sosial ekonomi serta pembinaan kehidupan berkebangsaan harus pula menjadi prioritas acuan. Dalam hal ini perlu dilakukan transformasi ilmu-ilmu umum dan pengetahuan tekhnologi, sebatas tidak sampai menggeser posisi pesantren dari nilai-nilai dasar dan identitasnya. Karena pesantren telah memilki garis perjuangan yang jelas, yaitu “Al Muhafadzah ‘alal Qadim As Shalih wal Akhdzu Bil jadid Al Ashlah” (menjaga system dan metode lama yang masih relevan sembari mengadopsi serta mengembangkan setiap system baru yang lebih baik).
Sehingga ke depan pesantren mampu lebih leluasa dan merdeka dari jerat opini yang mempersepsikan bahwa pesantren selama ini hanyalah merupakan sebuah lembaga pendidikan konvensional dan cenderung terisolir dan tak mampu mewarnai peradaban. Ibarat riak ombak yang tersingkir dari deru gelombang perubahan.Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment